Oleh: Leo Sutrisno
Dalam pola pergaulan orang Jawa terdapat dua ‘aturan’ yang tidak boleh dilanggar, yaitu: harus rukun dan harus hormat. Kedua aturan ini digunakan untuk memelihara keselarasan, kedamaian, ketenangan, ketentraman di masyarakat. Dalam sajian ini akan dibahas aturan pertama, “rukun”.
Istilah ‘untuk memelihara keselarasan’ menjadi kunci karena, orang Jawa beranggapan bahwa sejak Bumi itu ada, seluruh isinya dalam keadaan selaras satu sama lain. Jadi, keselarasan, kedamaian, ketenangan, dan ketentraman itu tidak diciptakan manusia. Manusia ‘bertugas’ memeliharanya.
Berlaku rukun dalam pola pergaulan orang Jawa berfungsi untuk mencegah konflik di masyarakat. Dengan kata lain, ‘rukun’ berarti usaha untuk menghindari konflik.
Ada beberapa tindakan yang mencerminkan bahwa yang bersangkutan telah bertindak rukun. Di antaranya adalah: ‘menekan kepentingan pribadi’, menggunakan kasa kata tertentu (‘kula raosaken’/saya rasa, mbok menawi/barangkali, dan ‘inggih’/ya), berpura-pura, menggunakan tata tutur ‘krama’, serta bermusyawarah.
Konflik di masyarakat terjadi jika ada sejumlah kepentingan yang saling bertentangan. Karena keadaan rukun merupakan lawan dari keadaan konflik, maka orang Jawa menghendaki agar dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat tidak menampakkan kepentingan pribadi.
Karena itu, mereka yang memiliki ‘inisiatif untuk maju’, mereka yang punya pendapat lain, atau bahkan mereka yang memiliki saran bagus sering dianggap tidak pantas jika dimunculkan secara terus terang. Jika ada yang menyampaikannya, maka tidak jarang yang bersangkutan langsung diserahi tugas untuk menindaklanjuti yang diusulkan itu.
Menggunakan kosa kata tertentu juga menjadi sarana untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan berlaku rukun. Sering didengar kata ‘kulâ kintên’, ‘kulâ raosakên’, ‘mbokmênawi’ di awal kalimat untuk menggantikan frasa ‘menurut pendapat saya’.
Kata lain yang amat sering diucapkan orang Jawa untuk merespons ucapan lawan bicara adalah ‘inggih’ – ya. Walaupun sesungguhnya itu sebuah penolakan. Lawan bicara mesti ‘pintar’ mentafsirkan makna kata ‘inggih’ ini. Apakah sungguh menyetujui atau sebaliknya menolak mentah-mentah. Karena itu, sering didengar ungkapan ‘Inggih ora kepanggih’ – berkata ‘ya’ tetapi tidak ‘diwujudkan’.
Berpura-pura (éthok-éthok) merupakan laku rukun yang sangat sering dilakukan. Berpura-pura tidak mau menerima pemberian orang lain. Berpura-pura tidak berminat, berpuruan setuju, berpura-pura tidak lapar, berpura-pura tidak meminta dsb. Berpura-pura ini sungguh pura-pura karena dilakukan sekedar untuk menunjukkan sikapnya yang rukun.
Bagi sebagian orang Jawa, ketika bertutur kata dengan orang lain lebih sering menggunakan tata tutur ‘krâmâ’. Dalam tata tutur krâmâ, tidak tersedia kosa kata ‘kasar’ yang dapat menimbulkan kekerasan. Tata tutur krama juga tidak menyediakan kata-kata atau ungkapan yang secara jelas menampilkan emosi si pembicara. Dalam praktek, jika terjadi konflik, maka tata tutur mereka bergeser ke tata tutur ‘ngoko’.
Menempatkan semua orang sebagai keluarga. Orang Jawa pada umumnya menggunakan sapaan keluarga kepada siapa saja. Sapaan dalam keluarga: bapak/pak, ibu/bu, mas, mbakyu/mbak, dhik, mbah, romo, kyai/nyai digunakan untuk menyapa orang lain. Bahkan untuk raja digunakan sapaan ‘sampéyan ndalem/kakimu), ngarsa dalem/depanmu).
Tindakan untuk menunjukkan kerukunan digunakan ‘musyawarah’ dalam pengambilan keputusan. Setiap orang diberi kesempatan untuk mengajukan pendapatnya. Kemudian, pemimpin pembicaraaan, walau tidak terus terang, mengutarakan plus-minus pendapat-pendapat itu, dan secara halus merangkainya menjadi sebuah pernyataan baru yang dapat diterima oleh semua pihak. Disebutlah hasil musyawarah.
Inilah sejumlah tindakan untuk menunjukkan sikap seseorang terhadap orang lain. Kerukumaan mutlak harus dilakukan agar keserasan di masyarakat tetap terjaga.
Mangga kaoncekana
20-2-2019, Pakem Tegal, Yogya
Nuwun