Oleh: Anshari Dimyati **
Setelah diakui keberadaannya oleh dunia internasional, transisi berdirinya Indonesia kemudian menuai konflik pemikiran di dalam tubuhnya. Konflik pemikiran tersebut lahir dari adanya ketidak sepahaman antara konsep “Negara Persatuan” dan konsep “Negara Kesatuan”. Urgensi pemikiran-pemikiran tersebut diprakarsai oleh “founding fathers” Indonesia, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Sultan Hamid II, Ide Anak Agung Gde Agung, M. Yamin, Tengku Mansoer, dan tokoh lainnya pada masa itu.
Perbedaan pemikiran konseptual ini berlanjut dalam cara-cara politik. Dan akhirnya ada yang menang dan ada yang kalah. Kelompok yang memegang tampuk kekuasaan, alias si pemenang, kemudian dengan gampang mengeluarkan kebijakan politik maupun kebijakan hukum terhadap lawan politik yang tidak sepaham.
Pada 1949 hingga 1960-an, Indonesia mengalami masanya yang berat kala memasuki proses menapaki identitas bangsa. Terjadi pergolakan politik di setiap sudut yang dampaknya masih terasa hingga saat ini. Sebagai contoh, dapat penulis sebutkan “pemberontakan” yang dilakukan oleh kaum oposisi terhadap kaum yang memerintah saat itu, seperti Westerling di Pasundan, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Pasundan, Daud Bereuh di Aceh, Andi Azis, Kahar Muzakar, RMS (Republik Maluku Selatan), dan banyak lainnya. Apa-apa yang terjadi ini bukannya tak berjejak. Ini adalah konflik ideologi untuk penguasaan sebuah basis yang menggairahkan, yaitu masyarakat dan negara.
Yang terjadi setelah kemenangan demi kemenangan itu adalah pembuatan sekian retorika kehidupan, pun pengukiran sejarah. Akan tetapi, ada yang tak dapat ditepis, yakni fakta bahwa sebagian hukum di Indonesia merupakan hukum kolonial Belanda, negeri yang dalam narasi Indonesia diposisikan sebagai musuh. Hukum terakhir itu dielaborasikan begitu saja dengan pemikiran-pemikiran dari Barat tanpa mengedepankan budaya-budaya yang ada, yang berbeda satu sama lain. Di satu sisi, hukum tak tumbuh dan timbul dari masyarakat itu sendiri. Sedangkan di sisi lain, jelas tercantum pada Sila 3 Pancasila, yakni “Persatuan Indonesia” (Federalisme), dan bukan “Kesatuan Indonesia” (Unitarisme).
Untuk menghapus lawan-lawan politiknya, negara memiliki senjata ampuh yang sudah ia dapatkan dari barat. Senjata itu adalah perangkat aturan bernama “Makar”. Di Eropa, perangkat anti revolusi ini sudah lama digunakan. Di Nederland (Belanda), pada 1920, diperkenalkan undang-undang bernama Anti Revolutie Wet (Undang-Undang Anti Revolusi). Isi dari undang-undang ini kemudian dimasukkan ke dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch (KUHP Belanda). Perangkat anti revolusi ini serta merta diadopsi oleh Indonesia, negara yang muncul dari puing-puing negara taklukan atau yang bekerjasama dengan Belanda di Kepulauan Melayu, untuk selanjutnya dikodifikasi ke dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia.
Untuk mengetahui sejauh mana keberadaan sejarah penetapan kebijakan hukum dan politik di Indonesia, salah satu kasus pada 1950-an agaknya patut untuk didedah ulang. Kasus tersebut terjadi pada satu tokoh yang dilupakan ataupun terlupakan oleh negara: Sultan Hamid II. Tokoh penting Pontianak, Kalimantan Barat (West Borneo), dan Indonesia ini merupakan salah satu dari sekian banyak politisi yang mendapat pukulan dari lawan politiknya yang telah berhasil memegang tampuk kekuasaan di Indonesia. Ia dituduh sebagai pelaku utama atau konseptor dari apa yang disebut pergerakan pemberontakan Westerling di Bandung pada awal 1950.
Dalam konsep bernegara, Sultan Hamid II adalah seorang “Federalis 100%”. Dan sikap inilah yang kemudian membuatnya berkonflik dengan kaum Unitaris, para penganut paham negara Kesatuan yang menginginkan adanya dominasi atau sentralisasi. Alhasil, Sultan Hamid II di penjara sepuluh tahun atas tuduhan makar yang tidak terbukti tersebut. Sedangkan di sisi lain, tindakan makar yang dituduhkan kepadanya sangat kontradiktif dengan apa yang telah dia perjuangkan untuk Indonesia.
Kehidupan Sultan Hamid II memiliki dinamika yang berliku dan kontroversial pada kiprahnya di dunia politik dan kenegaraan, pun demikian dengan leluhurnya yang telah mengalaskan Negeri betuah Khatulistiwa Pontianak.
Ihwal Sultan Hamid II
Allahyarham Tuanku Sri Paduka Y. M. Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie, atau biasa disebut dengan nama Sultan Hamid II, adalah Sultan ke-7 (1945 – 1978) Kesultanan Qadriyah Pontianak. Dia adalah keturunan dari pendiri Negeri Pontianak bernama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie. Sultan Hamid II dilahirkan di Pontianak pada 12 Juli 1913, bertepatan dengan 7 Sya’ban 1331 H, dari kedua orangtuanya, yaitu Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (ayah) – Sultan ke-6 dan Syecha Jamilah Syarwani (ibu).
