Oleh: Nur Iskandar
Sebagai seorang penulis cum jurnalis saya sempat berkomunikasi secara langsung via SMS. Saat itu Beliau langsung membalas. Posisinya Gubernur DKI–baru bergerak dari Solo.
Pak Jokowi ditulis buku tentangnya pertama kali oleh kawan saya Yon Thayrun. Kemudian mengalir deras penulisan tentangnya. Saya yang saat itu banyak menulis dari Jakarta merasa lebih baik menulis di daerah kelahiran, sebab Pak Jokowi sudah banyak yang menuliskannya. Saya memilih Jokowi sebagai Presiden dari dua kontestasinya sebab saya melihat beliau orang baik, orang jujur dan unik, baru kali ini kita bisa menikmati tampilnya seorang Presiden RI yang beranjak dari rakyat biasa. Benar-benar mewakili rakyat jelata, kaum dhuafa, wong cilik.
Di saat Jokowi menjadi Walikota, saya dan para tokoh Kalbar sempat audiensi di Kota Solo. Studi banding soal pendidikan dan kebudayaan. Namun kali ini tidak berjumpa Jokowi langsung, karena Beliau sedang di Jakarta–mulai menyiapkan diri kampanye Cagub DKI–kami disambut Sekda dan Sekda bicara soal kepemimpinan Jokowi. Antara lain untuk merehabilitasi Pasar Rakyat di Solo, Jokowi melakukan pendekatan sosiologis sampai puluhan kali. Kerap kali makan bakso bersama. Kerap kali blusukan.
Kita mengenal Jokowi suka blusukan. Ketemu masyarakat secara langsung. Dalam pertemuan pertemuan itu banyak kali kita terhibur dengan jenakanya Jokowi. Hal ini terjadi terus sampai Gubernur DKI, bahkan Presiden RI ketika kunjungan kerja ke daerah-daerah. Kita bisa menikmati kuis-kuis “maut” Jokowi yang membuncahkan air mata tawa. Pembaca tentu masih ingat soal kuis berhadiah sepeda. Tentu masih ingat pertemuan Jokowi dengan santri-santri dengan kuis siapa saja Presiden Indonesia? Santri itu menjawab Bu Megawati…..sampai kepada Ahok dan gelegar tawa membahana badai. Pak Jokowi pun terpingkal-pingkal. Sama meledak tawa kita menyaksikan kuis ikan tongkol….
Sungguh momentum yang indah. Tapi itu Jokowi yang dulu. Bukan Jokowi yang sekarang. Jokowi yang sekarang jarang lagi blusukan. Jarang lagi buat kuis. Jarang lagi tertawa bersama rakyat.
Beliau didatangi massa mahasiswa dan buruh tidak mendekat dan merapat seperti saat jadi Walikota Solo dan Gubernur DKI. Beliau pilih terbang ke Kalteng untuk melihat food estate–padahal bisa saja dibatalkan, atau digantikan Menteri Pertanian–sementara Jokowi atas hati emasnya menjumpai massa. Massa tak akan menciderai Jokowi, sebab ini “anak” mau jumpa “bapaknya”. Mau dialog. Mau tanya jawab seperti biasanya. Jika Jokowi yang dulu. Saya yakin dia akan menemui massa. Tak akan ada korban berdarah-darah yang kini memenuhi tahanan sampai lebih dari 6.000 orang seluruh Indonesia. Sungguh saya dan juga kita semua kehilangan Pak De Jokowi. Sosok merakyat yang suka kasih kami sepeda.
Pak De Jokowi, di manakah gerangan engkau? Sebagai simpatisan Pak De Joko, saya berdoa agar Bapak kembali. Kembali seperti yang dulu. Kalau ada sesuatu yang baik dari Omnibus Law itu sampaikan seperti dahulu sambil “ngebakso” bisa merehabilitasi Pasar Rakyat Kota Solo–sampai 67 kali pertemuan–kata Bu Asisten Sekda Pemkot Solo saat kami audiensi. Kemana niat sosiologis Indonesia seperti itu untuk UU Omnibus Law?
Benar tidak mungkin melibatkan rakyat untuk pasal per pasal, tapi kami dapatkan hatinya Presiden untuk membuka ruang dialog yang dialogis. Kami semua ini rakyatmu anak-anakmu. Kami rindukan Bapak kami hadir kembali di hati dan pikiran kami. Kami ini juga memikirkan kemakmuran NKRI. Pak De Jokowi……Pak……Pak…..dengarkanlah jeritan hati kami, anak-anak Bumi Pertiwi. *