Oleh: Nur Iskandar
Suatu hari Google mendukung kampanye Climate Change. Mereka ikut hadir dalam kenferensi internasional di Kalimantan Tengah yang ketika itu gubernurnya Teras Narang adalah komponen anggota Governor Climate Change bersama Gubernur AS Arnold S sang aktor legendaris. Masa jaya-jayanya Arnold semasa aksi Rambo alias Silvester Stalon. Begitupula Teras Narang dari PDIP itu semasa jayanya dengan Gubernur Kalbar, Drs Cornelis,MH.
Saya salah seorang wartawan yang beruntung diundang CIFORR yang kampanye tentang gambut. Khususnya REDD. CIFORR terlibat dalam kegiatan kampanye Climate Change di mana Google terlibat di dalamnya.
Saat itu direktur dari Google memperkenalkan Google Maps yang bisa menjembatani data prihal lokasi, sampai titik pohon yang hendaknya dipertahankan terkait REDD. REDD itu adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Ia adalah langkah-langkah yang didesain untuk menggunakan insentif keuangan untuk mengurangi emisi dari gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.
Menariknya saat itu wartawan bertanya tentang rekam Google Maps bisa tidak digunakan untuk tujuan politik. Misalnya memenjarakan pembalak liar yang jelas merusak atau membakar hutan. “Kami tidak terlibat dalam kebijakan politik. Google hanya menderaikan teknologi citra satelit, jika mau digunakan silahkan saja secara terbuka.” Begitu kira-kira jawaban dari pria berambut panjang tergerai dengan bentuk kiwil-kiwil. Secara bercanda, kawan-kawan wartawan mengistilahkan setiap kiwil rambutnya berkapasitas berapa mega pixel. Hehehe.
Saya coba cari kartu nama sang direktur, tapi tidak ketemu. Namun esensinya, Google sepengetahuan saya tidak punya platform politik. Sehingga batas wilayah dan penamaan Palestina di Google Maps semestinya ada. Kenapa? Karena PBB mengakui negara Palestina.
Jika nama Gang di lokasi Google Maps di Indonesia bisa dirubah, tentu Palestina juga bisa masuk dalam Google Maps. Dan Google mempunyai kantor, silahkan saja merujuk ke kantornya untuk menuliskan nama Palestina itu sehingga terang benderang terbaca.
Beberapa tahun yang lalu Google Indonesia kirim team ke Pontianak. Mereka menggunakan mobil menyoroti jalan-jalan dan nama-nama Gang. Saat itu jembatan Parit Demang di antara Purnama dan Perdana belum ada. Jadi lokasi yang tertera di Google Maps hanya sampai batas ujung lingkar luar Kota Pontianak. Sementara jalan akses yang jalan dan jembatan lancar, semua tertera jelas tanpa kesalahan. Adapun jika surau disebut mesjid, maka ini teks pendataan nama yang keliru, tapi posisinya ada.
Perihal Palestina tidak ada dalam Google Maps dihapus atau tidak adalah masalah yang bisa dibuka secara gamblang. Mari kita lihat apa kata Google?
Mengutip kompas.com yang juga mengutip pemberitaan The New York Times pada 11 Agustus 2016, seorang juru bicara mengatakan tidak pernah ada label Palestina di Google Maps. Pada saat itu pihaknya mengemukakan, ditemukan “bug” yang menghapus nama Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dan mengatakan segera mengatasinya.
Melansir sumber “Independent” yang dikutip kompas.com, Google tidak segera memberikan komentar terhadap tuduhan apakah mereka yang menghapus Palestina dari Google Maps atau “bug” seperti pernyataan di New York Time. Tetapi bagian dari situs webnya didedikasikan untuk menyatakan batas-batas yang disengketakan, dengan ketentuan: Batas yang disengketakan ditampilkan sebagai garis abu-abu putus-putus. Tempat-tempat yang terlibat tidak menyetujui batas. Dengan demikian, bisa disimpulkan alasan kenapa Palestina tidak ada di Google Maps karena Google menganggap Palestina sebagai wilayah yang masih terlibat sengketa.
Jadi sejak berjumpa para petinggi Google di ajang REDD–Konferensi Cliate Change di Kalteng sekira tahun 2010, sikap Google masih pada koridor yang pernah saya dengar. Bahwa mereka independen dari sikap politik.
Kita bisa berperan memunculkan Palestina di Google Maps dengan turut serta terlibat secara administratif maupun politik memperjuangkan Palestina dari konfliknya dengan Israel. Dalam hal ini tentu saja badan dunia PBB yang punya power atau kekuatan untuk itu. Bagi kita yang tidak mampu mengurusnya sampai ke PBB, biarlah para diplomat kita didorong melalui Kemenlu untuk bersuara tentang batas wilayah itu. Kalau tidak, ya paling lemah dengan doa. Sementara saya menulis saja apa yang saya ketahui tentang Google dengan sikap profesionalitas mereka. Ini kerja orang media. Let’s do it together. *