Sejak kecil hingga dewasa, Hamid memperoleh pendidikan modern di berbagai tempat. Dia mulai belajar dari Sekolah Rendah Pertama di Europeesche Lagere School (ELS) di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. Kemudian Hamid meneruskan studi lanjutan Sekolah Menengah pada Hogeere Burger School (HBS) di Bandung dan HBS V di Malang. Setelah tamat sekolah, pada 1932 Hamid melanjutkan pendidikannya pada tingkat Perguruan Tinggi di Technische Hooge School (THS), Fakultas: de Faculteit van Technische Wetenschap, Jurusan: de afdeeling der Weg en Waterbouw, di Bandung, sebagai Angkatan Pertama. THS kemudian berubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB).
Namun, pendidikan di THS hanya dijalani oleh Hamid selama satu tahun. Dia lebih tertarik untuk masuk ke Akademi Militer di Belanda. Pada 1933, Hamid berhasil lulus untuk mengikuti pendidikan di Koninklijke Militaire Academie (KMA) di Breda, Belanda, yang dia tempuh sejak 1933 sampai 1938. Pada 1938, Hamid dilantik sebagai Perwira pada Koninklijke Nederlandsche Indische Leger (KNIL) atau dapat disebut Kesatuan Tentara Hindia Belanda, dengan pangkat Letnan Dua. Dalam karir Militer, Hamid ditugaskan di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya.
Pada 31 Mei 1938, Hamid melangsungkan pernikahan dengan seorang wanita bekas temannya di Malang. Marie van Delden, demikian namanya, anak dari Kapten van Delden. Marie adalah seorang wanita Belanda kelahiran Surabaya, pada 5 Januari 1915. Marie van Delden, yang juga biasa disebut Dina van Delden, kemudian diberikan gelar Ratu Mas Mahkota Didie Al-Qadrie ketika Hamid dinobatkan menjadi sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak. Marie kelak lebih dikenal sebagai Didie Al-Qadrie. Dari pernikahan tersebut, Hamid dan Didie memiliki dua orang anak. Seorang anak wanita bernama Syarifah Zahra Al-Qadrie (Edith Denise Corry Al-Qadrie) yang lahir di Malang pada 26 Februari 1939, dan seorang anak laki-laki bernama Syarif Yusuf Al-Qadrie (Max Nico Al-Qadrie) yang lahir di Malang pada 19 Januari 1942.
Bersama KNIL, Hamid ikut bertempur melawan fasis Jepang di Balikpapan pada 1941. Karena terluka, atas perintah komandannya ia berangkat ke Pulau Jawa; mula-mula ke Surabaya lalu ke Malang. Tentara Hindia Belanda sendiri tak mampu mengatasi perlawanan Jepang, dan kemudian menyerah pada 10 Maret 1942. Sebagai perwira KNIL, Hamid masuk dalam target penangkapan.
Sejak 1942, Hamid kemudian ditangkap militer Jepang dan ditahan selama tiga setengah tahun di Batavia. Pasca Perang Dunia II, pada 1945, Jepang menyerah tanpa syarat dan berangsur keluar dari Kepulauan Melayu. Pasukan Sekutu pun kemudian kembali masuk ke wilayah yang disebut oleh Belanda sebagai Hindia Belanda. Hamid dibebaskan dari tahanan sebagai tawanan Jepang, dan kembali aktif sebagai perwira KNIL dengan kenaikan pangkat menjadi kolonel.
Selama kurang lebih tiga setengah tahun menjadi tawanan perang oleh Jepang, Hamid tidak pernah mendapat kabar tentang negeri, keluarga, dan kesultanannya. Baru setelah keluar dari tahanan, ia mendengar telah terjadi pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh Jepang terhadap rakyat Kalimantan Barat. Tragedi ini disebut sebagai persitiwa Mandor. Dia amat prihatin ketika mendengar bahwa ayahnya, saudaranya, serta puluhan kerabat kesultanan Pontianak pun telah menjadi korban pembunuhan Jepang. Karena itulah ketika pertama kali tiba di Pontianak, Hamid berusaha mencari jenazah ayahnya melalui interogasi terhadap sisa-sisa perwira Jepang yang masih berada di Pontianak, serta berdasarkan kesaksian-kesaksian masyarakat setempat. Ketika jenazah Sultan Syarif Muhammad ditemukan, jenazah ayahnya tersebut diangkat dan dimakamkan kembali dengan upacara kebesaran Kesultanan Qadriyah Pontianak di Batu Layang.
Akibat Peristiwa Mandor di Kalimantan Barat, terjadi kekosongan kekuasaan/pemerintahan (interregnum) pada 1944 – 1945 di Kesultanan Qadriyah Pontianak. Pasalnya, semua putra almarhum Sultan Syarif Muhammad juga ikut gugur akibat keganasan Jepang. Terkecuali Hamid yang menjadi satu-satunya putra mahkota yang masih hidup. Sebagai seorang perwira aktif KNIL, Hamid masih ingin melanjutkan karirnya di bidang militer atau pertahanan. Tetapi, situasi Kesultanan di Pontianak serta Kalimantan Barat semakin demikian kacau, dan menggugah hatinya untuk kembali ke Pontianak.
