Oleh: Leo Sutrisno
Berkali-kali, Persiden Joko Widodo mengatakan pada masa jabatan kedua ini akan membangun ‘sumber daya manusia-(SDM)’ Indonesia, sembari meneruskan membangun infrastruktur fisik di seluruh Indonesia. Fokusnya, membuat orang Indonesia mampu bersaing bersama-sama seluruh masyarakat global.
Sesungguhnya, istilah SDM, yang diciptakan oleh para manager, sering menyebabkan degradasi harkat dan martabat manusia. Dalam kerangka pikir sebagai SDM, manusia diposisikan setara dengan SDA serta sumber-sumber lain bagi para manager. Akibatnya, proses dehumanisasi terus berlangsung tanpa disadari. Dampaknya, timbul konflik ‘keras dan kasar’ antara manager dan karyawan.
Kata-kata yang sesungguhnya tidak sesuai dengan tata tutur manusia yang beradab bermunculan tak terkendali. Kemunculan kata-kata seperti ‘dungu’ dan sejenisnya diucapkan oleh orang yang berpendidikan dengan tanpa beban.
Pilihan kata-kata seperti itu semakin meluas dalam interaksi masyarakat Indonesia di dunia maya. Kecenderungan ini didukung oleh penggunaan nama-nama akun yang berbeda dari indentitas yang tercatat resmi di Kominfo. Dalam dunia maya, identitas seseorang menjadi ‘maya’. Identitas yang sesungguhnya tidak mudah diketahui.
Ketika identitas seseorang sudah menjadi maya, maka ‘prinsip kerukunan’ bermasyarakat yang masih berlaku di Indonesia menjadi tidak cocok lagi. Dalam ‘prinsip kerukunan’ setiap orang harus menekan kehendak diri sendiri sedemikian rupa demi kerukunan di masyarakat. Prinsip kerukunan meminta penghormatan itu dari ‘bawah’ ke ‘atas’. “Sudah, mengalah sedikit tidak apa, asal masih tetap rukun. Apalagi dia itu atasan kita” merupakan ungkapan yang sangat lajim didengar.
Cara penghormatan seperti itu terjadi karena dalam berinteraksi, didasarkan atas jawaban dari, “Siapa aku, siapa dia”. Jawaban untuk pertanyaan ini tidak mudah dijawab dalam dunia maya karena identitas lana interaksi yang sesungguhnya tidak diketahui. Karena itu, prinsip kerukunan menjadi tidak cocok dalam hidup bermasyarakat di dunia maya dan perlu diganti dengan prinsip lain. ‘Prinsip kewajiban’ kiranya dapat digunakan sebagai pengganti.
Prinsip kewajiban menekankan, setiap orang wajib menghormati orang lain. Implementasinya dalam dunia maya, setiap orang yang sedang berinteraksi dengan orang lain di dunia maya wajib saling menghormati satu sama lain walau pun indentitas yang sebenarnya tidak diketahui.
Karena interaksi dalam dunia maya dilakukan dengan saling mengirim tulisan, maka pilihan kata menjadi yang utama. Setiap orang yang berinteraksi dalam dunia maya harus sungguh-sungguh memilih kata, istilah, dan ujaran yang menunjukkan rasa hormat kepada lawan interaksi. Tentu, isi yang dikomunikasikan juga harus yang sungguh benar.
Mengganti prinsip berinteraksi dalam hidup bermasyarakat dari prinsip kerukunan ke prinsip kewajiban tidak cukup dilakukan per individu secara suka rela. Perubahan ini mesti dirancang dan digerakkan oleh para pemegang kekuasaan: eksekutif, legislatif, dan judikatif. Dengan kata lain, peralihan ini harus menjadi kebijakan negara.
Presiden Joko Widodo bersama para pembantunya, sebaiknya menjadikan perubahan dari prinsip kerukunan ke prinsip kewajiban dalam berinteraksi dengan liyan masyarakat Indonesia sebagai salah satu kebijakan utama dalam membangun harkat dan martabat orang Indonesia. Para budayawan mesti dilibatkan.
Semoga!