Oleh: Muhammad Rifqi*
Pernahkah kalian mendengar berita tentang seorang siswa yang membakar piagam-piagam yang ia miliki hanya karena ia tidak bisa masuk ke sekolah favorit dengan faktor sistem zonasi yang diterapkan oleh pemerintah sejak beberapa tahun terakhir?
Saya termasuk orang yang menyayangkan kenapa hal tersebut sampai terjadi. Dalam tulisan ini saya akan menguraikan kenapa siswa tersebut bisa bertindak demikian dengan tinjauan pendekatan EQ atau Emotional Quotient.
Terlepas dari berbagai opini yang bertebaran di masyarakat mengenai sistem zonasi untuk masuk sekolah formal, saya termasuk orang yang netral dan tidak mempermasalahkan sama sekali akan hal ini.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, kenapa seorang siswa tersebut sampai membakar piagam-piagam yang dimilikinya hanya karena ia tidak dapat masuk ke sekolah impiannya? Bukankan siswa tersebut adalah siswa yang cerdas? Bukankah piagam-piagam tersebut telah menjadi bukti bahwasanya ia telah meraih berbagai prestasi?
Yap, siswa tersebut memang seorang siswa yang cerdas. Akan tetpai kecerdasannya hanya pada Intelligence Quotient atau IQ nya. Siswa tersebut belum meraih tingkat tinggi pada Emotional Quotient atau EQ.
Apa itu Emotional Quotient (Kecerdasan Emosional) atau EQ? seperti yang dilansir dari Wikipedia, Emotional Quotient atau EQ adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Dari sini kita menyimpulkan bahwa siswa yang membakar piagam-piagamnya tersebut tidak mampu mengendalikan emosi yang ada pada dirinya sehingga ia pun melakukan hal seperti itu sebagai pelampiasan depresi yang dialaminya.
Selain dari kasus membakar piagam tadi, apakah ada contoh lain yang mencerminkan rendahnya EQ seseorang? Jawabannya, ada. Saya akan memberikan sebuah contoh yang biasa terjadi di sekolah, salah satunya adalah bully.
Mungkin beberapa di antara kita saat duduk di bangku sekolah pernah menjadi seseorang yang membully atau yang dibully. Saat kita membully seseorang, pernahkah terpikir dalam benak kita bahwasanya apa yang di rasakan orang yang kita bully tersebut? Apakah diri kita belum bisa memahami akan rasa sakit yang mungkin ia rasakan hingga menimbulkan luka yang sulit untuk disembuhkan di hati dan fisiknya terlepas apakah kita membullynya dengak kekerasan fisik atau dengan hinaan dan cacian yang meninggalkan goresan di hatinya.
Pernahkah kalian berpikir bahwa orang yang senantiasa diintimidasi di sekolahnya mungkin ia akan mencari jalan keluar seperti pindah sekolah atau semacamnya, lalu bagaimana jika ia bertindak lebih jauh sehingga ia melakukan hal yang diluar ekspetasi kita. Apa itu? Bunuh diri, misalnya.
Pernahkah kalian membaca novel karangan Jay Asher terbitan 2007 yang berjudul “13 Reasons Why” dimana novel tersebut bercerita tentang seorang gadis SMA bernama Hannah Baker yang memutuskan untuk bunuh diri guna mencari jalan keluar atas semua intimidasi dan bullying yang ia dapatkan. Walaupun novel tersebut hanya cerita fiksi belaka, namun hal tersebut bisa saja terjadi di dunia nyata.
Emotial Quotient memang sangat penting bagi kita agar kita bisa bertindak dengan pikiran dan perasaan yang tidak akan merugikan diri sendiri maupun orang lain. Bukankah setiap kezholiman baik berupa perkataan maupun perbuatan itu tetap akan menyakiti seseorang walau hanya sedikit tak peduli sekuat apapun fisik dan mental orang tersebut?
Oleh karena itu, marilah kita sama-sama menjaga hak orang lain dengan cara lebih menghargai perasaan seseorang sehingga terwujudlah kehidupan yang damai dan tentram.(*Mahasiswa IAIN Pontianak, PAI 1 B 2019)