Oleh Hermayani Putera
Ini cerita tentang asrama, tempat berkumpul cerdik cendikia, putra terbaik Kalbar, zamrud khatulistiwa. Menggali ilmu pengetahuan, untuk bekal hidup di dunia dan akherat semata. Di Bintaran Tengah 10 Yogyakarta, Rahadi Osman I namanya. Banyak menghasilkan orang ternama, tidak hanya di Kalbar, Yogya, nusantara, bahkan mancanegara.
Asrama yang mengajarkan anggotanya berbagi, peduli kepada sesama warga. Ini menjadi nilai dan norma yang mengatur warganya sedemikian rupa. Yang lebih berbagi kepada yang papa, yang longgar menolong yang sempit kondisinya.
Ada satu tradisi yang sudah melegenda. Bel poto-poto namanya. Ditempel di tiang penyangga ruang tengah asrama. Mirip bel sekolah, ketika awal atau akhir pelajaran yang selalu bergema. Ini bukan bel sembarang bel yang cuma jadi asesoris belaka. Ada aturan tak tertulis tentang penggunaannya.
Jika ingin tahu jumlah warga asrama, pencet saja bel ini, pasti keluar semua dari kamar-kamarnya. Yang sedang mandi pun kadang hanya berbekal handuk ikut keluar juga. Ada apa ternyata? Mengapa bel ini sakti mandraguna?
Jika ada orangtua atau saudara berkunjung menjenguk salah satu warga, biasanya membawa cendera mata, apa saja. Tak mungkin membagikan satu per satu ke tiap kamar warga. Bel poto-poto menjadi andalannya. Pencet saja bel ini, dalam hitungan detik semua warga sudah berkumpul secepatnya. Tak butuh waktu lama, cendera mata sudah selesai terbagi rata. Inilah serunya.
Kadang ada juga senior dari berbagai penjuru nusantara atau bahkan mancanegara datang berkunjung melepas rindu pada asrama. Ingin mengajak juniornya makan di luar asrama. “Perbaikan gizi,” kata warga, sambil tersenyum dan tertawa penuh bahagia. Bel poto-poto dipencet sebagai pertanda undangannya.
Aku tak tahu, apakah bel poto-poto itu masih di sana, dan setia menjalankan tugas mulianya. Menjaga solidaritas antar sesama warga. Kalaupun bel ini sudah tiada, semoga semangat solidaritas itu masih terpelihara, abadi sepanjang masa.
Salam rinduku untuk Bintaran Tengah 10 Yogyakarta. *