Oleh: Turiman Faturahman Nur
Rushdy Hussen seorang sejarahwan yang obyektif. Ia dalam webinar nasional dengan AGSI Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Pusat, Ahad (4/7/2020) “Menguak Tabir Sultan Hamid II dalam Sejarah Bangsa” menjelaskan:
“Sultan Hamid II dikenal sebagai pemimpin Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO). Beliau kuliah di THS Hb (Technische Hoogeschool te Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung), walau tidak sampai selesai. Lalu pergi ke Belanda untuk belajar di Breda.” Lebih tepatnya Koninklijk Militaire Academie (KMA), sebuah akademi militer elit dan terkenal di Belanda.
Rushdy mengatakan, “Keberadaan Sultan Hamid II di KNIL sebelum masa kedatangan Jepang. Ketika lulus, Sultan Hamid II ditempatkan di Pulau Jawa, menikah di Malang Jawa Timur. Beliau lolos dari Peristiwa Mandor di Kalimantan Barat, sementara ayahandanya (Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie, red.) tewas. Setelah zaman Jepang, terlibat dalam perundingan -perundingan awal di Belanda tahun 1946. Ada fotonya bersama perwakilan-perwakilan Indonesia non-republik, termasuk dengan Van de Kroon.”
Selanjutnya, ketika perundingan Linggarjati dan Renville, Sultan Hamid II tidak ikut. Namun hadir ketika perundingan-perundingan di Makassar, Denpasar, lalu di Bandung. Sultan Hamid II terpilih jadi ketua BFO, waktu itu dalam pemilihan bersaing dengan Ida Anak Agung Gde Agung.
Sultan Hamid dengan jabatan penting sebagai wakil Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) berdasarkan konstitusi RIS 1949 dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, ini yang disebut Rushdy sebagai perundingan di Makassar. Lalu Denpasar, BFO, dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Rushdy memberikan pandangannya tentang BFO. “Saya sepakat dengan Prof. Leirissa, bahwa peranan BFO sangat penting. Belanda mengutus perwakilan menemui Bung Karno dan Bung Hatta karena ditahan di Bangka. Tujuannya untuk mengajak mengadaan KMB (Konfrensi Meja Bundar, red.) tanpa melibatkan konsep RI (Republik Indonesia, red.). Kata Soekarno, “Kami tidak bisa berunding karena saat ini pemerintahan dipimpin Syafrudin. Lalu ketika Sultan Hamid II menuju Bung Hatta, kelihatan Hatta enggan, dan baru tertarik ketika Hamid berbicara bahwa ia juga ingin Belanda hengkang. Dan di sini lah ada peluang Konfrensi Inter Indonesia.”
Berdasarkan pandangan Rusdy tersebut kita memang mengangkat fakta sejarah harus obyektif, karena fakta sejarah di era digital ini sangat mudah menelusuri peristiwa besar dalam time line sejarah, namun ketika fakta sejarah dibawa dengan sentimen sejarah dan dendam sejarah apalagi arus politik menjadi subyektif, namun kembali lagi dalam kaitannya dengan realitas makna kepahlawanan dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2009 paradigma makna kepahlawanan sangat luas, dalam penjelasan umum Undang Undang terbaca jelas paradigmanya Pemberian Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dimaksudkan sebagai penghormatan dan penghargaan terhadap setiap warga negara yang memajukan dan memperjuangkan pembangunan bangsa dan negara demi kejayaan dan tegaknya NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan diberikan oleh negara untuk menumbuhkan kebanggaan, keteladanan, kepatriotan, sikap kepahlawanan, dan semangat kejuangan di dalam masyarakat.
Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa ”Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang’’. Pasal 15 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut secara tegas mengamanatkan pembentukan undang-undang yang mengatur kewenangan Presiden sebagai kepala negara untuk memberikan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Rumusan pasal tersebut mengamanatkan kepada Presiden agar dalam memberikan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan kepada WNI, kesatuan, institusi pemerintah, organisasi, ataupun WNA mempertimbangkan aspek kesejarahan, keselarasan, keserasian, keseimbangan, bobot perjuangan, karya, prestasi, visi ke depan, objektif, dan untuk mencegah kesan segala bentuk dikotomi.
Jadi kata kunci kewenangan Presiden untuk mempertimbangan aspek kesejarahan, keselarasan, keserasisn, kesimbangan, bobot perjuangan, karya, prestasi, visi ke depan, obyektif dan untuk mencegah kesan segala bentuk dikhotomi, tentu pertimbangan ini harus dibaca bijak, bahwa makna gelar kepahlawan paradigmanya sudah bergeser tidak harus pernah perang fisik atau mengangkat senjata atau harus mendapat bintang gerilya dahulu, para dewan gelar seharusnya jangan terkukung dengan paradigma yang sempit dan atau tanpa memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memaparkan secara komprehensif pahlawan yang akan diusulkan, tetapi jika gelar pahlawan adalah sebuah produk politik menjadikan paradigma Undang Undang tersebut hanya instrumental kebijakan.(*Penulis adalah dosen hukum tata negara di FH Universitas Tanjungpura–Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara dan penulis biografi politik Sultan Hamid II)