Oleh: Ambaryani
Begitu masuk wilayah Teluk Nangka, Kubu, bau harum rebusan gula kelapa semerbak. Kalau pas lewat kondisi perut kosong, sudah pasti perut semakin keroncongan. Harumnya itu lho, menggugah selera.
Ngiler rasanya. Kalau yang lewat ibu hamil, kata orang Jawa, khawatir anaknya ileran nanti. Kepengen, tapi tak kesampaian.
Rata-rata penduduk Teluk Nangka menggantungkan perekonomian pada gula kelapa. Gula merah. Dari pagi sejak matahari belum muncul mereka sudah mulai nderes, noreh. Kadang, hingga matahari tengelam belum juga selesai.
Pernah, saat awal kami sampai di Teluk Nangka berniat melapor ke rumah Pak RT, beliau tak di rumah. Saat itu sore. Kami diminta datang lagi ba’da Magrib. Begitu habis Magrib kami datang lagi, beliau baru sampai rumah.
Setiap hari dapur bertungku besar ngepul. Merebus nira kelapa. Tetangga samping rumah kami, tiap hari bisa masak 1 hingga 2 kawah nira. Dan bisa jadi 16 cetak gula merah per hari.
Kemudian setelah agak dingin, mereka cetak cairan itu dalam cetakan berbentuk batako. Tidak bulat-bulat seperti yang dijual di Pontianak. Katanya cetak batako lebih praktis.
Cetakannya dari nampan plastik ukuran 10×20 cm. Nampan yang biasanya untuk tempat orang jualan kue. Seminggu sekali bos (tengkulak) ambil gulanya.
Diambildengan harga Rp. 9.000 per kilo. 1 batako gula, kadang mencapai 1,3 kg.
Kalau mau beli yang cetakan bulat juga bisa. Tapi harus pesan terlebih dahulu. Harganya beda. Rp. 10.000 per kilo kalau yang bulat.
Noreh tugas suami. Tapi tak jarang para istri bantu juga. Saat nira penuh, diturunkan, suami manjat menggunakan tangga bambu, perempuan menunggu di bawah. Menampung nira dalam jerigen 25-35 kg.
Perempuan kemudian bertugas menunggu tungku saat memasak gula. Sementara para suami melanjutkan noreh. Begitu mereka lakukan setiap hari. Dan setiap hari pula, liur kami hampir meleleh saat tetangga sebelah rumah masak gula kelapa. Harumnya menggoda. (*)