Laudato Si-4: Manusia dan krisis ekologis (LS 101-136)
Oleh: Dr Leo Sutrisno
a. Teknologi
Teknologi telah membantu manusia menyelesaikan banyak masalah yang dihadapi dan dapat menjadi sarana yang baik untuk meningkatkan kualitas hidup. Namun, harus diingat bahwa manusia yang menggunakan teknologi itu adalah mansuia yang kebebasannya dapat memudar ketika ia menyerah kepada dorongan bawah sadar, kebutuhan langsung, egoisme atau kekerasan.
b. Paradigm Teknologi
Apa lagi, teknologi itu cenderung menyerap segala sesuatu ke dalam logikanya yang kuat, sehingga kemampuan kita untuk membuat keputusan bebas berkurang. Akibatnya, manusia, dewasa ini, cenderung menerima teknologi ‘menurut suatu paradigma yang seragam dengan hanya satu sudut pandang’.
Karena menghasilkan keuntungan, ekonomi pun juga menerima kemajuan teknologi tanpa memperhatikan lagi kemungkinan dampak negatif kemajuan itu bagi manusia. Spesialisasi dalam teknologi lebih memperkuat keadaan ini karena menjadi sulit melihat realitas secara menyeluruh. Padahal, budaya ekologis tidak dapat direduksi menjadi jawaban-jawaban yang bersifat parsial dan jangka pendek.
c. Antoposentrisme Modern
Antraposentrisme modern menempatkan pola pikir teknis di atas realitas. Akibatnya, nilai intrinsik dunia dilemahkan. Demikian juga, setiap pemahaman bersama dan usaha untuk memperkuat ikatan sosial dihalangi.
Di pihak lain, kini berkembang paham relativisme yang memandang segala sesuatu menjadi tidak relevan jika tidak melayani kepentingan langsung manusia. Paham ini juga merupakan ‘penyakit’ yang mendorong manusia untuk mengeksploitasi sesamanya.
Tetapi, manusia tidak boleh menyerah pada keadaan. Juga, tidak boleh menolak untuk mempertanyakan lagi tentang tujuan dan makna dari segala sesuatu yang ada. Kita harus bergerak maju dalam sebuah revolusi budaya yang berani.
Katekismus Gereja Katolik mengingatkan bahwa campur tangan manusia terhadap ciptaan lain harus dibatasi. Seiring dengan kemajuan teknologi ini, kita perlu memikirkan kembali: tujuan, akibat, konteks, dan batas-batas etis aktivitas manusia berteknologi, khususnya tenologi yang beresiko tinggi, misalnya bioteknologi
Karena Allah mencipkatan manusia di ‘kebun’ yang diciptakan-Nya (Bumi ini), tidak hanya untuk meletarikannya tetapi juga untuk mengolahnya, maka kita perlu memiliki pandangan yang tepat tentang makna pekerjaan.
Bekerja merupakan bagian dari makna hidup di Bumi, khususnya, sebagai jalan hidup menuju pendewasaan dan perwujudan diri. Agar selalu tersedia lapangan pekerjaan, maka perlu memajukan ekonomi yang mendorong keragaman produksi dan kreativitas kewira-usahaan.
Kita perlu menyediakan ruang diskusi yang memungkinkan semua pihak mengungkapkan masalah-masalah mereka agar dihasilkan suatu keputusan yang menguntungkan semua pihak. Dalam berelasi antar-manusia, sebaiknya, dipertimbangkan juga prinsip-prinsip bijaksana yang dipakai ciptaan-ciptaan lain .
Leo Sutrisno
Pakem Tegal, Yogya
4-8-2019