Oleh : Eka Hendry Ar
Kopi Pontianak, “siapa yang tak kenal, sekali merasa terkenang tak bisa lupa”. Kira-kira jargon buat promo, Pontianak icon Kota Ngopi. Kota yang menggeliat, menjadi minipolitan, sebagai kota perdagangan dan jasa. Salah satu pesonanya adalah menjamurnya Warung Kopi (Warkop) dan Kafe-kafe setiap sudut kota.
Fenomena ini mengemuka dalam kurun 1,5 dasawarsa terakhir. Selain jumlahnya meningkat pesat dan pengunjungnya juga semakin heterogen (baik segi usia, jenis kelamin dan status sosial). Ada transformasi budaya ngopi, jika di masa lalu ngopi lebih akrab dengan kaum pria dewasa dan orang tua, tapi kini warkop jadi tempat berkumpul dan bertemu generasi millenial (pria dan wanita). Bahkan keluarga, mendapatkan sentrum baru buat refressing dan kumpul keluarga.
Ini sebenarnya fenomena lumrah pada Kota yang sedang berkembang. Kota yang terus “mempercantik diri”. Keunikan Kota Pontianak, selain aroma kopinya enak dan lezat, suasananya turut mendukung. Kota ini relatif tenang, polusi rendah, bebas macet dan masih terdapat banyak ruang hijau. Sehingga, uang bukan hanya membeli harumnya aroma kopi dan jajanan kampung, tapi juga untuk harga suasana dan keakrabannya.
Ekspektasi kita, semakin Kota ini menjadi “minipolitan”, sikap mental masyarakatnya juga berkembang secara simultan menjadi lebih terbuka, ramah, dan kosmopolitan. Karena selain infrastruktur fisik, infrastruktur budaya juga merupakan komponen yang menentukan perkembangan sebuah masyarakat. Insfrastruktur budaya adalah sikap mental dan gaya hidup masyarakat yang lebih terbuka akan perubahan, toleran dengan perbedaan, kompetitif dalam prestasi, meningkat tanggung jawab publik, dan lebih humanis dan ramah.
Infrastruktur budaya ini harus di dorong secara simultan, di samping peningkatan infrastruktur fisik material. Kedua infrastruktur ini harus seimbang, agar proses pembangunan dapat berumur panjang dan berkelanjutan. Sebagus apapun fasilitas yang dibangun pemerintah untuk “kepuasan” publik, jika tidak didukung oleh sikap mental masyarakat, maka tidak akan banyak manfaatnya. Usia kemanfaatan fasilitas akan berumur singkat.
Oleh karenanya menjadi penting memperhatikan juga pembangunan infrastruktur budaya masyarakat Kota Pontianak. Infrastruktur budaya ini ternyata dapat dikembangkan melalui budaya ngopi. Penulis melihat pola relasi sosial yang terbangun di Warung Kopi atau kafe turut berkontribusi terhadap pembentukan sikap mental masyarakat.
Diantara pola relasi yang secara kasat mata dapat kita lihat adalah masyarakat kita menjadi lebih terbuka. Pergaulan sosial di Warkop sangat cair, egaliter dan toleran. Di Warkop kita tidak bisa lagi membedakan status sosial seseorang, dan setiap orang datang juga tidak membawa identitas dan status sosialnya. Padahal kita tahu, pasti yang datang tidak sedikit mereka yang berasal dari kelas sosial atas, kalangan pejabat, tokoh politik, tokoh masyarakat atau para pengusaha. Namun, semua identitas itu menjadi lebur dalam identitas baru sebagai “warga pengemar kopi”.
Kemudian dari segi latar belakang primodial seperti suku dan agama, juga tampak cair. Tidak lagi ada stigma, ini warkop buat kelompok tertentu. Bahkan jikapun ada, malah bisa jadi akan sepi pengunjung. Mindset Warkop adalah mindset pasar, harus terbuka dan di posisi tengah dari berbagai kepentingan. Jadi, kita bisa belajar tentang arti toleransi yang sesungguhnya dari mileu budaya Warkop. Kita bisa berkumpul bersama, menikmati kegembiraan bersama, dengan tanpa dibebani oleh berbagai perbedaan diantara kita.
Warkop juga mengajarkan kita sikap tepo seliro atau tenggang rasa. Meskipun pengunjung ramai, kadang harus antre, kursi terbatas, para pengunjung tetap bisa saling berbagi. Ada sikap saling berbagi, dan kadang mengalah agar orang lain bisa juga menikmati.
Nilai-nilai ini berkontribusi terhadap pembentukan sikap mental (budaya) masyarakat. Masyarakat menjadi lebih egaliter, toleran dan memiliki sikap tenggang rasa. Sikap mental seperti adalah infrastruktur budaya yang diperlukan oleh masyarakat yang akan berkembang menjadi “minipolitan”.
Namun demikian ada juga sikap mental yang kadang kurang baik dari budaya ngopi, seperti gaya hidup yang terlalu santai (menghabiskan banyak waktu di Warkop). Dari segi kompetitif prestasi, budaya “terlalu santai” ini tentu menjadi sisi lemah Insfrastruktur budaya kita. Harus sedikit demi sedikit dikikis, ditransformasi menjadi budaya yang lebih produktif.
Kemudian perlu juga pembudayaan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki terhadap fasilitas yang telah dibangun oleh Pemerintah. Pemerintah telah membuat taman-taman kota, waterfront, pelebaran jalan dan fasilitas relaksasi lainnya. Kita sebagai masyarakat selain menggunakan, sepatutnya juga turut memelihara fasilitas yang ada. Paradigma “there is belong to me”, kita adalah bagian dari ruang hidup Kota Pontianak, sudah selayaknya kita menjaganya. Karena jika nyaman lingkungannya, maka yang akan menikmatinya juga kita sendiri. Cara pandang ini perlu dibudayakan kepada semua masyarakat Kota Pontianak jika kita ingin mewujudkan Kota yang berkualitas dan berperadaban.
Sebagai penutup tulisan ini, apa yang telah menjadi icon kebanggaan kita, “Kota Ngopi”, mendapatkan kredit point dari budaya masyarakat yang turut menopang citra baik Kota Pontianak yang maju dan minipolitan. Sehingga kopi tidak hanya menyihir orang untuk mampir menikmati harumnya kopi, tetapi juga bisa “menyihir” datangnya para tamu (wisatawan) dan gelombang investasi ke Kota Pontianak.(Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak)