Oleh: Nur Iskandar
Anak muda ini lahir di tahun 1913. Tepatnya pada 12 Juli dari seorang ayah yang Raja Pontianak bernama Sri Sultan Muhammad Alqadrie. Leluhurnya membangun Kota Pontianak sejak 1771.
Di dalam darah anak muda ini campuran. Dari silsilah ayah sampai ke Nabi Muhammad SAW. Dari sisi neneknya, Nyai Tua–istri Al Habib Husein Alkadrie adalah Dayak–dari Ketapang. Benar kata ilmu genetika. Hasil persilangan antar gen menyebabkan lahirnya keturunan cerdas. Otak anak muda ini cerdas rrruar biasah.
Enam bahasa internasional dikuasainya, sebab ayahnya menitipkan pendidikannya dengan guru berkebangsaan Inggris: Nona Fox. (Inggris ya bukan Belanda! Tentu ada reason tersendiri dari Sang Ayah yang juga cerdas par excellent di masanya). Sehingga bahasa Inggris Sultan Hamid Alkadrie mengelotok. Buku bacaannya luas–seluas bahasa internasional itu menuliskan ilmu pengetahuannya. Wawasannya luas. Cita-citanya militer, karena ayahnya, Sultan Muhammad adalah tokoh kepanduan, yang kini disebut Kepramukaan. Sekolah SD sampai SMA semuanya di Pulau Jawa. Di masa SD dia sudah bersahabat dengan anak sultan Yogyakarta. Namanya Hamingkubuwono IX. Kuliahnya sempat di ITB lalu kemudian beasiswa ke Akmil di Breda, Belanda sampai lulus sebagai Letnan Dua. Saat itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Disebut Hindia Belanda karena kepulauan dekat India ini menjadi koloni Belanda.
Sebelumnya nama gugusan pulau-pulau Nusantara kita disebut Malay Archipelogo atau Malay Nesos atau Malaynesia, karena masyarakat pesisirnya menggunakan bahasa komunikasi antara sesamanya, yakni Melayu. Sebab itu Malynesia disebut juga Hindia-Nesos atau Indo-Nesos–kelak menjadi Indonesia. Jadi, nama Indonesia secara historis adalah penyebutan nama gugusan kepulauan Nusantara. Lalu siapakah kita yang disebut Indonesia itu? Ya nenek moyang kita yang merasa senasib sepenanggungan, karena sama bahasa, bangsa dan Tanah Air seperti ikrar Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Mereka juga pernah sama-sama merasa senasib sepenanggungan dengan jangkau rasa kekuasaan Sriwijaya (Sumatera) dan Majapahit (Jawa). Sultan Hamid yang lahir 1913 menempuh studi dalam iklim pembentukan keindonesiaan itu. Ia berkarir sebagai KNIL di Hindia Belanda. Ikut berperang melawan Jepang dan dipenjarakan tentara Matahari Terbit. Di masa Dai Nippon masuk ke Kalbar tahun 1942, baru kemudian masuk ke Jawa, ayahnya sang pandu Pramuka, orang nomor satu di Kota Pontianak diciduk Jepang. Tahu-tahu jasadnya Sultan Keenam ditemukan tahun 1946. Namun kekosongan kesultanan diisi Sultan Hamid pada tahun 1945.
Tahun keramat ini, pada 17 Agustus Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Sultan Hamid yang dipenjara Jepang secara praktis bebas dan kembali bertugas sebagai abdi militer. Kota Pontianak? Saat itu masih kerajaan. Sultan Hamid II Alkadrie sebagai sultannya. Nasionalisme Sultan Hamid bertumbuh sebagai raja,lepas dari karir militer yang sudah pernah diemban dan dicita-citakannya sebagai pandu. Ia keliling Kalbar menyerap aspirasi rakyat yang hendak bergabung sama Indonesia merdeka. Maka terbentuklah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB).
Dan ternyata, di Indo-Nesos banyak juga raja-raja yang berpikiran sama. Bahwa mereka ingin bergabung dengan Indonesia merdeka. Tapi akan seperti apa rakyat mereka jika bergabung dengan Indonesia? Harus jelas dulu untung-ruginya. Toh mereka sudah punya organisasi tata negara yang merdeka dan berdaulat? Punya hukum tersendiri? Maka lahirlah BFO. Atau Badan Konfederasi Negara-Negara Federal. Ketua pertamanya Ide Anak Agung Gde Agung dari Bali. Hamid adalah ketua BFO periode kedua.
BFO ini bukanlah antek-antek Belanda. Sebab sistem federasi yang diinginkan adalah untuk melindungi kekayaan kerajaan-kerajaan yang sudah berperadaban di Malaynesos-atau Hindia Belanda–atau Malay Archipelego. Alhasil disepakati bentuknya Republik Indonesia Serikat. Sultan Hamid II Alkadrie adalah anak Kalimantan pertama yang duduk di kabinet. Ia juga adalah Gubernur pertama di Kalimantan Barat. Yakni sebagai Gubernur DIKB. Semasa menjadi anggota Kabinet RIS, ia dengan gemilang merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. Peresmiannya pada 11 Februari 1950.
Banyak foto yang menunjukkan keakraban antara Sultan Hamid dengan Soekarno-Hatta. Dengan HB-IX. TB Simatupang. Sjahrir. Ide Anak Agung Gde Agung. Dst. Dsb. Saya melihat gestur di setiap foto itu, bahwa Hamid paling muda di antara founding fathers itu. Tapi karisma dan auranya rrruar biasa. Wibawanya terpancarkan tak kalah gagah perkasanya. Maklum dia ningrat, dia aristokrat. Dia cerdas cum ilmuan. Dia juga petinggi militer yang nasionalismenya tidak lagi diragukan. Silahkan simak belasan foto yang menunjukkan gestur anak muda hebat Pulau Kalimantan ini. Resapi kepemimpinan dan warisannya Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dan warisan pengakuan kedaulatan dari Belanda saat kita amat sangat membutuhkan pengakuan kedaulatan atas kemerdekaan kita di 17 Agustus 1945 itu.
Dengan melihat foto-foto masa pergerakan mempertahankan kemerdekaan itu, semoga membuka pintu hidayah kepada Kepala Negara, untuk menabalkan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai Pahlawan Nasional pada 10 Nopember 2020 besok. Sebab kepahlawanan Sultan Hamid akan memperkuat kesaktian Pancasila. Di mana setiap 1 Oktober kita merayakan kesaktian Pancasila berkorelasi dengan spirit Sultan Hamid mengingatkan Soekano akan bahaya laten komunisme di Indonesia. Juga karena Lambang Negara yang diteliti ilmuan Kalbar–Turiman faturahman Nur dan Anshari Dimyati, lahir UU Lambang Negara yang mengikat kuat eksistensi Pancasila. Sebab, sebelum lahirnya UU Lambang Negara, tidak ada satupun atribut UU yang menyebutkan nama Pancasila di dalam pasal-pasalnya termasuk UUD 1945, kecuali dalam UU Lambang Negara. Sehingga dengan demikian Pancasila menjadi abadi untuk dipertahankan sebagai dasar negara NKRI.
* (NB: Saat memimpin BFO di KMB, 1949, usia anak Kalimantan itu baru 36 tahun. Karir kebangsaannya moncer. Ia wafat Maret 1978 dan dimakamkan di sebelah ayah-bundanya, serta leluhurnya para Sultan Qadriyah, Makam Batulayang, Pontianak).