Oleh: Leo Sutrisno
Kemajuan teknologi telekomunikasi dan teknologi informasi yang berlangsung dalam tiga dasa warsa terakhir ini menghasilkan peristiwa ‘big bang’ dalam dunia digital. Dewasa ini, hampir semua orang tidak lepas dari dunia ini. Dunia dalam genggaman tangannya selama 24 jam tiada henti.
Hampir semua orang kini dengan penuh kegembiraan menjelajahi dunia maya dimana pun dan kapan pun. Dampaknya, banyak orang kehilangan interaksi personalnya. Mereka menjadi ‘anonim’, tanpa identitas yang sesungguhnya. Mereka yang kurang kuat kepribadiannya dengan mudah meninggalkan norma-norma sosial yang berlaku, tanpa meresa bersalah.
Media (termasuk media sosial) merupakan sarana utama untuk menyampaikan dan mendapatkan informasi yang benar. Sayang, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar ini sering tidak dijamin karena ada pertarungan kepentingan dalam hal politik, ekonomi atau budaya. Padahal, sesungguhnya, informasi yang benar itu mencerahkan kehidupan. Informasi yang benar membantu menjernihkan pertimbangan untuk bisa mengambil keputusan yang tepat.
Sayang, dalam dunia industri, informasi dianggap sebagai barang dagangan. Informasi menjadi barang komoditas. Karena itu, terjadilah persaingan dalam emperoleh dan menyampaikan informasi. Persaingan semacam ini sering diikuti dengan ‘mimetisme’. Mimetisme adalah semacam ‘gairah’ yang tiba-tiba muncul di banyak orang untuk menyampaikan informasi, yang sepertinya urgen, yang sama dengan informasi yang disampaikan oleh yang lain.
Muncullah apa yang disebut ‘logika waktu pendek’ yaitu menyajikan informasi secepet mungkin, bahkan kalau bisa mendahului yang lain-lain. Akibatnya, sering informasi yang disampaikan kurang cermat karena kurang matang ditelaah.
Sindrom dari ‘logika waktu pendek’ adalah kecenderungan memberikan informasi yang singkat dan cepat saji. Pada umumnya informasi semacam itu bersifat spektakuler, sensasional, superfisial dan beragam. Dengan kata lain yang bersangkutan mengadopsi ‘logika mode’.
Karena sifatnya yang spektakuler, sensasional, dan superfisial, informasi tersebut sering tidak sesuai dengan sifat-sifat keselarasan masyarakat. Etika interaksi sosial ditinggalkan.
Pada titik ini, terjadilah destruksi sosial. Perpecahan yang mengganggu prinsip rukun dan prinsip hormat yang berlaku di masyrakat. Individualis muncul bersama-sama dengan sikap hedonis. Mereka ‘hanya’ mementingkan ‘kenikmatan’ diri sendiri dan melupakan kepentingan orang lain dan masyaraakatnya.
Individualis dan hedonis ini semakin diperkuat oleh sifatnya yang anonim, tidak diketahui identitas yang sesungguhnya.
Tetapi, betulkah demikian? Tidak dapat dilacak identitas yang sesungguhnya? Tidak!. Para penemu teknologi selalu menyertakan sarana untuk menjamin keselamatan pemakai tenologinya. Dalam hal dunia digital, para penemu teknologi menyediakan suatu program yang dapat merekam semua proses digital yang telah dilakukan, dikenal istilah ‘jejak digital’.
Selain jejak digital yang disediakan oleh para penemu teknologi, jejak administrasi juga dilakukan oleh banyak pemerintah negara-negara maju di seluruh dunia. Di Indonesia, selama tiga tahun terakhir ini juga mengikutinya dengan mengharuskan setiap pengguna HP melakukan registrasi nomornya dengan menggunakan NIK-nya.
Dengan demikian, identitas semua pengguna HP di Indonesia teradministrasi dengan baik. Karena itu, walaupun seseorang mengungggah informasi secara anonim, jejak digital dan identitas pengunggahnya dapat dilacak.
Karena itu, ada baiknya para pemakai media sosial mengindahkan etika berkomunikasi untuk menjamin keselarasan, ketentraman, keamanan masyarakat. Kalau tidak, penjara dan denda siap menunggu.
Mangga kaoncèkana
22-2-2019. Pakem Tegal, Yogya
Nuwun