Sekembalinya ke Pontianak, Hamid kemudian dilantik menjadi Sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak pada 29 Oktober 1945. Dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, dengan langsung ia dapat berhubungan dengan rakyatnya di Pontianak. Secara pribadi, Hamid kurang dikenal masyarakat Pontianak karena telah lama tidak kembali ke kampung halamannya itu. Namun, setelah menjadi Sultan, dia begitu ditaati dan dicintai oleh masyarakat di Pontianak dan Kalimantan Barat. Dia berusaha memajukan wilayahnya dengan macam-macam upaya, di antaranya mendirikan sekolah dan memberikan beasiswa kepada rakyatnya yang akan melanjutkan pendidikan.
Pada 1946, Hamid yang merupakan seorang Perwira KNIL mendapat kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal (Generaal-Majoor) dalam Angkatan Darat Belanda. Itu adalah pangkat tertinggi yang berhasil diraih seorang putera negeri. Kala itu, usianya masih 33 tahun. Kemudian, pada tahun itu pula, Hamid diangkat sebagai Ajudan Istimewa Ratu Kerajaan Belanda (Adjudant in Buitengewone Dienst van HM Koningin der Nederlander), yaitu Ratu Wilhelmina (Wilhelmina Helena Pauline Marie van Orange-Nassau).
Keadaan kesultanan-kesultanan di Kalimantan Barat telah hancur berantakan oleh perbuatan Kerajaan Jepang pasca Peristiwa Mandor. Namun, setelah Hamid naik tahta di Kesultanan Pontianak, dia mencoba memperbaiki keadaan pemerintahan di tanah kelahirannya itu. Bersama dengan negara kerajaan/kesultanan lain di Kalimantan Barat, pada 1946, Hamid membentuk sebuah ikatan federasi negara bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) sebagai Daerah Otonom (negara yang tegak berdiri sendiri) yang terdiri dari tiga belas kerajaan (swapraja) dan tiga neo swapraja. Hamid kemudian menjadi Kepala DIKB sejak 1947 sampai 1950.
Ikatan Federasi di Kalimantan Barat itu juga memiliki hubungan persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Sejak menjadi Opsir KNIL, Hamid tak pernah memperhatikan persoalan politik di Hindia Belanda, hingga ketika menjadi kepala negara kemudian, muncul keinginannya untuk berdiri sendiri sebagai sebuah bangsa dan negara yang merdeka, pun begitu pula keinginan rakyatnya.
Tak hanya di Kalimantan Barat, Hamid juga membentuk Bijeenkomst Voor Federaal Overleg (BFO), atau Perhimpunan Musyawarah Federal, bersama sejumlah tokoh politik negara-negara atau daerah-daerah otonom tetangga dari Pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, Bali. BFO ini lahir dalam Pertemuan Musyawarah Federal di Bandung pada 15-18 Juli 1948.
Gagasan pembentukan BFO berasal dari inisiatif Mr. Ide Anak Agung Gde Agung yang merupakan Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Salah satu tujuan pembentukan BFO adalah untuk menghilangkan kesan bahwa keberadaan negara-negara bagian atau daerah otonom semata merupakan ide dari Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Belanda di kawasan yang kemudian disebut Indonesia, tetapi memang berdasarkan kemauan sendiri.
Selain itu, pembentukan BFO juga berangkat dari keprihatinan atas konflik antara Negara Republik Indonesia (NRI), yang diproklamirkan oleh Soekarno dan M. Hatta pada 17 Agustus 1945 di Batavia, dengan Belanda yang melakukan aneksasi atas Batavia dan beberapa daerah lain di Jawa sebagai daerah Koloni Belanda.
Sultan Hamid II. Foto: Dokumentasi Anshari Dimyati.
Telah dilakukan beberapa perundingan di antara kedua belah pihak pada 1946 hingga 1948, namun perundingan-perundingan tersebut tak mencapai titik temu. Kemudian, BFO berusaha menjembatani kepentingan NRI maupun Belanda, yang selanjutnya tercapai melalui Konferensi Meja Bundar (KMB).
Pada 1949, Hamid terpilih sebagai Ketua BFO berdasarkan pemilihan oleh negara-negara anggota. Pemilihan Hamid sebagai Ketua BFO dilangsungkan setelah ketua sebelumnya, Mr. Tengku Bahriun, meninggal dunia. Mr. Tengku Bahriun adalah ketua pertama setelah terbentuknya BFO pada 1948. Dia berasal dari Negara Sumatera Timur (NST).
Hamid tertarik untuk bekerjasama dan membentuk gerakan persatuan bangsa-bangsa serumpun. Kemudian, bersama BFO, Hamid mendatangi Soekarno dan Hatta yang sedang diasingkan di Muntok, Pulau Bangka, oleh Belanda akibat agresi militer Belanda ke II di Yogyakarta. Hamid dan koleganya di BFO kemudian bersepakat dengan NRI untuk melanjutkan pembicaraan tentang persatuan tersebut yang diberi nama Konferensi Inter Indonesia (KII). Konferensi Inter Indonesia, yang sebetulnya merupakan momen terpenting dari pembentukan bangsa, berlangsung dalam dua tahap; pertama di Istana Kepresidenan NRI di Yogyakarta pada 19-23 Juli 1949, dan kedua di eks Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila) di Jakarta pada 1 Juli hingga 2 Agustus 1949.
