Oleh: Eka Hendry, Ar.
Slomang-ology, ini istilah yang mengada-ada, mana suka (arbitrer). Cocok mencocok aja, barangkali serupa dengan ilmu cocokology. Slomang adalah nama ikan hias kecil yang sekarang lagi naik kelas, dari parit (selokan) ke etalase (multi aquarium). Dulu diminati anak2 kecil karena lucu, cantik dan senang berkelahi (ikan sabong istilah bocah).
Point saya, ada fenomena yang menarik ditulis. Bukan untuk keperluan ilmiah, tapi sekedar iseng, sekaligus “menggembirakan” para penikmat dan penghoby.
Dulu bocah-bocah bisa dapatkan ikan itu dengan harga 10-20 ribu per ekor. Bahkan mungkin lebih murah dari itu. Tapi sekarang, harganya naik drastis, sampai jutaan. Karena ternyata ikan ini dapat di breed (kembang biakan) melalui perkawinan silang.
Rupanya gen ikan ini bukan penganut stratifikasi tertutup. Mereka ternyata bisa di kawinkan lintas asal daerah, lintas bangsa, lintas jenis dan warna sisik dan ekor. Hasil campur tangan para penghoby ini melahirkan jenis2 slomang dengan high class Slomang.
Cerita Slomang, ini nyaris serupa dengan saudara floranya, bunga atau daun keladi. Yang sekarang sedang digilai oleh emak-emak, sambil mengisi kegiatan di sela-sela menjadi guru bagi anak di rumah. Keladi yang habitatnya juga di daerah rawa dan basah, tidak jauh-jauh juga dari parit. Kini naik tahta, berpindah ke pot-pot mahal dan di pajang di teras dan ruang tamu. Harganya juga bukan main, ada yang sampai jutaan rupiah.
Meskipun ada di antara namanya yang tidak enak didengar. Anda tahu sendirilah. Tidak sampai hati saya menyebutnya.
Ilmu perselomangan dan perkeladian (slomagology dan keladiology) memberikan saya pengajaran tentang hidup. Dengan sedikit sentuhan Midas (bukan dalam artian sombong) para penghoby, dan treatment sains yang sederhana, serta taste estetis yang tinggi, kedua hamba Tuhan yang semula habitatnya di parit dan rawa, naik pamor dan kastanya. Tidak hanya terangkat status sosial diantara kolega flora dan fauna lainnya, akan tetapi memberikan “harga kepuasan” yang tinggi bagi manusia. Dari segi harganya bisa menjadi tambahan income yang memadai, dan menjadi inspirasi tentang keindahan dan kepuasan.
Di tengah “kesenduan” hidup akibat pandemi Corona, dan silang sengakrut perpolitikan yang semakin dalam keterbelahannya, hadirnya Slomangology dan keladiology menjadi “penghibur”. Setidaknya menghibur mata, hati dan dompet. Dan yang paling tidak disadari, para penghoby kini sebagian orang dewasa.
Ini gejala menghadirkan jiwa kekanak-kanakan (bukan dalam artian childish yang cenderung negatif), akan tetapi jiwa yang dipenuhi kegembiraan meski untuk hal-hal yang kecil dan sepele. Kemudian jiwa kekanak-kanakkan juga jiwa yang bukan pendendam dan mudah berdamai. Tempat kiranya, istilah “small is beautiful”.
Khulasah dari iseng-iseng ini, saya mengambil ibrah (pengajaran) bahwa, kita yang bukan siapa-siapa, jika “dipoles” dengan sains (ilmu pengetahuan), rasa estetika yang tinggi dan dilakukan sebagai hobi, maka kita bisa bermetamorfosa dari nothing menjadi valuable and meaningful (bernilai dan bermakna).
Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak