Oleh: Juharis dan Ria Lestari Ningsih
Beberapa waktu setelah berlalunya tahun kesedihan yang dialami Rasulullah akibat meninggalnya karib-kerabat beliau, terjadilah sebuah peristiwa luar biasa. Peristiwa yang tak pernah dialami oleh seorang pun kecuali Rasulullah sendiri sebagai manusia termulia nan paripurna. Sebagai pembawa cahaya di tengah kegelapan sekaligus mengantarkan umatnya ke zaman penuh dengan hidayah juga ilmu, Rasulullah mengalami kejadian itu sendiri. Kejadian yang hingga kini masih diingat oleh seluruh umat muslim di dunia dan akan senantiasa diingat sampai hari kiamat kelak.
Salat sebagai tiang penegak agama Allah dikerjakan lima waktu dalam sehari dengan 17 rakaatnya adalah buah dari peristiwa yang dialami Rasulullah ini. Peristiwa yang dimaksud adalah Isra Mikraj. Perjalanan yang menuai banyak pelajaran sehingga sangat pantas kiranya apabila sahabat sekalian memetiknya. Bermula dari keberangkatan Rasulullah dari Masjidil Haram yang berlokasi di Mekah menuju tempat suci yang kini diperjuangkan oleh kaum Muslimin yaitu Masjidil Aqsa di Palestina, perjalanan ini disebut sebagai Isra. Sesampainya di Masjidil Aqsa Rasulullah kemudian melanjutkan perjalanannya menembus batas-batas langit dari langit ke satu sampai ke tujuh dan sampailah di Sidratul Muntaha, sebuah tempat yang tak seorang pun mampu meraihnya sekalipun malaikat Jibril. Perjalanan ini disebut sebagai Mikraj. (lihat Misbakhudin, 2012: hal 15).
Hikmah Dibalik Isra Mikraj
Perjalanan Rasulullah pada peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa gaib yang tak bisa sekadar dinalari oleh akal. Secanggih apa pun teknologi masa kini takkan mampu menggapainya. Ada beberapa hikmah yang dapat diambil sebagai pembelajaran dan bahan renungan kita atas peristiwa ini. Menurut Dr. Harjani Hefni, Lc. saat diwawancarai mengungkapkan beberapa hikmah tersebut sebagai berikut.
Pertama, Indikator Keberislaman. Salat merupakan kewajiban atas setiap muslim, sejarah perintah salat ada pada peristiwa Isra Mikraj itu sendiri. Nah, salat inilah yang mencirikan atau mengindikatori kita sebagai umat muslim. Bukankah pembeda antara kita dan orang kafir satu diantaranya terletak pada salat sehingga tidak mengherankan apabila ketika seorang muslim tidak melaksanakan salat dicap sebagai orang kafir.
Rasulullah pernah bersabda “perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai salat, barangsiapa meninggalkannya maka dia kafir”. (HR. Ahmad, abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah dengan sanad yang sahih dari Buraidah Al Aslami).
Kedua, Keeratan antara Masjid dan Kaum Muslimin. Jalur perjalanan Rasulullah pada peristiwa Isra Mikraj dari masjid ke masjid menunjukkan hubungan antara masjid dan kaum muslimin adalah sesuatu yang tak dapat dipisahkan, keberadaan masjid menjadi pengeksisan diri seorang muslim. Indonesia sebagai negara bermayoritas muslim akan ditemukan bangunan-bangunan masjid dihampir seluruh penjuru. Ini menunjukkan bahwa masjid merupakan salah satu simbol keislaman. Tempat suci untuk melaksanakan ritual ibadah dengan beragam bentuk arsitekturnya tersebut akan makmur dan diakui keberadaannya jika kaum muslimin sekalian salat berjamaah di dalamnya, terutama bagi muslim laki-laki. Namun, sebaliknya apabila salat dilalaikan, masjid tak ubahnya seperti rumah tua kosong yang tak berpenghuni.
Ketiga, Pengingat Sejarah Islam. Sebagian umat Islam yang memperingati Isra Mikraj dengan berbagai bentuknya, entah itu mengadakan kajian keislaman, perlombaan keislaman, atau lainnya. Semua itu dimaksudkan untuk mengingat kembali sejarah silam yang pernah terjadi. Dengan harapan kaum muslim sekalian tidak mengabaikan begitu saja peristiwa bersejarah yang terdapat dalam Isra Mikraj, sekaligus mendulang semua makna yang terdapat di dalamnya.
Isra Mikraj dalam Kacamata Psikolog
Menyelisik kandungan makna pada peristiwa Isra Mikraj dari sudut pandang psikologi dapat kita perhatikan pada pernyataan yang disampaikan oleh Dr. Hj. Fitri Sukmawati selaku dosen Psikolog IAIN Pontianak saat bertatap muka dengan penulis berikut ini.