Dalam berpolitik dan memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa dan negara, Hamid percaya bahwa Kepulauan Melayu (Indonesia saat ini) lebih tepat mempergunakan sistem federal dalam sistem ketatanegaraannya. Akan tetapi, ia memperoleh tentangan dari kaum republiken saat itu yang banyak berada di Pulau Jawa (terutama Yogyakarta) yang menginginkan menjadi dominator atau sentralistik atau sistem kesatuan (unitarisme). Dalam memperjuangkan kemerdekaan dengan ideologi yang diusungnya, Hamid ikut aktif dalam perundingan-perundingan politik negara, seperti Perundingan Malino, Denpasar, Perhimpunan Musyawarah Federal (BFO), BFC, IJC, Konferensi Inter Indonesia (KII), Konferensi Meja Bundar (KMB) di Batavia maupun di Belanda.
“… maka usaha BFO, sejak lahirnya organisasi ini, ditujukan pada tercapainya kemerdekaan tanah air kita, kemerdekaan untuk segenap bagian tanah air kita, dan untuk mencapai suatu persatuan yang dapat menjamin kemerdekaan, baik bagi seluruhnya maupun untuk bagian-bagiannya…,” demikian ungkap Hamid dalam pidato pembukaan Konferensi Inter Indonesia yang digelar untuk menyamakan persepsi antara NRI dan BFO sebelum maju ke perundingan bersama Belanda.
Sebagai Ketua BFO, Hamid kemudian memimpin Delegasi BFO pada Konferensi Meja Bundar, atau Ronde Tafel Conferentie, di Den Haag, Belanda, yang dilangsungkan pada 23 Agustus hingga 2 November 1949. Konferensi Meja Bundar tersebut adalah perundingan yang dihadiri oleh tiga pihak, yaitu Belanda, BFO, dan NRI.
Hasil dari kesepakatan itu adalah Negara Belanda dan Negara Republik Indonesia (NRI) sama-sama menyerahkan kedaulatan kepada sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Di dalam RIS, selain NRI, juga bergabung macam-macam negara yang sudah tergabung dalam BFO. Ketiga pihak ini menyepakati adanya pembentukan Uni Indonesia – Belanda, serta persemakmuran negara-negara otonom dengan Belanda. Pengakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) tersebut dilakukan pada 27 Desember 1949.
Setelah dilakukan pemilihan, terpilihlah Soekarno sebagai Presiden RIS dan Moh. Hatta sebagai Perdana Menteri. Oleh kepala negara, Hamid kemudian ditunjuk menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio dalam Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 1949 sampai 1950. Dengan surat Keputusan Presiden RIS No. 1 tahun 1949 tanggal 18 Desember 1949, Hamid beserta tokoh lainnya juga ditunjuk sebagai salah satu Dewan Formatur Kabinet RIS.
Lambang Negara dan Penangkapan
Bersama tim perumus lain, Hamid terlibat aktif dalam merancang Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dan dalam pasal 3 ayat (3) Konstitusi RIS 1949, dinyatakan bahwa pemerintah menetapkan lambang negara. Kemudian, Presiden Soekarno menunjuk Hamid yang menjabat sebagai menteri negara tersebut untuk menjadi koordinator tim perumusan lambang negara pada 1950. Dalam sidang kabinet pada 10 Januari 1950, dibentuklah sebuah panitia teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinasi Hamid. Panitia ini bertugas menyeleksi atau menilai usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan ke pemerintah. Di sini Muhammad Yamin menjadi ketua panitia, sementara anggotanya adalah Ki Hajar Dewantoro, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan Purbatjaraka. Dalam proses sayembara pembuatan lambang negara, banyak rancangan yang diajukan, tak terkecuali Hamid dan Muhammad Yamin yang juga mengajukan rancangan lambang negara buatannya masing-masing.
Dua karya terbaik akhirnya dipilih dan diajukan ke Panitia Lencana Negara, yakni rancangan Hamid dan Muhammad Yamin. Akan tetapi, panitia menolak rancangan Muhammad Yamin. Alasannya, rancangan Yamin banyak mengandung unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh fasis Jepang. Pemerintah akhirnya menerima Elang Rajawali Garuda Pancasila rancangan Hamid dan menetapkannya sebagai Lambang Negara Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.
Dalam perkembangannya, banyak masukan-masukan dari berbagai pihak terhadap lambang RIS yang baru itu. Beberapa kali perbaikan pun dilakukan oleh Hamid sehingga menghasilkan Garuda Pancasila seperti yang kita kenal sekarang. Dalam masa kerjanya yang singkat, dia berhasil menciptakan gambar burung garuda sebagai lambang Negara Republik Indonesia Serikat, yang hingga hari ini lambang tersebut digunakan oleh Indonesia yang lain, yakni Negara Kesatuan Repubik Indonesia.
Namun, perjalanan perjuangan Hamid berakhir tragis. Selang dua bulan kemudian, jabatan Hamid sebagai menteri dicabut. Pada 5 April 1950, dia ditangkap saat berada di Hotel Des Indes di Jakarta oleh Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Hamid dituduh sebagai pelaku utama atas perbuatan Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang menyerbu Tentara Nasional Indonesia (TNI) Divisi Siliwangi di Bandung pada 23 Januari 1950, dan berencana menyerbu Sidang Dewan Menteri RIS di Jakarta pada 24 Januari 1950. Tiga tahun kemudian dia diadili dan mendapat vonis hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun.
