Oleh : H.A.Mahfudz Anwar_
Setiap orang dipastikan memiliki kemampuan membangun citra diri, pandangan pribadi yang dimiliki tentang diri sendiri. Yakni kemampuan melihat dirinya seperti apa. Ibaratnya seperti orang yang bercermin. Dari situlah seseorang akan mengejawantahkan citra diri ke dalam perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasar persepsinya terhadap dirinya sendiri tersebut. Dan dalam fakta ini tidak sedikit orang yang mampu merealisasikan ke dalam aksi nyata. Tapi juga tidak kalah banyaknya orang yang gagal dalam mengaktualisasikan dirinya.
Dari kegagalan tersebut, maka berakibat pada timbul rasa kecewa, cemas, stress dan sejenisnya. Perasaan gagal itu terus menghantui dirinya, sehingga tidak mampu fokus pada perbaikan dirinya sendiri. Maka di situlah sebenarnya pentingnya pondasi wahyu Ilahiyah untuk membimbing manusia. Agar mereka terarah dan tidak mudah frustasi atau putus asa. Peran kitab suci Al-Qur;an dalam membimbing manusia sangat jelas. Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Al-Qur’an sebagai syifa’ (obat) bagi orang yang beriman kepada Allah swt. (Q.S. Al-Isra’ : 82)
Maka dengan keimanannya itulah yang mampu membimbing dirinya menuju jalan lurus yang sesuai dengan tuntunan Tuhan (Syar’i). Dan sebaliknya, manakala manusia menjauh dari Kitab Suci Al-Qur’an, maka sulit rasanya untuk memperoleh hikmah darinya. Mutiara-mutiara yang terseimpan di dalam ayat demi ayat dalam Al-Qur’an itu tidak mampu ditemukan. Oleh karena itu membaca Al-Qur’an secara tekstual saja sudah dinilai sebagai ibadah (al-muta’abbad bi tilawatihi). Apalagi bila mampu membaca makna dan menyingkap isi kandungannya, melalui pemahaman penafsiran-penafsiran yang baik, maka akan diperoleh banyak manfaat dalam mengangkat citra diri seseorang.
Wal hasil dengan menggunakan barometer Al-Qur’an itulah setiap manusia dapat menampilkan citra diri sesuai dengan kehendak (iradah) Allah swt. Dan kehendak Tuhan pasti mengandung hikmah yang besar bagi kehidupan seseorang. Hanya dengan pemahaman yang mendalam-lah akan ditemukan solusi untuk keluar dari keterpurukan diri manusia ini. Menghindari keputus asaan ataupun kekecewaan hanya dengan menghibur diri melalui bacaan-bacaan kalam Allah swt yang Maha Suci. InsyaAllah dengan kebijaksanaan Allah swt, maka Allah akan merubah kondisi buruk tersebut menjadi lebih baik. Hal ini sangat mungkin jika dilakukan secara serius dan terus menerus.
Maka dari itu jika ingin membangun citra diri positif hendaknya dimulai dari menata jalan pikiran yang berdasar hudan (petunjuk) Al-Qur’an. Sebab tanpa mendasari jalan pikiran dengan Al-Qur’an sangat dimungkinkan akan melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang salah. Dikarenakan keterbatasan akal yang dimiliki oleh setiap manusia. Misalnya saja dengan konsep Ridla yang diajarkan oleh Allah swt dalam Al-Qur’an. Dengan konsep Ridla itu, manusia bisa bersikap sabar terhadap berbagai persoalan. Dan dapat menerima takdir Allah swt ( Qana’ah) yang sekalipun belum tentu memuaskan keinginannya.
Seseorang yang ridla terhadap keberadaan suaminya, maka ia akan merasakan kebahagiaan hidupnya. Juga sebaliknya jika ia tidak ridla terhadap keberadaan suaminya –misalnya- maka akan timbul bermacam-macam penyakit yang diakibatkan dari sakit hati yang dipendamnya. Begitu juga orang yang ridla terhadap rezeki yang diterima kesehariannya, ia akan merasakan kepuasan batin yang membahagiakan. Tapi jika tidak ridla atas rezeki yang diterimanya, maka akan menimbulkan sifat serakah dan sejenisnya, yang akan berdampak pada perbuatan negatif. Wallahu a’lam.(Penulis adalah Pegiat Wakaf di Badan Wakaf Indonesia)*