Pertama, Pengistikamahan dan Penjagaan Diri. Hasil dari perjalanan yang dilakukan Rasulullah berupa perintah salat untuk diwajibkan kepada seluruh umat muslim di muka bumi menyiratkan sebuah komitmen. Perintah salat lima waktu dalam sehari hanya bisa disanggupi oleh orang-orang yang memiliki komitmen terhadap Allah sebagai Tuhannya. Dengan komitmen inilah pelaksanaan salat akan terus berlanjut hingga akhir hayatnya, maka kemudian orang ini kita sebut sebagai orang yang istikamah dalam salat.
Apabila salat sudah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkankan dalam hidup. Maka semua aktivitas seorang muslim akan terjaga dari keterjerumusan kemaksiatan yang merupakan godaan dari setan dan bala tentaranya. Karena itu, keberadaan salat sebagai pengistiqomahan dan penjagaan diri sangatlah urgen dalam kehidupan umat Muslim. Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Ankabut ayat 45)
Kedua, Kedisiplinan Diri. Perintah salat sudah ditentukan waktunya, dari mulai subuh hingga Isya. Kita juga diperintahkan untuk tidak melalaikan salat, maksudnya tatkala kumandang azan sudah terdengar hal yang paling baik adalah segera mengerjakan salat. Keadaan demikian setiap hari harus kita kerjakan, ini memanifestasikan kedisiplinan dalam kepribadian kita.
Ketiga, Setiap Perbuatan Ada Konsekuensinya. Apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya merupakan sesuatu yang sepantasnya kita kerjakan, adapun yang dilarang sudah barang tentu ditinggalkan. Semua yang kita lakukan aka nada konsekuensinya, maka sebagai seorang hamba kita akan mendapat ganjaran atas apa yang dilakukan. Ganjaran tersebut berupa balasan dari Allah baik di dunia berupa kenikmatan atau bala, maupun di akhirat berupa surga atau neraka.
Keempat, Perjuangan Manusia Ada Batasannya. Manusia adalah makhluk yang lemah selalu dirundungi kesalahan. Kelemahan tersebut memang sudah menjadi tabiat manusia, manusia sebagai seorang hamba memerlukan pertolongan Allah pada setiap upaya langkah kakinya. Dalam peristiwa Isra Mikraj, ketika Rasulullah menghadap Allah dan kembali ke bumi dengan membawa perintah salat sebanyak 50 waktu hingga pada akhirnya perintah salat hanya sebanyak 5 waktu yang kita kerjakan saat ini. Nah, dari sini bisa diambil ibrah bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam usahanya.
Urgensi Isra Mikraj
Dalam pandangan yang lain menurut Ketua Umum LDK ASSALAM 2016 Aris Fadhila tatkala berdiskusi dengan penulis mengatakan bahwa urgensi dan hikmah dalam Isra’ Mi’raj itu adalah sebagai berikut.
Pertama, Pergantian Kesedihan Menjadi Kesenangan. Sebelum kejadian Isra’ Mi’raj Rasulullah mengalami suatu masa dimana beliau dihadapkan dengan kesedihan, beberapa keluarga beliau meninggal dunia. Allah kemudian menghibur Rasulullah dengan terjadinya Isra’ dan Mi’raj. Hal ini mengajarkan bahwa orang-orang yang mengalami kesedihan disekitar kita hendaknya dihibur agar lara yang ada pada dirinya dapat sirna.
Kedua, Perjalanan Luar Biasa. Perjalanan yang melibatkan antara ruh dan jasad nabi ini merupakan bentuk dari kuasa Allah sebagai pencipta, sebab hanya memerlukan kendaraan bernama buraq dengan waktu semalaman, sedangkan jaraknya sangatlah jauh. Keadaan seperti ini memfaktakan bahwa agama Islam bukanlah agama yang main-main. Ketiga, Perintah Langsung dari Allah. Salat merupakan satu-satunya perintah yang Allah berikan secara langsung kepada Rasulullah, adapun perintah ibadah lainnya melalui perantaraan malaikat Jibril. Ini memersepsikan bahwa peristiwa Isra Mikraj adalah peristiwa besar yang tak bisa dipahami secara akal karena hanya iman yang mampu menjawab kebenaran Isra’ Mi’raj.
Terakhir, Orang Kafir Menolak Kebenaran Isra Mikraj. Orang-orang kafir seperti Yahudi meyakini bahwa Rasulullah adalah utusan Allah, namun karena keangkuhan dan kesombongan mereka tidak mempercayai akan adanya Isra’ Mi’raj. Pernah suatu ketika Rasulullah mengabarkan berita ini kepada Abu Jahal namun tidak percaya dan justru menyebar berita bohong tentang Rasulullah.
Apapun pelajaran yang terdapat dalam isra mikraj semestinya dapat kita ambil dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari, agar kemudian menjadikan kita sebagai pribadi yang dapat dikonsekuensikan sebagai umat yang cinta Rasulullah sebagai utusan Allah. Mari bermuhasabah diri untuk menempa pribadi yang lebih baik melalui nostalgia isra mikraj.
*LDK ASSALAM IAIN PONTIANAK