Ketika bebas pada 1958, Hamid tak lagi berpolitik. Namun, empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Tuduhannya adalah melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi illegal bernama Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC). Dikabarkan, persiapannya dilakukan bersama sejumlah tokoh saat mereka berada di Gianyar, Bali, untuk menghadiri upacara ngaben (pembakaran jenazah) ayah dari Ide Anak Agung Gde Agung. Dalam upacara tersebut hadir sejumlah tokoh oposisi pemerintah dari negara yang sudah dipegang oleh kaum unitaris, terutama dari dua partai yang sudah dibubarkan, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Mohamad Roem (Masyumi), Sutan Sjahrir (PSI), dan Subadio Sastrosatomo (PSI). Mohammad Hatta hadir, begitu juga Hamid yang notabene kawan lama Ide Anak Agung Gde Agung.
Selama empat tahun Hamid ditahan tanpa proses pengadilan. Dia baru dibebaskan pada 1966 setelah era Soekarno berakhir. Tuduhan makar terhadap Hamid, menurut Ide Anak Agung Gde Agung, kemungkinan besar disebabkan pergunjingan orang-orang di sekitar Soekarno, dan bukan berangkat dari fakta. Bahkan Anak Agung menegaskan bahwa semua tuduhan itu omong kosong. Sebab, sejak keluar dari tahanan pada 1958, Hamid tak terlibat dalam kegiatan politik sama sekali.
Selepas dari penjara tanpa proses peradilan tersebut, Hamid beraktivitas di dunia bisnis sampai akhir hayatnya. Sejak 1967 hingga 1978, dia menjadi Presiden Komisaris di PT. Indonesia Air Transport. Pada 30 Maret 1978, pukul 18.15 WIB, Sultan Hamid II pun wafat di Jakarta. Sultan Pontianak terakhir itu meninggal dunia ketika sedang melakukan shalat maghrib. Sultan Hamid II dimakamkan di Pemakaman Keluarga Kesultanan Qadriyah Pontianak, di Batu Layang, dengan Upacara Kebesaran Kesultanan Qadriyah Pontianak.
Peristiwa Sultan Hamid II
“Dalam memperjuangkan kemerdekaan bagi nusa dan bangsa, timbullah keyakinan saya, bahwa bentuk federalisme itulah yang paling baik bagi negara kita”. (Sultan Hamid II)
Federalisme merupakan wacana pemikiran politik yang diusung Sultan Hamid II dalam kemerdekaan Indonesia. Ide politik ini bertujuan menciptakan sistem negara yang lebih mengandung makna keadilan dan kesejahteran serta lebih mampu untuk memakmurkan rakyatnya. Pemerintahan wilayah sendiri yang otonom, nyata, kuat, dan sepenuhnya, serta melalui independensi pengelolaan pemerintahan dari setiap negara-negara bagian yang ada melalui sistem federasi, dianggap lebih dapat menjawab berbagai macam persoalan. Penafsiran penulis terhadap gagasan Hamid ini sungguh masuk akal. Hal tersebut sesuai dengan Pancasila sila ketiga, yakni Persatuan Indonesia (Federalisme) dan bukan Kesatuan Indonesia (Unitarisme). Sebab, tak mungkin negara yang sangat luas dan dipisahkan oleh lautan ini dibuat dalam satu konsep kenegaraan yang sentral.
Penghargaan pemerintah asing kepada Hamid membuktikan bahwa ia memiliki pemikiran cemerlang dan wawasan akademis yang tinggi. Hamid yang menguasai tujuh bahasa asing itu juga memiliki gagasan-gagasan, ide, dan pemikiran sosial politik yang populer dan menembus waktu dan tempat (universal).
Namun, pemikiran politik Hamid ini tak lantas begitu saja dipahami oleh pihak lain yang berkepentingan terhadap makna kemerdekaan. Alih-alih dianggap menginginkan kerjasama dengan kaum serumpun, ia dianggap sebagai pengkhianat dengan segala sikap dan pemikiran yang lebih elastis (tidak kaku) terhadap bangsa asing. Sikap yang kontroversial dengan pemahaman politik yang diusungnya sangat bertentangan dengan kaum republiken (unitaris). Terdapat kontradiksi pemikiran, yang kemudian menuai konflik kepentingan, yang menjebaknya pada suatu propaganda politik. Kebijakan politik diambil dan keputusan hukum ditetapkan. Pada 1953, Hamid divonis sepuluh tahun penjara.
Tuduhan makar yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II lebih dikenal dengan Peristiwa Sultan Hamid II. Penangkapan terhadap Menteri Negara Zonder Portofolio RIS itu dilakukan pada 5 April 1950 oleh Menteri Pertahanan RIS Sultan Hamengku Buwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata yang menjabat pada saat itu. Tuduhan yang dituduhkan kepada Hamid adalah keterlibatannya atau keterkaitannya dengan pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) atau Ratu Adil Persatuan Indonesia (de RAPI) oleh Kapten Westerling sebagai pemimpinnya di Bandung pada 23 Januari 1950, serta niatan Sultan Hamid II untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS dan niat untuk membunuh tiga orang menteri RIS.
Setelah ditangkap, kasus Sultan Hamid II tidak langsung segera dibawa ke pengadilan atau tidak langsung diadili. Salah satu alasan pemerintahan Sukarno pada saat itu terletak pada kesulitan untuk menentukan undang-undang yang akan digunakan untuk mengadilinya. Sedangkan Undang-undang yang ada, menurut Konstitusi RIS, terbatas bagi seorang menteri atau bekas menteri yang melakukan ambtsmidrijf (penyelewengan jabatan). Tuduhan kepada Sultan Hamid II tidak masuk dalam unsur tersebut.
