Gambar di bawah ini adalah kondisi terakhir bangunan istana Glumpang Dua di Keude Geurugok, Gandapura, kabupaten Bireuen.
Istana ini merupakan hadiah pemerintah Belanda kepada wedana (zelfbesturder) Glumpang Dua yg saat itu dipegang oleh Teuku Bintara Istia Muda Peureudan.
Istana ini mulai dibangun pada tahun 1903 semenjak padamnya perlawanan sultan Aceh. Dari arsitektur rumah tersebut jelas sekali mengadopsi rumah gaya mediteranian Eropa klasik (gothic).
Kondisi terkini rumah tersebut sangat menyedihkan. Di beberapa sudut bangunan termakan usia dan sebagian atapnya sudah berjatuhan. Bangunan ini sudah tak dihuni lagi oleh pemiliknya. Saat ini jatuh pada ahli waris almarhum Ir. T. Hanafiah, mantan dosen IPB Bogor. Bahkan dikabarkan rumah ini siap dijual, berdasarkan pamflet yg tertera di dinding rumah tersebut (insert, kondisi terkini istana Glumpang Dua, Geurugok, 2019, courtesy pribadi).
Sebelum terjadi perang Peusangan Raya (1882-1899), istana ini dahulunya terletak di Kuta Panjoe, Neuse.
Dulu Kuta Panjoe adalah pusat pemerintahan Keujruen Peusangan yg didirikan oleh Teuku Diadjat Pasee tahun 1182 H (1673M)– seorang panglima perang yg ditunjuk oleh sultan Aceh utk memimpin sebuah negeri baru yg bernama Keujruen Peusangan Raya. Wilayah ini meliputi 6 kemukiman yaitu kemukiman Jeumpa, kemukiman Glumpang Dua, kemukiman Sawang, kemukiman Blang Oanyang (Nisam), kemukiman cunda dan kemukiman Meuraksa Bayu.
Sebelum Belanda hadir di Aceh, wilayah Keujruen Peusangan merupakan wilayah yang sangat makmur dengan pertanian dan nelayan sebagai mata pencaharian penduduknya. Puncak emas kekuasaan Keujruen peusangan semasa T. Chik Nyak Krueng berkuasa atau dikenal dengan Teuku Bentara Kuanta (1844 – 1868). Beliau merupakan putra bungsu dari Teuku Diadjat Pasee, pendiri negeri Peusangan Raya. Paska beliau wafat tahun 1868 dan digantikan oleh putra tertuanya Teuku chik Muhammad Hasan, tak lama beliau memerintah hanya 3 tahun saja. Kemudian tahun 1873 beliau digantikan adiknya T. Bentara Mahmud Kuta Panjoe (Teuku Moeda Tji’).
Pada tahun 1874, Teuku Bentara Mahmud wafat, beliau digantikan oleh keponakannya T.Chik Syamaun. Sedikit demi sedikit perselisihan mulai terjadi dengan penguasa kemukiman Glumpang Dua yang tak lain adalah saudara sepupunya sendiri, T. Bentara Husin. Sementara itu pada tahun 1881, pasukan Belanda yg dipimpin jenderal Van der Heijden telah sampai di Samalanga, pecah perang tak dapat dihindari.
Pocut Meuligoe adik dari Teuku Chik Bugis yang saat itu menunaikan ibadah haji memimpin pertempuran di front barat melawan Belanda. Pasukan Belanda sendiri mulai kewalahan menghadapi pasukan Pocut Meuligoe, situasi ini mulai dibaca oleh jenderal Van Der Heijden, agar semangat perlawanan perang sabil di Samalanga— jgn sampai menjalar ke peusangan raya— maka taktik devide et impera mulai disebar di wilayah Peusangan.
