in

Ke Selatan Mencari Berkah

syafaruddin usman

Oleh: Syafaruddin Usman

Penderitaan ternyata membentuk manusia menjadi lebih ulet. Alam yang angkuh dan musim yang kejam tak membuat manusia menyerah.

Dari generasi ke generasi manusia justru menjadi semakin tangguh. Lebih khusus lagi, orang Tionghoa dalam menghadapi cobaan baik di negeri Tiongkok yang serba berkekurangan pada suatu masa maupun di negeri rantau, pun tertempa menjadi makin ulet.

Khusus tentang orang Tionghoa pada umumnya, dulu, katakanlah sebelum 1900-an, baik di dalam maupun di luar negeri Tiongkok, hidupnya pun tidak gampang.

Di Tiongkok daratan yang mengenal 4 musim, kehidupan serba berkekurangan, teristimewa pada musim dingin.

Baik atau buruk, sepanjang awab 19, sistem politik di Tiongkok daratan tidak efektif, sebab tak sanggup menjangkau dan mengendalikan wilayah yang relatif sangat luas.

Muncul banyak raja kecil yang lebih banyak yang bengis dan penindas daripada bijaksana serta pengayom.

Rakyat miskin bertambah menderita. Orang Tiongkok Daratan dan pesisir Timur banyak yang memilih meninggalkan Tiongkok daripada bertahan meskipun hanya bisa mengandalkan sepasang kaki atau sebuah perahu kecil.

Mereka lalu menyebar ke banyak wilayah, teristimewa ke Selatan Tiongkok.

Demikianlah kisahnya mengapa arus emigrasi keluar Tiongkok lebih banyak mengalir ke Selatan, yakni ke wilayayh tropis yang relatif beriklim lebi bersahabat dan kebetulan pada masa tersebut pun sedang membutuhkan banyak tenaga kerja serta tengah membuka diri, atau tidak menolak, terhadap arus kedatangan warga baru.

Sudah tentu sebagai pendatang kaum imigran Tionghoa menjadi kelompok minoritas di antara penduduk lokal setempat.

Posisi minoritas ini pada awalnya ternyata lebih menguntungkan daripada merugikan karena mereka menjadi bebas bergerak dan berikhtiar tanpa dicemburui.

Para imigran Tionghoa pertama kebanyakan adalah petualang yang memang juga tak memiliki apa-apa dan bukan siapa-siapa di negerinya.

Jadi kalau di tanah rantau tidak menjadi siapa-siapa dan harus membanting tulang mencari sesuap nasi, bukanlah masalah besar.

Pada konstelasi politik zaman itu yang relatif tidak rumit, kaum imigran Tionghoa tak banyak direcoki, meskipun sikap begini dari pemerintah setempat justru menempatkan imigran Tionghoa pada status yang serba tidak jelas.

Mereka cuma dianggap sebagai Orang Asing yang Menetap atau Warga Kelas Dua.

Posisi kaum imigran Tionghoa pada masa lalu ada pada sebuah point of no return, sehingga terpaksa berjuang menghadapi kemungkinan terburuk atau gugur, tetapi tidak bisa mundur.

Bagi imigran Tionghoa menjadi minoritas dan akhirnya hidup sebagai pedagang adalah pilihan karena terpaksa sejak pertama. Karena perdagangan pada zaman akhir abad 19 atau awal 1900-an, abad 20, di wilayah Nusantara berkembang pesat, maka imigran Tionghoa yang memang menggeluti bidang ini menemukan momentum maju.

Kian hari posisi mereka sebagai pedagang menjadi kian kuat dan penting.

Status dan peran sebagai pedagang yang menguntungkan mendorong kaum imigran Tionghoa tumbuh menjadi kaya.

Dan bagai efek bola salju, kekayaan mereka pun bertambah dengan cepat.

Kesengsaraan masa laumpau di tanah leluhur membuat orang Tionghoa di rantau pandai menemukan peluang sekecil apapun untuk diolah.

Dari sejak berabad-abad lalu sampai zaman terjadinya eksodus warganya ke Asia Tenggara pada awal abad 19 kebudayaan, teristimewa dalam arti keterampilan, Tiongkok Daratan memang relatif lebih maju daripada bangsa lain.

Dalam kasus Indonesia yang saat menerima para imigran Tionghoa sedang dijajah Belanda, kedatangan warga baru ini menciptakan satu lapis masyarakat tersendiri di tengah-tengah golongan elit yang terdiri atas bangsa Eropa dan penduduk asli Indonesia.

Indonesia merupakan negeri tropis yang tidak mengenal musim panas atau dingin sangat menguntungkan imigran Tionghoa yang pernah kepanasan dan kedinginan di negeri leluhur.

Jika alam sudah bersahabat, mencari peluang untuk mempertahankan hidup sudah bukan perkara pelik.

Apalagi di Indonesia.

*Penulis, Syafaruddin Usman, peminat kajian sejarah dan budaya kontemporer

Written by teraju.id

WhatsApp Image 2020 02 14 at 17.46.20

Ikapi Kerjasama Bareskrim Perangi Pembajakan Buku

WhatsApp Image 2020 02 15 at 09.51.55

Rakor Mutarlih Rasa Parmas