Oleh karena itu Pemerintah RIS harus menyiapkan suatu Undang-undang Federal sebagai landasan hukum atas kasus tersebut. Sebelum niat untuk mempersiapkan Undang-undang tersebut tercapai, Kabinet RIS bubar pada Agustus 1950. Republik Indonesia Serikat kemudian diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah Perdana Menteri Mohamad Natsir. Sedangkan Westerling yang memimpin langsung “aksi brutal” di Bandung tersebut dikabarkan berhasil meloloskan diri dan keluar dari Indonesia.
Rabu, 25 Februari 1953 (kurang lebih tiga tahun kemudian), kasus Sultan Hamid II mulai diperiksa oleh Mahkamah Agung Indonesia. Jaksa Agung Republik Indonesia R. Soeprapto (yang menggantikan Jaksa Agung RIS Tirtawinata) mendakwa Sultan Hamid II dengan empat tuduhan yaitu: Primair; ikut menyerbu kota Bandung bersama Westerling dan APRA/de RAPI, Subsidair; membujuk dan membantu Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu sidang Dewan Menteri RIS, Subsidair Lagi; memberikan denah tempat persidangan Dewan Menteri sehingga Westerling dan Frans Najoan akan mudah melakukan penyerangan, dan Lebih Subsidair Lagi; membujuk Westerling dan Frans Najoan untuk membunuh tiga pejabat tinggi. Dasar hukum atas dakwaan yang diajukan tersebut diatur dalam Pasal; 108 ayat (1) No.2, 108 ayat (2), 110 (2) No. 1, 110 ayat (2) No. 2, 163 bis. Ayat (1) jo. Pasal 338, 340, 333 jo. Pasal 53 dan 55 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jo. Staatsblad 1945 No.135.
Sistem pengadilan yang digunakan untuk Sultan Hamid II adalah untuk tingkat pertama dan terakhir. Artinya, persidangan kasus Sultan Hamid II tersebut merupakan Forum Previlegiatum (hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri) yang pelaksanaannya pernah diberlakukan pada Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Selanjutnya, pada 25 Maret 1953, Jaksa Agung Soeprapto menuntut hukuman 18 tahun penjara bagi Sultan Hamid II, dan pada 8 April 1953, karena tidak adanya bukti yang kuat, dakwaan primair daripada dakwaan tersebut diatas tidak dapat dibuktikan (tidak terbukti).
Sementara itu, Mahkamah Agung Indonesia dengan ketua MR. Wirjono Prodjodikoro menjatuhkan hukuman penjara sepuluh tahun dipotong masa tahanan (tiga tahun). Dasar pertimbangannya adalah adanya niat Sultan Hamid II menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati (membunuh) tiga pejabat pemerintah (Menteri Pertahanan: Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Kementrian Pertahanan: Mr. Alibudiardjo, dan Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia: Kolonel Simatupang) pada saat itu, yang niat tersebut dibatalkan olehnya. Kasus Sultan Hamid II ini merupakan kasus pertama kali yang diperiksa oleh Mahkamah Agung dalam tingkat pertama maupun tingkat terakhir di dalam sejarahnya, yaitu kasus pertama dan terakhir.
Landasan Mahkamah Agung untuk memutus kasus Sultan Hamid II pada 1953 adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Pada dasarnya, delik yang dituduhkan kepada Sultan Hamid II merupakan Delik Terhadap Keamanan Negara (Delik Makar) yang termaktub di dalam Bab I Buku Kedua dari KUHP tersebut. Terhadap akumulasi dari pasal-pasal yang didakwakannya (Pasal; 108 ayat (1) No.2, 108 ayat (2), 110 ayat (2) No. 1, 110 ayat (2) No. 2, 163 bis. Ayat (1) jo. pasal 338, 340, 333 jo. pasal 53 dan 55 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) jo. staatsblad 1945 No.135), menurut penulis, tidak ada satu pasal pun yang memenuhi unsur delik yang telah diuraikan berdasarkan dakwaan dan putusan.
Dengan melihat data atau dokumen perkara, bahwa yang menjadi pertimbangan hakim serta melalui dasar pengaturan hukum yang mempengaruhi hakim untuk membuat putusan tersebut adalah berdasarkan dakwaan dan tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Agung terhadap Sultan Hamid II sebagaimana dimaksud dalam dakwaan Primair, Subsidair, Subsidair, dan Lebih Subsidair Lagi, yaitu dengan menjatuhkan hukuman penjara selama delapan belas tahun, dipotong dengan waktu selama terdakwa berada dalam tahanan. Begitu pula dengan pertimbangan atas pembelaan (pleidooi) yang disampaikan oleh Sultan Hamid II dan Pembelanya Mr. Surjadi, juga berdasarkan atas pemeriksaan-pemeriksaan atas sidang pengadilan.
Hasil Analisis Yuridis Normatif pada Kasus Sultan Hamid II
Pada saat Mahkamah Agung Indonesia mengadili dan mengeluarkan vonis hukuman terhadap Sultan Hamid II sebagai terdakwa tuduhan makar (pemimpin atau pengatur pemberontakan), terjadi sebuah kesalahan serta penyimpangan dalam mengambil putusan. Hal ini disebabkan tidak adanya faktor yuridis yang dapat membuktikan bahwa Sultan Hamid II bersalah secara hukum. Artinya, ada domain hukum yang diintervensi oleh kewenangan politik dalam mengambil sebuah keputusan maupun kebijakan, pun dengan situasi di Indonesia ketika itu yang tengah mengalami ‘konflik politik’ atau ‘konflik ideologi politik’.
