Leo Sutrisno*
Dalam TRIBUNNEWS.COM, 5-11-2019, dilaporkan bahwa banyak orang terkejut atas penunjukkan CEO Gojek, Nadiem Makarim, sebagai Meteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Indonesia Maju. Namun, meski bukan berlatar-belakang guru besar atau praktisi pendidikan, ‘Mas’ Menteri Nadiem, oleh Presiden Joko Widodo, dianggap bisa cepat merespons perubahan dan mengelola manajemen pendidikan yang besar dengan menggunakan teknologi (YouTube KompasTV, Sabtu,2/10/2019).
A. Doni Koesoema (Kompas, 5-!1-2019, hal. 6) mencatat tiga hal yang disorot Menteri Nadiem dalam berbagai kesempatan. Pertama, pendidikan karakter yang penting. Kedua, pengakuan bahwa guru merupakan faktor utama keberhasil pendidikan. Dan, ketiga adalah keselarasan antara pendidikan dan dunia usaha. Ketiga hal ini akan dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan teknologi maju. Mungkin inilah arah revolusi Pendidikan Jokowi-Nadiem yang akan diwujudkan dalam lima tahun ke depan.
1. Pendidikan karakter
Kiranya, karakter manusia Indonesia tidak perlu dijabarkan dalam ‘butir-butir’ seperti yang disosialisasikan di masa lalu (18 butir, termasuk ‘gemar membaca’). Tetapi, diarahkan pada membentuk manusia Indonesia yang memiliki kepribadian moral yang kuat (Frans Magnis-Suseno, 1987).
Orang yang memiliki kepribadian moral yang kuat memegang tiga (3) prinsip dasar moral: prinsip sikap baik, prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Selain memegang tiga prinsip moral dasar ini, mereka juga memiliki lima (5) nilai keutamaan manusia, yaitu: kejujuran, kesediaan bertanggun jawab, kemandirian moral, keberanian moral, serta kerendahan hati.
Tiga prinsip dasar moral dan lima nilai keutamaan ini yang sebaiknya ‘di-injeksikan’ ke dalam jiwa semua warga pendidikan. Semua warga kendidakn yang dimaksud mencakup: murid/mahasiswa, guru/dosen, karyawan, orang tua murid/mahasiswa, pengelola pendidikan, serta semua karyawan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baik pusat maupun daerah. Jika ini dilakukan, niscaya pembentukan karakter yang diinginkan Presiden Joko Widodo dapat diwujudkan.
2. Kualitas guru
Guru memang merupakan faktor utama dari keberhasilan pendidikan. John Hattie, 2011, merangkum 800 meta-analisis dari 50.000 penelitian tentang faktor yang berpengaruh pada hasil pendidikan selama 15 tahun terakhir (1995 ke atas). Rangkuman ini mencakup lebih 200 juta murid dan 80 juta guru (hasil rangkuman itu terus dimuthakirkan secara periodik: 2011, 2015).
Dalam rangkuman 2009, ditemukan 123 faktor yang berpengaruh pada hasil pendidikan. Ke-123 faktor ini dikelompokkan menjadi enam kategori. Keenam kategori itu adalah: guru, kurikulum, metode pembelajaran, murid, lingkungan rumah, dan lingkungan sekolah.
Dengan menggunakan ukuran yang disebut Effect Size (ES). Harga ES identik dengan harga Skor-Z dalam kurva normal. ES keenam kategori itu berturut-turut adalah: guru (0.50), kurikulum (0.45), metode pembelajaran (0.43), murid (0.39), lingkungan rumah (0.35), dan lingkungan sekolah (0.23). ES rerata sebesar 0.40. Guru mempunya harga ES tertinggi.
Jadi, tidak salah jika Menteri Nadiem memilih faktor guru yang akan dikuatkan. Apa yang harus di-‘kuatkan’?
Fungsi guru mesti diubah dari fasilitator (yang diyakini hingga saat ini) menjadi seorang aktivator. Effect para guru yang berfungsi sebagai fasilitar sangat rendah (0.17). Sebaliknya, para guru yang berfungsi sebagai aktivator mempunyai ES sebesar 0.60. Secara detail John Hattie (2009) menunjukkan hal-hal yang dilakukan guru dari masing-masing fungsi ini.