Ternyata perangkap yg dipasang belanda ini berhasil, tahun 1882 meletuslah perang antar ulee balang di wilayah Peusangan Raya. Puncaknya, tahun 1883 pasukan Ampon Chik Syamaun menyerang Kuta Panjoe, pusat pemerintahan glumpang dua. Kuta panjoe jatuh ke tangan pasukan ampoen chik syamaun. Penguasa Glumpang Dua saat itu Teuku Bentara Husin melarikan diri ke wilayah Sawang. Beliau menyampaikan protes keras melalui Asisten Residen Belanda di teluk samawi G.A. Scherer.
Sedikit demi sedikit, Belanda mulai memainkan perannya di perang peusangan raya. Teuku Chik Syamaun diminta mundur dari Kuta Panjoe oleh Scherer. Permintaan ini dipenuhi oleh ampoen Chik Syamaun dengan beberapa persyaratan. Sesaat perangpun mereda. Tak lama berselang, tahun 1884, pasukan ampoen Chik Syamaun di bawah pimpinan Teuku Muda Peusangan Maharaja Jeumpa kembali menyerang Kuta Panjoe, Blang Panyang (Nisam), Cunda dan Bayu dari darat dan laut yg melibatkan pasukan yg besar.
Glumpang dua, Blang Panyang (Nisam) dan Cunda berhasil diduduki oleh Ampoen Syik Syamaun. Protes kembali dilayangkan kpd belanda atas perbuatan Ampoen Syik Syamaun, Belanda memang piawai dalam memainkan perannya di konflik ini. Atas inisiasi residen belanda G.A Scherer, pada tahun 1889 utk menyelesaikan konflik horizontal ini, dibuatlah satu pertemuan besar antar ulee balang di wilayah Keujruen Peusangan, bertempat di Keude Amplah Nisam yg disebut deklarasi Keude Amplah. Pihak-pihak ulee balang yg hadir dalam pertemuan tersebut yaitu : T. Muda peusangan maharaja jeumpa dan T. Keujruen Nusyah pulo iboih dari peusangan barat. T. Bintara muda husin dan T. Bentara Muda Peureudan dari glumpang dua. Rhi Mahmud mewakili Blang Panyang, Nisam sbg tuan rumah dan Sawang di wakili oleh panglima prang muda dan Teuku Puteh. Sedangkan dari Cunda dan Meuraksa Bayu diwakili oleh Teuku Mahmud dan T. Bentara Muda Chik.
Deklarasi ini menghasilkan suatu keputusan bahwa batas demarkasi antara Peusangan barat dan Peusangan timur adalah Glee mirah poen, Cot Ijue. Tetapi sayangnya perjanjian damai ini gagal, karena pertempuran masih terjadi antara kedua belah pihak. Pd th 1897 kembali dibuat suatu perjanjian damai di Lhokseumawe yg dimotori oleh Scherer. Kali ini perwakilan Peusangan timur menunjuk Maharaja Abdul Hamid sbg perwakilannya sedangkan peusangan barat menunjuk T. Raja Itam Geudong sebagai perwakilan arbitrasenya, Untuk hakim Arbitrase ditunjuk T. Muda Osoeih (T.Nyak Muda Yusuf) Poelim Pidie sbg hakim arbitrase mewakili assisten residen G.A. Scherer. Deklarasi Lhokseumawe ini menghasilkan keputusan bahwa batas demarkasi antara peusangan barat dan peusangan timur adalah krueng tingkeum kuta blang. Akibat dari konsekwensi perjanjian ini, pihak peusangan timur harus memindahkan ibukota Glumpang dua dari Kuta Panjo, Meuse ke Geurugok.
Pada tahun 1903, Belanda mulai membentuk pemerintah otonom (zelfbesturder) setingkat wedana dan menunjuk T. Bintara Istia Muda Peureudan sebagai wedana Glumpang Dua dengan Geurugok sebagai ibukota pemerintah berikut segala fasilitas pemerintah dan rumah dinasnya. Demikianlah sejarah berdirinya Istana Glumpang Dua, Geurugok.
(Dosen IPB (alm) dikutip dari FB Murizal Hamzah)