Hikmah Demo Omnibus Law Sebagai Laboratorium Otonomi Daerah Sepenuh Hati

6 Min Read

Oleh: Nur Iskandar

Mungkin terlalu dini untuk bicara otonomi daerah sepenuh hati. Tapi setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Ini petuah nenek-moyang kita yang sangat luhur dan mesti kita syukuri sebagai kearifan Nusantara.

Pertama-tama kita melihat latar belakang aksi penolakan buruh, mahasiswa seluruh Indonesia (BEM-SI) dan berbagai lapisan masyarakat menolak UU Cipta Kerja / Omnibus Law (disahkan Senin, 5 Oktober 2020 malam) dan langsung disambut demo sahut menyahut sampai terakhir keterangan pemerintah melalui Pak Prof Mahfud. Demo merata di seluruh pelosok negeri. Ini bikin ngeri.

Bayangan pemirsa layar kaca dan layar ponsel segera tertuju pada aksi-aksi massa. Setakat waktu terdekat adalah demo 212 yang menyita energi anak-anak bangsa sampai Pilpres dua ttahun lalu. Sebelumnya reformasi 1998. Kita tentu tidak bicara pemakzulan Presiden karena itu terlalu jauh panggang daripada api. Omnibus Law ini jalur hukumnya jelas.

Saya justru tertarik melihat fenomena otonomi daerah, di mana Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah yang berani bersikap beda. UU Otonomi Daerah No 22 yang berubah menjadi UU Pemerintahan Daerah adalah payung hukumnya. UU ini buah daripada reformasi 1998 yang menumbangkan otoritarian Orde Baru. Spiritnya otonomi daerah. Ada kewenangan Pusat dan ada kewenangan daerah. Otda adalah semangat mengatur rumah tangga dengan lebih berdaya seperti merdekanya mengatur rumah tangga sendiri pada konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

WhatsApp Image 2020 10 09 at 08.42.47

Pernyataan menolak UU CK dilakukan beberapa Gubernur. Ini tentu sikap yang berani. Bukan berani tanpa terukur. Ini jelas ukuran kuantitatif maupun kualitatifnya. Pertimbangannya tentu matang. Bukan pula setengah matang.

Gubernur Kalbar melihat UU CK tidak berlandaskan keadilan. Tata cara lahirnya UU CK juga tidak normal. Presiden disarankan mengeluarkan Perpu secepat-cepatnya.
Gubernur Sumatera Barat dan Jawa Barat juga demikian. Mereka menyerap aspirasi rakyat dan meminta DPR RI tepatnya Presiden mengeluarkan Perpu atau menunda pemberlakuan UU CK.

Keputusan yang sama ditempuh DPRD dan Plt Gubernur Kalsel. Ini fenomena yang sangat menarik sebagai hikmah UU CK. Fenomena berdayanya daerah-daerah karena kecintaannya kepada Nusantara.

Dalam struktur demokrasi kita, DPRD dan Gubernur juga dipilih secara langsung. Mereka bertanggung jawab kepada pemilihnya. Konsideran satu tentu mereka aspiratif. Jika bertolak belakang dengan massa, cari celaka tentunya.

Presiden dan DPR RI juga dipilih secara langsung. Mereka juga bertanggung jawab dengan konstituennya. Garis kebijakan Presiden dan DPR RI bisa dikoreksi dengan jalur hukum tata negara, yakni Perpu. Perpu–peraturan pemerintah pengganti UU adalah jalur hukum yang tersedia. Judicial Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi satu jalur lainnya yang tersedia. Jadi sikap Gubernur bukannya tiada alas hukum yang jelas dan sekedar tampil beda. Bahasa kasarnya lebih jauh lagi, yakni cari muka, cari selamat. Tidak! Ini fenomena otonomi daerah sepenuh hati mulai merebak.

Apa dampaknya? Pertama provinsi yang berani menolak–alias seaspirasi dengan buruh, mahasiswa maupun massa rakyat jelata dalam satu garis lurus. Mereka tidak berhadap-hadapan beda pandangan sehingga memungkinkan adu urat leher dan adu otot lalu anarkistik. Dalam satu garis lurus, komandonya sama–Pusat. Sasaran perubahan adalah ke Pusat. Kepada Presiden. Karena jalur hukum Perpu memang ke Presiden. Ke Pusat via MK jalur lainnya.

Kepada Presiden jangan dituding pemakzulan.I ni terlalu jauh. Ini cuma hukum tata negara. Sudah ada jalurnya.

Demikian adanya dengan MK. Apakah ada pemakzulan buat MK? Kan tidak. Jadi cara pikirnya jangan dibelokkan atas debat kusir 01 dan 02 yang berketerusan.

Dampak keamanan daeran nomor satu bagi daerah. Inilah otonomi asimetris. Cara pandang lokal bisa beda dengan nasional. Ini juga yang diributkan tempo hari antara republiken unitaris dan federalis dalam tata negara Republik Indonesia yang serikat atau tanpa serikat.

Dampaknya kebijakan UU di DPR RI dan Presiden akan kurang bobotnya ketika ditolak per provinsi. Siapa yang punya wilayah? Bukankah Pusat tidak punya wilayah? Mereka hanya menumpang di setiap provinsi.

Jika dominan provinsi menolak, alamat UU CK ditinjau ulang lewat dua jalur di atas. Masih ada kesempatan perubahan itu dalam 30 hari setelah penetapan UU CK dilakukan DPR RI, pas hari TNI.

Dan ini milestone atau batu loncatan bagi DPD RI untuk ambil kesempatan kesejarahan. Di mana bikameral bisa jadi mitra sejajar DPR RI yang “big authority” dan sepertinya tak ingin peran sentralnya itu terganggu senator yang juga dipilih secara langsung. Saatnya DPD RI juga bersuara nyaring menyampaikan kritik dan sarannya atas peran legislasi yang dimilikinya. Berdayalah melalui hikmah Omnibus Law yang kini kita carikan solusi terbaiknya. Jika Mengkopolhukam Prof Dr Mahfud MD tegas menyatakan tidak ada negara yang membuat UU untuk menyengsarakan rakyatnya, juga bisa dibalik, tak ada buruh dan rakyat yang demo karena tak ingin negaranya maju. Keinginannya sudah sama. Satu visi untuk maju, adil dan makmur. Mungkin tata cara kita saja yang beda cara, beda metoda. Untuk ini elemen elemen demokrasi mesti berani tegak berdiri. Salah satunya otonomi daerah sepenuh hati. Catatan: Foto adalah kesepakatan DPRD Kalsel – PLT Gubernur Kalsel dengan buruh serta mahasiswa–civil society–serta Surat Resmi Gubernur Kalbar kepada Presiden RI. * [Nur Iskandar–Pimred media online teraju.id–founder Kampoeng English Poernama–Presiden Chapter Intercultural Learning Bina Antarbudaya (AFS) Internasional Provinsi Kalbar]


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article
Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.