Dalam kasus Sultan Hamid II, penulis melihat bahwa fakta kasus yang terungkap di sidang pengadilan Mahkamah Agung pada 1953 tak satupun dapat membuktikan kesalahan-kesalahan krusial yang dituduhkan oleh Jaksa Agung Soeprapto kepada Sultan Hamid II. Pertimbangan hakim di dalam berkas putusan mahkamah agung tersebut terkesan memaksakan penafsiran-penafsiran dari dakwaan yang absurd pada uraian peristiwa/kasus, serta tak ditemukan relevansi kasus-kasus yang dituduhkan kepadanya (pada 23 Januari 1950 di Bandung, dan 24 Januari 1950 di Jakarta).
Sultan Hamid II berhak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputus perkaranya melalui sidang pengadilan yang adil, bebas, dan tidak memihak. Namun, melalui literatur data yang ada, termasuk pemberitaan media massa kala itu, membuktikan bahwa terhadap kasus tersebut Sultan Hamid II telah dihakimi terlebih dahulu ketika isu pemberontakannya menyebar. Ia didakwa telah bersalah oleh opini dan statement media massa yang memberitakan tentang kasusnya tersebut. Tentunya hal ini dapat mempengaruhi opini publik ke arah tertentu, yang mungkin juga akan dapat mempengaruhi hakim dalam mengambil putusan. Hal ini menjadi tidak obyektif, karena peradilan di Indonesia kala itu sangat dipengaruhi oleh faktor politik.
Faktor keadilan yang perlu dinilai dalam peradilan tersebut, yaitu terlalu lamanya Sultan Hamid II berada dalam tahanan, yakni tiga tahun tanpa ada kejelasan (1950 Sultan Hamid II ditahan, 1953 kasus mulai disidangkan). Artinya ia telah menderita hukuman tiga tahun penjara sebelum hukuman yang sah dijatuhkan oleh sidang pengadilan. Hal ini merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada dirinya. Melihat hal tersebut, tentu dalam tahap Pra Adjudikasi (tindakan petugas penegak hukum untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan sebelum perkara diajukan ke pengadilan), Hak-hak tersangka (Sultan Hamid II) sangat tidak diperhatikan.
Pertimbangan hakim dalam memutus perkara Sultan Hamid II (vonis 10 tahun penjara) jelas bukan berdasar atas hukum, namun atas pertimbangan politik dengan dalih mempertahankan keamanan negara (oleh penguasa/kaum unitaris). Terhadap pasal-pasal yang dituduhkan kepada terdakwa, tak satupun unsur delik yang terpenuhi. Pun terhadap bukti-bukti serta saksi-saksi yang dihadirkan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, tak dapat mengungkap keterlibatan Sultan Hamid dalam peristiwa Westerling di Pasundan (23 Januari 1950).
Namun, walau fakta berkata lain, delik ‘makar’ tetap menjadi delik yang sangat subyektif dan ambisius. Sultan Hamid II tetap dikenakan vonis hukuman atas pengakuannya yang telah menerima oppercommando gerakan Westerling untuk mengadakan persiapan penyerbuan (pemberontakan) terhadap rapat Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950, yang dengan sendirinya dia batalkan niat penyerbuan tersebut. Dan tak terdapat sama sekali peristiwa kejahatan apapun.
Seseorang tidak dapat dipidana jika tidak ada perbuatan pidana/kejahatan. Artinya, penafsiran kesemua pasal-pasal yang di tuduhkan (di dalam KUHP) kepada Sultan Hamid II merupakan delik selesai/tidak selesai, tapi telah dapat dikatakan bahwa perbuatan mengakibatkan sebuah kejahatan, setidaknya kejahatan yang sudah berjalan (permulaan pelaksanaan perbuatan kejahatan, bukan permulaan pelaksanaan niat).
Disebutkan di kalimat terakhir di dalam dakwaan Lebih Subsidair Lagi di tuduhan tersebut, bahwa “akan tetapi kejahatan atau percobaan kejahatan itu tidak sampai jadi dijalankan”. Hal ini membuktikan bahwa percobaan perbuatan/niat Sultan Hamid II itu tidak dilakukan/dibatalkan sebelum ada peristiwa/perbuatan pidana apapun. Jadi, sepatutnya tak ada percobaan niat seseorang yang dapat dihukum.
Jelas banyak kecenderungan-kecenderungan yang menyimpang terhadap proses hukum yang dialami oleh Sultan Hamid II, baik dari pemeriksaan maupun pada hasil putusan dengan segala pertimbangan, pun terkait dengan hal-hal yang memberatkan serta meringankan Sultan Hamid II sebagai terdakwa. Kurangnya proses hukum yang terbuka semakin mempersempit pandangan penulis dalam melihat awal berjalannya pemeriksaan pendahuluan, yaitu lamanya tuduhan dalam tahanan selama tiga tahun hingga dipindahkannya penahanan karena alasan politis, sampai pemeriksaan kasus tersebut diputuskan oleh Mahkamah Agung.
