Oleh: Juharis *
Siapa yang tak mengenal Thomas Alfa Edison, tokoh ilmuwan penemu bola lampu pijar yang menggemparkan dunia. Keberhasilan Thomas tersebut bukan dua atau tiga kali percobaan, tapi berkali-kali hingga menemukan titik temu pencapaian keberhasilan. Seorang kontributor di salah satu media yang cukup terpandang, Forbes, mengutip kata-kata Thomas Alfa Edison sebagai berikut Saya bukan gagal 10.000 kali. Saya tidak gagal sekalipun. Saya berhasil membuktikan bahwa ada 10.000 cara yang keliru. Ketika saya telah mengetahui cara-cara yang keliru, akhirnya saya akan menemukan sebuah cara yang benar. Jadi kegagalan sebenarnya bukanlah kegagalan sebagaimana pemahaman kita, tapi kegagalan adalah kekeliruan dalam proses.
Setiap orang di muka bumi pasti pernah mengalami masa lalu yang buruk, buruk dalam artian selalu mengalami kegagalan dalam upayanya. Semua orang sukses sebagian besar sebelum mereka meraih kesuksesan tentu pernah menempuh masa tertatih bahkan terjatuh. Kenyataannya kesulitan yang mereka hadapi adalah arus yang menghanyutkan mereka menuju kesuksesan. Baik buruknya masa lalu hakikatnya bukan jaminan sukses atau berhasil tidaknya seseorang. Usaha yang gigih terhadap apa yang diinginkan dengan membersamakan Tuhan dalam setiap tindakan menjadi bagian penting dalam memaknai dan menggapai impian itu sendiri.
Allah Swt berfirman dalam kitabnya Alquran ayat ke 216 dari surah Al-Baqarah Boleh jadi kamu membenci sesuatu. Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. Firman Allah ini adalah jawaban atas kesulitan yang seseorang alami di masa lampau. Bukankah sekarang sudah mendulang kebahagian dan kesuksesan.
Hari perhitungan seperti yang diyakini umat beragama khususnya Islam, secara perspektif syariat sebenarnya belum terjadi. Akan tetapi, melirik dari sudut pandang kausalitas sebenarnya sudah terjadi. Seorang yang malas-malasan dalam kesehariannya suatu saat akan mendapat kesusahan di masa depan, perhatikanlah mereka yang gagal, pengangguran dan hidup tidak karuan. Sebab utama atas perihal semacam ini adalah semata kemalasan dan tidak mau berupaya. Sebuah ungkapan yang masih terngiang di telinga saya bahwa hari ini adalah hasil atas upaya kemarin.
Seorang yang malas di masa mudanya akan dipaksa bekerja keras di waktu tua, karena sederhananya masa muda adalah masa yang paling tepat dalam mengembangkan potensi diri yang nikmatnya didapati ketika lansia.
Manusia dalam kehidupannya selalu mengonsepkan diri dengan nasib, bukan merupakan kecerdasan ketika kegagalan lantas didalihkan kepada nasib bahkan menyalahkan nasib. Nasib secara hakikat dapat diubah oleh individu masing-masing. Hanya saja karena kebiasaan menunda pekerjaan atau justru mengabaikan pekerjaan yang menjadikan nasib seorang individu jauh dari konsekuensi baik.
Contoh kasus ialah seorang mahasiswa dalam proses kuliah tiba-tiba timbul keraguan dengan disiplin ilmu yang dipilihnya, entah itu karena susah memahami materi dari masing-masing mata kuliah yang ada atau faktor lainnya. Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa rata-rata ketika ditanya alasan mengapa memilih jurusan di sebuah kampus lantas menjawab dengan menggaruk kepala, kening mengerut bahkan menggigit jari pertanda kebingungan sebenarnya apa yang mendasari mereka memasuki program studi mereka. Kejadian mahasiswa yang seperti ini adalah kelumrahan. Ketika saya duduk di bangku SMA, dulu di awal-awal sebelum memilih jurusan, pelajaran yang disukai adalah terkait Ilmu Sosial, kemudian singkat cerita memasuki akhir semester 2, setiap siswa diperintahkan untuk memilih jurusan, antara Ilmu Sosial atau Ilmu Alam.
Teman akrab saya pada waktu itu memilih Ilmu Alam, hingga saya kebingungan untuk memilih, tapi akhirnya Ilmu Alam menjadi pilihan yang sebenarnya tidak sepenuhnya niat hati di Ilmu Alam. Awal masuk semester 3 dan berada di lingkungan anak-anak IPA, seperti yang telah diketahui anak IPA identik dengan kepintaran mereka. Saya merasa berada di zona tidak aman karena kurang mampu dalam meresapi setiap pelajaran yang diajarkan. Lalu saya terpuruk dan sedikit stres sebabnya. Namun, karena tidak ada pilihan lain saya pun mencoba mengikuti proses. Seiring berjalannya waktu, perlahan saya sudah bisa beradaptasi dengan semua pelajaran IPA tersebut.
Artinya adalah ketika seseorang sudah berada dalam pilihan dan sedang menjalani pilihan tersebut, tindakan yang tepat saya kira adalah menikmati prosesnya bukan kemudian mengeluh dan mencoba lari dari masalah tersebut. Selama masih berada pada koridor kebenaran dan kebaikan ditambah kita juga memiliki keyakinan untuk bisa menjalaninya meskipun secuil saja. Maka, dengan menikmati proses keyakinan itu bertahap akan tumbuh berkembang dan besar. (Penulis adalah mahasiswa Ekonomi Islam IAIN Pontianak)