Oleh: Yusriadi
Saat datang ke sebuah SMPN di Kubu Raya, beberapa waktu lalu (2018), saya mendapat pertanyaan kritis dari seorang guru.
“Menurut Bapak, kami ini termasuk daerah terpencil atau dipencilkan, Pak?”
Saya tidak menjawab langsung pertanyaan itu. Saya, kamu yang ada di ruangan itu menyambut dengan tawa.
Entahlah, saat menulis, saya tidak tahu di mana yang lucu di sini. Masalah ini sangat serius. Masalah ini menyangkut masyarakat banyak. Menyangkut kehidupan dasar warga bangsa.
Saya pikir apa yang ditanyakan bapak itu sewajarnya ditanyakan. Apa yang mereka alami wajar dipertanyakan.
Fasilitas publik di tempat mereka memang kurang memuaskan. Sekolah menengah baru berdiri. Anak-anak mereka baru menikmati pendidikan menengah hanya beberapa tahun lalu. Itu pun menengah pertama, dengan tambahan guru yang mengajar lebih banyak guru honorer. Guru pemerintah yang direkrut melalui komputer online itu, adalah guru luar yang senin-kemis. Tapi, apapun, itulah kenyataan yang disyukuri orang sana. Alhamdulillah, meskipun tak sebaik sekolah yang sama di kota.
Persoalan pendidikan juga belum selesai. Untuk bisa sekolah di sekolah menengah atas, apalagi perguruan tinggi, belum mudah. Mereka harus keluar kampung yang jauh.
Tambahan lagi hubungan ke luar kampung tidak mudah. Jalan antar kampung, sebagian besar masih jalan tanah. Belum semua bersemen.
Jalan yang bersemen pun, kecil –kurang satu meter lebarnya. Di beberapa bagian sudah pecah, berlubang.
Karena kondisi itu jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh menjadi sangat jauh. Lalu lintas keluar kampung sulit pada saat hujan.
Listrik juga masih terbatas. Kadang ada, kadang tidak.
Sinyal komunikasi hanya pada titik tertentu. Di sekitar mereka juga datang hilang.
Hal ini pasti ironis. Ironi, karena di era ini mereka mendengar fokus pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran. Mereka, orang pinggiran, yang nyatanya tidak mendapatkan perhatian saat fokus seharusnya diterima mereka.
Jika selanjutnya fokus berubah, habislah harapan dan kesempatan mereka.
Jadi…(*)