Oleh: Nur Iskandar
Saat adu data antara Yayasan Sultan Hamid bersama Wakil Ketua Dewan Gelar Prof Dr Anhar Gonggong di Dinas Sosial Provinsi Kalbar, 27/11/2019 (lihat teraju.id channel YouTube) terjadi perdebatan. Pernyataan Prof Anhar dinilai Ketua Yayasan Sultan Hamid II Alkadrie sebagai opini, namun Prof Anhar menyatakan bahwa itu fakta. Beliau lalu menunjukkan satu buku karya Smit. Inilah dia bukunya.
Sebagai jurnalis yang meliput pertemuan sosialisasi pengajuan gelar pahlawan dan menemukan adanya konflik, cek dan ricek diperlukan untuk menyibak kebenaran. Agar pembaca tidak tersesat antara mendukung si A atau si B. Tidak mudah mendapatkan buku tua ini. Sejak akhir November 2019 baru dapat sekarang. Persisnya pada 6/7/20. JNE mengirimkannya. Sani Alkadrie blusukan di Jakarta untuk meraba-raba ada atau tidak. Alhamdulillah dapat satu.
Prof Anhar mengutip halaman 48. Yang dibacakan di halaman 49. Ada soal Hamid dan Westerling di situ.
Anda bisa membaca dan berpendapat dengan mata kepala sendiri. Uraian Smit fakta atau opini? Menurut saya, Smit hanya berpendapat atau opini tentang keterlibatan Hamid dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Westerling. Sebab hanya satu kalimat. Buram sekali. Kabur. Kabu-kabu.
Penilaian saya itu dilatari dengan kebiasaan menghadirkan tulisan fakta dengan opini. Kalau fakta, kita bisa uraikan panjang lebar soal objek fakta yang hendak dihadirkan agar pembaca terang benderang paham. Ini Smit menulis pendek. Hanya 1 kalimat. Dan tidak fair, Prof Anhar “menyengkang” Sultan Hamid II Alkadrie Pahlawan Nasional yang diajukan masyarakat Kalbar hanya dengan bukti kalimat ini. Apalagi sejarawan Dr Muhammad Iskandar dalam webinar bersama AGSI menyatakan Hamid tidak terlibat APRA. Termasuk Negara Pasundan.
Sejarah harus ditulis ulang. Begitu kata Dr Iskandar. Begitupula kata sejarawan Rousdy Husein. Soal Hamid bisa ditelaah dari risalah meja perundingan. Lewat catatan meja perundingan.
Penilaian saya bahwa Smit beropini, lihat pengantar penerbit. Bahwa tulisan Smit dibuat dari sudut “orang seberang”. Orang Belanda. Sementara yayasan menulis dari sudut pandang putra bumi khaTULIStiwa.
Setelah membaca langsung buku Smit, baru saya yakin Prof Anhar tersesat pikir. Beliau juga tersesat perasaan karena paman dan saudaranya adalah korban Westerling di Sulsel.
Melihat ilmu psikologi, ada tanda tanda emosional dari Prof Anhar. Ia mungkin sakit traumatis secara mendalam. Perlu Presiden meninjau keberadaannya sebagai pakar sejarah apalagi wakil dewan gelar saat ini. Khususnya untuk menilai kepahlawanan Sultan Hamid II Alkadrie sebaiknya Beliau diistirahatkan. Dipakai lagi untuk tokoh calon pahlawan yang tidak sezaman dengan Westerling.