Menurut penulis, kasus Sultan Hamid II merupakan salah satu kasus tuduhan pelanggaran hukum di Indonesia yang sebenarnya tidak termasuk kategori pelanggaran atas Delik Terhadap Kemanan Negara/Makar. Namun, oleh pemerintah selaku penguasa politik Indonesia, dia dijerat dan dikenakan dengan isi pasal-pasal perbuatan dimana diatur oleh Bab I Buku II KUHP tersebut. Hal ini tentu menimbulkan berbagai polemik di pihak yang pro maupun kontra atas tuduhan kasus ‘makar’ itu.
Hasil analisis yuridis normatif pada kasus Sultan Hamid II di atas dilakukan melalui berkas perkara kasus tersebut, berikut dengan dokumen-dokumen penunjang lainnya. Dalam kesimpulan akhir analisis, penulis berkesimpulan bahwa perbuatan mana yang telah dituduhkan/disangkakan kepada Sultan Hamid II Tidak Termasuk dalam Kategorisasi/Unsur Delik Terhadap Keamanan Negara/Makar. Dan atas kasus tersebut pula penulis berpendapat bahwa Sultan Hamid II sebetulnya Tidak Terbukti Bersalah atas tuduhan yang dituduhkan kepadanya.
Tenggelamnya nama Sultan Hamid II saat ini, jelas disebabkan oleh kasus yang dituduhkan kepadanya. Melulu diberitakan tentang ‘keterlibatannya’ atas kasus pemberontakan Westerling di Pasundan (Bandung) pada tahun 1950. Namun, terbuktikah tuduhan tersebut?
Dapat dilihat petikan isi Putusan Mahkamah Agung Indonesia terhadap Kasus Sultan Hamid II, tahun 1953:
Mahkamah Agung Indonesia
M E M U T U S K A N:
Menyatakan, bahwa terhadap Terdakwa
SYARIF HAMID ALQADRIE
pemeriksaan di muka sidang pengadilan tidak memperoleh bukti yang sah dan meyakinkan tentang kesalahannya atas kejahatan yang dituduhkan kepadanya dalam bagian “primair” dari surat tuntutan;
Membebaskan terdakwa dari tuduhan tersebut;
Mempersalahkan terdakwa melakukan kejahatan;
“Dengan maksud untuk mempersiapkan kejahatan pemberontakan, mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan pemberontakan itu, dilakukan dalam keadaan perang”;
Menghukum terdakwa oleh karenanya menjalani hukuman penjara selama
SEPULUH TAHUN
Menentukan, bahwa hukuman itu akan dikurangi dengan waktu selama terhukum berada di dalam tahanan;
Jelas dalam dakwaan primair (tuduhan pokok), terkait dengan aksi Westerling di Bandung, Sultan Hamid II tak bersalah secara hukum. Namun, vonis hukuman itu dijatuhkan atas “Niat” dan “Persiapan” melakukan kejahatan yang tak sampai jadi dilakukannya (dakwaan lebih subsidair lagi). Negara mengadili niat seseorang, tanpa ada korban sekalipun. Secara logis, Sultan Hamid tak berada pada posisi pelaku, namun sebagai korban, tentu atas kesewenang-wenangan penguasa.
Sejarah kelam dalam kasus ini mengubur dalam-dalam nama Sultan Hamid II sebagai pemersatu bangsa. Di sisi lain, negara hanya diam membisu, dan tak menjawab fakta sebenarnya bahwa siapa dan apa peran Sultan Hamid II terhadap Indonesia ini. Dan kasus Hamid ini dapat dibaca sebagai kebijakan hukum dan politik yang bertaut pada hukum Belanda.
Penetapan kebijakan politik (kemudian menjadi sebuah undang-undang/hukum) jelas memiliki sejarah perjalanannya yang panjang. Ia mewujud dari aturan hukum ‘kolonial’ yang masih berlaku hingga hari ini, yakni Wetboek van Strafrecht voor Indonesia (Kitab Undang-undang Hukum Pidana/KUHP Indonesia).
Hukum pidana Indonesia memang masih menggunakan hukum pidana (warisan) Belanda yang pernah berkuasa atau bekerjasama dengan negeri-negeri di wilayah Kepulauan Melayu. Pemberlakuan hukum pidana yang berasal dari negara asing ini, yang secara geografis amat kecil dan homogen, jelas menimbulkan problem tersendiri bagi masyarakat yang ada di Indonesia. Bahkan dapat dikatakan amat paradoks karena dalam narasinya Indonesia memposisikan Belanda sebagai musuh.
Jika Indonesia mengaku sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, sudah selayaknya hukum pidana yang digunakan adalah produk asli dari bangsa yang hidup di negara ini. Dan sudah sepatutnya pula bahwa hukum itu tumbuh dan timbul dari masyarakat itu sendiri, dan tak hanya bergantung pada penafsiran bahwa semata-mata hukum adalah buatan penguasa.
Penggunaan hukum (warisan) Belanda hanya akan menampilkan kesan sebagai pengganti posisi negeri dari Eropa tersebut pada bangsa-bangsa serumpun.
* Naskah ini disampaikan 29 Februari 2012 pada Diskusi Panel dalam rangka penyempurnaan buku “Garuda Pancasila, Lambang Negara Republik Indonesia: Proses Penciptaan, Simbolisasi Makna, Serta Penggunaan Lambang Negara”, di Kementerian Sekretariat Negara RI, Jl. Veteran No. 18, Jakarta.
** Penulis adalah Ketua Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie dan Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak