in

Perjuangan Panjang Sultan Hamid II Mendukung Kemerdekaan NKRI Berdaulat Penuh (1)

turiman-faturahhman-nur

Oleh: Turiman Fachturahman Nur

Stigma negatif kepada Sultan Hamid II dirasakan sesuatu stigma yang menyakitkan bagi generasi milineal yang sadar sejarah Kalimantan Barat, karena Sultan Hamid II adalah tokoh pemersatu multi etnis di Kalimantan Barat, ketika Kalimantan Barat ini dalam wadah Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB), 1947, yang secara konstitusional diabadikan dalam Pasal 2 b Konstitusi RIS 1949, pertanyaan yang perlu diajukan bagaimana fakta sejarah hukum Indonesia?

Patut diketahui, bahwa setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, Belanda masih merasa mempunyai kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu Negara bekas jajahan masih di bawah kekuasaan Kerajaan Belanda dengan alasan: Ketentuan Hukum Internasional yang menyatakan, bahwa suatu wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti bahwa Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan bagian dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan di Hindia-Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/penguasa semula.

Alasan kedua, adalah mengacu kepada Perjanjian Postdan, yaitu perjanjian yang diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh negara sekutu dengan pihak Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan dikembalikan kepada penguasa semula. Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa memiliki kedaulatan atas Hindia-Belanda secara De Jure.

Akibat adanya pandangan ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya. Kelak momentum 10 Nopember ini menjadi hari pahlawan di negara kita.
Bagaimana untuk mengakhiri konflik ini? Diadakanlah Perjanjian Linggarjati. Hadir tokoh diplomat yang mewakili Indonesia di antaranya Sutan Sjahrir, Amir Syarifudin, Moh. Roem, A. K. Gani, Leimena, Susanto, Soedarsono, serta Ali Budiarjo. Mereka berperan sebagai sekretaris delegasi. Perundingan Linggarjati dilakukan hingga pengumuman hasil perundingan yang diumumkan pada 15 November 1946. Perundingan yang dilakukan selama beberapa hari ini berjalan sangat alot hingga menuai pro kontra terhadap hasil atas perundingan tersebut.

Pada tanggal 25 Maret 1947 di Linggarjati (Perundingan Linggarjati) hasilnya antara lain menetapkan: 1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di wilayah-wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda. 2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). 3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.

Terhadap hasil penetapan tersebut Delegasi Indonesia menganggap bahwa upaya diplomasi yang dilakukan Indonesia berdasar pada dua tujuan pokok. Pertama, berusaha agar Republik Indonesia diakui oleh sebanyak mungkin negara di dunia sehingga perjuangan bangsa Indonesia dapat dianggap sebagai negara yang berdaulat penuh dan tidak sebagai “gerakan nasional” dalam suatu negara jajahan. Kedua, mempertahankan kekuatan fisik yang telah dibangun.

Pertentangan pendapat mengenai pro dan kontra hasil Perundingan Linggajati rupanya memicu ketegangan. Untuk mengatasi ketegangan tersebut wakil presiden Moh. Hatta berpidato dalam sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tanggal 25 Februari–5 Maret 1947. Sidang tersebut kemudian menghasilkan dua pilihan, yakni menerima Peraturan Presiden (PerPres) yang bertujuan untuk menambah anggota KNIP atau mencari presiden dan wakil presiden baru. Dalam pidatonya, secara implisit Hatta mengeluarkan ultimatum, bahwa ia dan Sukarno akan mengundurkan diri jika pilihan pertama yang ia sampaikan tersebut ditolak. Sidang tersebut berakhir dengan menerima terbentuknya Peraturan Presiden. Pada tanggal 28 Februari 1947 dilantiklah sejumlah 232 anggota baru KNIP.

Melalui penambahan suara atas dilantiknya sejumlah anggota baru KNIP, pemerintah berhasil memperoleh dukungan dari KNIP untuk meratifikasi persetujuan Linggarjati. Pada tanggal 25 Maret 1947 naskah persetujuan Linggarjati ditandatangani oleh kedua delegasi yang mewakili negara masing-masing. Syahrir yang mewakili Indonesia mengatakan bahwa yang sangat penting ialah pengakuan dunia internasional terhadap Republik. Hasil perundingan ini membuat Indonesia memperoleh pengakuan de facto dari beberapa negara lain, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Pakistan.

Sementara itu, pada bulan Juli 1947 Indonesia memperoleh pengakuan secara de jure dari Mesir, diikuti pula oleh Libanon, Syria, dan Afghanistan. Pengakuan dari beberapa negara ini menunjukkan bahwa Republik sudah berhak membuka perwakilan diplomatiknya di luar negeri (O.E. Engelsen: 1997). Namun, terjadi perbedaan tafsir mengenai beberapa pasal dalam hasil Perundingan Linggarjati. Situasi semakin diperkeruh dengan adanya sikap Belanda yang melanggar gencatan senjata. Belanda melancarkan aksi agresi militer pada 21 Juli 1947 yang mereka sebut sebagai politionale actie atau “tindakan kepolisian”.

Agresi militer I terjadi atas dasar dua pokok, yaitu (1) melenyapkan Republik Indonesia sebagai negara merdeka dengan menghilangkan semua atribut kemerdekaanya meliputi, TNI dan perwakilan-perwakilan republik di luar negeri; (2) keadaan keuangan Belanda yang sangat gawat. Serangan pertama yang dilakukan Belanda ini bermaksud menduduki Yogyakarta––sebagai ibu kota perjuangan Republik Indonesia dan daerah-daerah lain yang memiliki potensi ekonomi.

Aksi militer yang dilakukan Belanda tersebut menimbulkan reaksi dunia sebab aksi tersebut dianggap mengancam perdamaian dunia. Oleh karena permasalahan tersebut tidak mencapai titik temu, masalah yang dihadapi Indonesia saat itu kemudian menjadi salah satu agenda sidang Dewan Keamanan pada 31 Juli 1947.

Di sisi lain kondisi ini membuat kedudukan Indonesia semakin kuat dan dunia mengakui perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sejak tanggal 4 Agustus 1947 Dewan Keamanan memerintahkan penghentian permusuhan antara Indonesia dan Belanda. Amerika mengusulkan untuk membentuk sebuah komisi jasa-jasa baik. Pemerintah Indonesia memilih Australia menjadi anggota komisi, Belanda memilih Belgia, sementara kedua negara yang terpilih ini memilih Amerika Serikat yang kemudian dikenal dengan Komisi Tiga Negara (KTN).(Bersambung)(*Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)

Written by teraju.id

pahlawan nasional

Respon Budi Irawan Munir untuk Sultan Hamid II Pahlawan Nasional

DIKB

Perjuangan Panjang Sultan Hamid II Mendukung Kemerdekaan NKRI Berdaulat Penuh (2)