in

Nek A Chi

dr leo sutrisno
Dr Leo Sutrisno

Oleh: Dr Leo Sutrisno

Sudah sebulan aku ‘terdampar’ di sekitar Puskesmas kepulauan yang terluar dan terpencil ini. Dalam peta nasional tak akan tampak. Paling berupa titik-titik sebesar biji kacang hitam yang berserakan di laut Cina Selatan.

Kaki tangga biang lala belum juga muncul, walau pun sudah pukul sembilan. Sebaliknya, justru tumbuh bunga kol raksasa, si cumulonimbus, yang siap menerkam burung-burung baja yang berani mamasuki kedaulatannya. Kakinya kokoh tertancap di lautan Cina selatan. Lidah-lidah petir siap menghanguskan jaringan listrik dalam tubuh burung itu. Demikian pula, serpihan-serpihan kristal es beerkilau keperakan siap membekukan seluruh tubuhnya dan menggulungnya untuk diceburkan di laut bebas.

Tiba-tiba, aku tergoda ingin mengunjungi Nenek Achi. Ia tinggal di hulu sana, di sebuah lanting peninggalan suaminya.

Pada lereng tebing sungai, belakang lanting, jasad almarhum suami di tanam. Makam sangat terawat. Berada di sebuah taman kecil 15×10 m. Sederet bunga krisan melingkari petak makam. Orang percaya bunga ini sebagai lambang kebahagiaan, kesetiaan dan suka cita.

Di depan batu nisan, terdapat kolam kecil dengan tanaman bunga lotus putih. Lotus putih melambangkan kejernihan pikiran dan kemurnian hati. Lotus putih juga mengisyaratkan kesempurnaan spiritual.

Petak kebun sebelah kiri makam berisi empat galuran tanaman: seledri, bawang putih, bawang merah dan wortel. Suatu waktu A Pho Chi menjelaskan kepadaku,

Ku lihat ke atas. Layar plasma langit membentang, Jejak-jejak ku di sekitar rumah Nenek Chi tertayang di sana.

“Nenek menanam sayur itu, selain untuk dimakan juga mengandung harapan nenek. Seledri untuk Tami. Itu lambang kerajinan. Bawang putih lambang kemampuan hitung cepat buat Rejeki. Bawang merah untuk Tari lambang kecerdasan. Dan, wortel untuk Ranti. Wortel itu lambang nasib baik” Terdiam sejenak. Mata berkaca-kaca. Air mata menetes di pangkuan.

“Nenek sakitkah?” Tanyaku. “Ayo ke dalam. Saya periksa!”
Ia manggeleng. Lama kami berdiam diri.
Kemudian, “Aku inggat dia, Entah dimana dia sekarang. Andai, andai juga ada di sini, Ranti pasti senang. Kalian berdua seperti saudara kembar”. Jeda sejenak.

“Ranti sekolah SMA di kota. Waktu libur akhir tahun, ia pulang. Dokter tahu bulan Desember, musim ombak besar. Ia hilang bersama perahu yang ditumpangi. Setehun kemudian, A Kung meninggal menanggung sesal. Mengijinkan Ranti pulang Natal tidak saat libur Imlek.”

Sambil membawa selembar foto hitam putih, “Ini, si sulung. Nama indon-nya Sri Utami. Sekarang di Singapur. Adiknya, Sri Rejeki di Taiwan. Ini, nomor tiga, si bawang merah, Sri Utari. Ia di Kuching. Semua ikut suami masing-masing. Mereka hidup makmur. Dan, ini Ahui. Lupa! Aku, nama indon-nya. Miripkan dengan kau bukan?!”

“Sri Ranti, Nek!” aku menyela.

“Ya, ya. Kau bisa baca tulisan di foto itu, ya?” Aku mengangguk

“Tiap pagi aku berdoa bagi mereka satu per satu di depan galur-galur sayur itu. Namun, tiap sampai di galur Ahui, Ranti, aku terdiam”

Lanjutnya, “Jika Ahui, Ranti, memang sudah tiada, aku harap agar jiwanya sempat mengarungi empat lautan lebih dahulu. Di barat ada Danau Qinghai. Di timur ada Laut Cina Utara. Di utara ada danau Baikal. Dan, di selatan, di sini, ada Laut Cina Selatan”

“Saya turut berdoa baginya, Nek”. Kataku
“Kedatangan saya ke sini mengabarkan bahwa dana untuk operasi mata sudah didapatkan. Minggu depan kita turun ke kota, ya?!!” Aku diam menunggu jawabannya. Nenek Chi menggeleng.

“Dokter, aku berterima kasih atas usahamu mencarikan ini. Tetapi, aku sudah tua. Biarlah aku melanjutkan sisa hidupku ini dengan satu mata. Untuk silih bagi hidup Ahui, Ranti. Agar dapat nasib yang baik jika masih hidup. Pakailah dana tersebut untuk bantu meningkatkan kesehatan orang lain yang lebih memerlukan!”

“Amin!” Sambutku. Tidak lama kemudian Layar Plasma langit lenyap. Ada seekor burung elang terbang memotong rombongan burung Mliwis yang terbang menuju pebukitan.

Saat ini, aku kembali duduk di lereng bukit bebatuan di bibir sumber air belakang rumah. Menanti semburat merah jingga di batas cakrawala.

Dalam kebeningan air sumber yang keil ini aku melihat bayang-bayang senyum Nenek Chi ke arahku. Sepintas terlihat ada dua batu nisan di belakang lanting dengan tulisan ‘Tuan dan Nyonya Chi Chung Hua’. Galur-galur tanaman sayur berubah menjadi taman bunga Peony, bunga kemakmuran. Tampak di taman itu seekor ayam jantan sedang mematuk-matuk wortel.

Ternyata, dalam hidup di alam fana sana tak lepas dari penderitaan. Di dalam kebahagiaan keluarga Chi yang ketiga anaknya hidup sukses di manca negara, ada Ranti yang hilang di telan alam.

Di dalam kebahagian yang kuterima pun demikian. Sukses hidupku tak dapat dirasakan lama.

Kebahagian ayah dan ibu menyaksikan anak-anaknya berhasil menapaki kehidupan dengan mulus dan lancar, ada aku yang meninggalkan mereka jauh lebih awal dari yang diharapkan. Tak ada orang lain yang mengantarkan jasadku sampai di liang lahat kecuali para petugas medis yang rela merawat jenasah orang meninggal karena Covid-19.

Hidup adalah misteri. Tak ada kebahagian yang bebas dari penderitaan. Namun, justru di dalam penderitaan itu muncul kemurahan hati, muncul kebahagiaan.

Pakem Tegal, Yogya. 29-4-2020

Written by teraju.id

dr leo sutrisno

Hari Kartini

dr leo sutrisno

Anak Pintar