Oleh: M Azdi Tahir
PETI alias pertambangan liar selalu jadi masalah di negeri ini. begitu juga peti di kota Singkawang provinsi Kalbar yg terkenal dengan kota amoynya. PETI membuat kota Singkawang tak setampan koko dan secantik mei meinya.
Secara umum lahan bekas PETI menjadi terbengkalai, lahan yang semula subur untuk usaha budidaya menjadi lahan yang sangat marginal dan memerlukan penanganan yang serius jika diusahakan untuk budidaya pertanian.
Alumni Pertanian Untan yang tergabung di Ikafta tak sekedar mencoba tapi terbukti nyata. Eka Pakwe, Bayu Martedy dan dan Duo Hendra (me dan Bean). Di luar dari keseharian sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) Dinas Pertanian Kota Singkawang, persahabatan yang terbentuk seperti kepompong itu berani mendobrak ketidak mungkinan tersebut. Menyingsingkan lengan ayo cangkul yang dalam. Hasil nyata bahwa hasil takkan menghianati kerja keras.
Eka pakwe mengatakan, “berusaha untuk melakukan hal berbeda walaupun di depan banyak tantangan yang akan dihadapi. Memang usaha budidaya cabe untuk lahan subur saja penuh dengan resiko apalagi di lahan yang bekas PETI tentu tantangannya lebih banyak.”
Bayu Martedy pun menimpali, “Kami membuka lahan ± 1 ha, jenis tanah lempung berpasir hingga pasir. Lahan Bekas PETI semula ditumbuhi akasia dan rumput ilalang, tentunya kita sudah paham berapa pH tanah dan kandungan bahan organik yang tersedia di tanah. pH berkisar antara 5-5,5 dengan kandungan bahan organik yang sangat “minimalis”. Serasah banyak ditemukan di atas permukaan namun belum terdekomposisi sehingga belum tersedia bagi tanaman dalam bentuk mineral.”
Kehandalan dalam berteori tentang Dasar-Dasar Ilmu Tanah, seakan perlu pembuktian nyata, apalagi melihat Kota Singkawang dan sekitarnya sampai saat ini Lahan Bekas PETI masih menjadi perhatian semua pihak. Karena sering kali berdampingan dengan petani di Kota Singkawang. Membulatkan tekad mereka untuk membuktikan Dasar-Dasar Ilmu Tanah, Mereka bisa membantu tanah marginal menjadi subur.
Lahan pun dibuka, berbagai teori pun saling mereka sampaikan dengan argumentasinya. Kadang urat leher pun kelihatan agar teorinya dipakai, tapi karena mereka sadar dengan udara yang sama dihirup tetaplah oksigen, berprinsip persahabatan seperti kepompong lahan satu hektar pun dibuka dengan kesepakatan bersama, benar atau salah tetap ditanggung bersama. Berat sama dipikul ringanpun sama dijinjing. Ikafta 94 tak kenal lelah, hasilpun jadi nyata. Lahan 1 Ha sekarang bisa disaksikan di daerah Wonosari Roban. Tanaman cabe terbukti tumbuh subur antara teori dan praktek pun sudah menjadi kenyataan, perbaikan unsur hara itu penting. Pupuk standar NPK tetap digunakan ditambah perlakuan Pupuk Organik Cair ditambahkan lagi dengan kotoran hewan ayam.
Pengendalian hama dan penyakit, tiap seminggu sekali di lakukan penyemprotan dengan menggunakan Insektisida+Fungisida+KNO3 Merah (pada pertumbuhan vegetatif)-KNO3 putih (pertumbuhan generatif) + POC. Untuk mengatasi penyakit busuk buah yang sangat di takuti petani cabe, dilakukan teknik “Rain Shelter” untuk menanggulangi efek dari curah hujan yang tinggi, biasanya curah hujan yang tinggi menjadi salah satu faktor berkembangnya penyakit busuk buah pada tanaman cabe. Dengan menggunakan “Rain Shelter” sampai saat ini tanaman masih aman dari serangan penyakit tersebut.
Sampai saat ini, tanaman sudah memasuki bulan kedua dengan pertumbuhan tanaman yang begitu istimewa karena bisa tumbuh subur di tanah bekas PETI. Bisa jadi ini salah satu solusi ekonomi masyarakat di Kota Singkawang. Mereka yang tergabung dalam IKAFTA mengerti tentang Teori Membangun Budaya Managemen Resiko di mana gerakan utama budaya manajemen risiko diawali dengan upaya menggiring “ketidakpastian” (uncertainty) menjadi “kemungkinan” (probability). Kenapa? Mudah saja jawabannya. Hal ini karena ketidakpastian mengimplikasikan ketiadaan dasar atau alasan untuk melakukan langkah antisipasi.
Mudah untuk menjawab sebuah teori, tapi beranikah kita mencoba sendiri. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan.