1978. Dalam sujud maghrib. Malaikat maut mendatanginya. Selesai sudah darmanya buat negeri yang terlanjur menenggelamkannya.
Hampir 20 tahun kematiannya sunyi. Tahun 2000, barulah haulnya diperingati di istana kekuasaannya, Qadariah Pontianak.
Max Yusuf, sekretaris pribadi mengambil momentum reformasi untuk mengawal amanah sang Sultan yang dititipkan pada H. Mas Agung, pemilik toko buku sohor Gunung Agung, pada 1974 silam. Sejumlah dokumen proses perancangan lambang negara. Isinya merupakan legacy tak ternilai bung Hamid. Kini tergantung di seluruh dinding institusi resmi negeri: Garuda Pancasila.
Dan perjalanan menguak jejak sang Sultan pun dimulai.
Tak banyak yang tahu siapa pencipta lambang negara, sama seperti ketidaktahuan bahwa nama sang perancang lambang negara tak termaktub dalam Undang-undang 2009—bersanding dengan WR Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya.
Indonesia terlalu lama melupakannya.
Menyimak pro-kontra Sultan Hamid seolah menebalkan gelapnya sejarah bangsa. Khususnya periode 1945 hingga 1950. Alih-alih berterima kasih, perjuangan diplomasi Sultan Hamid yang memimpin BFO di meja perundingan Konferensi Meja Bundar acap dituduh pengkhianatan. Andai, ya andai saja, Sultan Hamid tidak menandatangani perjanjian tersebut, tentu Kalbar bisa jadi negara sendiri. Seperti Negara tetangga satu daratan: Malaysia dan Brunei Darussalam. Dan BFO tidak hanya terdiri dari Kalbar.
Tanggal 5 Juli, webinar para guru sejarah yg digagas Asosiasi Guru Sejarah memperjelasnya. Begitu gelap sejarah Indonesia antara tahun 45 hingga 50.
Tak sedikit guru yang merasa banyak hal yang baru diketahuinya. Tidak melulu karena rendahnya literasi bangsa kita, tapi memang selama ini buku ajar disesuaikan dengan selera pemilik kuasa. Nyaris tak ada pilihan asupan sejarah.
Di era digital ini, angle sejarah makin utuh. Tinggal klik, banyak referensi yang mampu digali. Sejarah tak lagi bisa dibingkai sesuai kemauan. Demikian wejangan berbalut intelektualitas anak proklamator, Meutia Hatta.
Kita terlanjur percaya, bahwa pahlawan itu adalah sosok putih, yang tak mungkin ada hitamnya. Kita mengimajinasikan sebuah utopia sejarah. Yang akhirnya tidak memanusiakan figur pahlawan. Pahlawan melulu dicitrakan sosok yang sempurna. Tak ada cela meski senila.
Pun Sultan Hamid. Meski sang Perancang Lambang Negara dan pemimpin diplomasi ulung di KMB, itu tak menghilangkan cap pengkhinat yg disemat penguasa melalui peradilan politik beberapa dasawarsa yang lalu.
Bagaimana akhir kisah sang perancang lambang negara?
Berkaca dari jejak Natsir dan Syafruddin Prawiranegara, setidaknya bangsa kita juga pernah melupakan pahala para pendiri bangsa. Meski akhirnya, Presiden SBY berdamai dengan sejarah dan mengakui jejak kepahlawanan mereka. Natsir dan Syafrudin Prawiranegara yang dituding pemberontak, di periode Presiden SBY diakui sebagai pahlawan nasional.
Nah, kalau kita tidak disiplin mengikuti sejarah dan memakai logika segelintir yang menolak Sultan Hamid menjadi pahlawan, karena ada sedikit jejak niat jahatnya. Saya yakin, pahlawan nasional kita tidak akan bisa mencapai angka 200 ratusan hingga kini. Mungkin yang tersisa hanya sosok putih full teladan, Bung Hatta seorang.