3. Relevansi pendidikan dan dunia kerja
Di beberapa kesempatan seperti yang dapat ditangkap dari berita media massa, Menteri Nadiem mengatakan bahwa materi ajar menjadi sangat relatif (dan bahkan tidak penting lagi). Karena, bahan itu sudah tersedia secara melimpah di dunia digital. Yang diperlukan dewasa ini, adalah kemampuan mengolahnya sehingga menjadi pengetahuannya sendiri.
Kemampuan mengolah informasi menjadi pengetahuannya sendiri tidak cukup dengan yang bersaangkutan ‘melek’ dunia digital (literasi digital). Lebih dari itu, yang ebrsangkutan mesti memiliki “DNA inovator” (Clayton M. Christensen, Hal B. Grgersen, dan Jeffry H. Dyer, 2011).
Ketiga ahli ini bersama-sama melakukan “to put innovative entrepreneurs under the microscope, examining when and how they came up with the ideas on which their businesses were built”. Partisipan terdiri atas: 25 ‘innovative entrepreneurs’, 3000 eksekutif, serta 500 individu yang telah membangun usaha-usaha inovatif dan menghasilkan produk-produk baru.
Ditemukan, ada eksekutif-eksekutif yang menonjol di antara para eksekutif yang lain. Para eksekutif semacam ini disebut memiliki “Innovators’ DNA’. Jika, kala itu Menteri Nadiem berpartisipasi dalam penelitian ini, mungkin juga termasik eksekutif yang memiliki DNA Inovator.
Para eksekutif yang memiliki DNA Inovator ini ternyata memiliki ‘Five Discovery Skills”. Kelima ketrampilaan menemukan itu adalah: ‘Questioning’, ‘Observing’, ‘Networking’, ‘Eksperimenting’, dan ‘Associating”. Kelima ketrampilan ini sudah diimplemantasikan dalam K-13. Walaupun, maaf, salah arah.
Salah seorang yang dapat dijadikan ilustrasi memiliki DNA Inovator adalah Presiden Joko Widodo (Leo Sutrisno, 2014). Saat kampanye pemilihan presiden tahun 2014, calon presiden Joko Widodo melakukan ‘blusukan’ ke seluruh tanah air. Bertanya (Questioning) tentang apa yang dipikirkan penduduk tentang Indonesia baik saat itu maupun yang akan datang. Tidak hanya bertanya, tetapi juga melihat dengan detail fakta yang terjadi di lapangan (Observing).
Calon presiden Joko Widodo, saat itu, juga menjadi orang pertama yang menjalin hubungan dengan berbagai macam masyarakat, termasuk para seniman dan budayawan (Networking). Calon presiden Joko Widodo juga membuat baju ‘kotak-kotak Jokowi’. Semua warna dasar dijalin menjadi satu garis dari kotak-kotak itu dan diberi makna ‘keharmonisan’ (Experimenting).
Bukan hanya melakukan (doing) keempat ketrampiln itu, calon presiden juga membuat konsep tentang apa yang akan dilakukan dalam masa jabatannya, yaitu ‘REVOLUSI MENTAL’. Walaupun sampai akhir masa jabatan pertama ini, 2019, deskripsi konkrit, yang dapat ditangkap oleh sebagian besar orang belum tampak, istilah ‘revolusi mental’ diterima semua kalangan. Calon presiden juga mampu melakukan berpikir ‘Associating’, menggabungkan berbagai pemikiran banyak menjadi satu konsep yang dapat diterima bersama.
Jika, Menteri Nadiem mampu ‘mencangkokkan’ DNA Inovator ini kepada para murid/mahasiswa, guru/dosen, orang tua siswa/mahasiswa, tenaga kependidikan, niscaya relevansi pendidikan dan dunia kerja yang diinginkan dapat dipenuhi.
Kembali kepada judul tulisan ini. Jawaban pertanyaan itu adalah (1) membentuk manusia yang mempunyai kepribadian moral yang kuat, (2) membuat guru/dosen sebagai aktivator, serta (3) mencangkokkan DNA Inovator pada semua warga pendidikan.
Semoga!
*Leo Sutrisno (Ph.D Monash, 1990) adalah pensiunan dosen Universitas Tanjungpura, Pontianak. Kini tinggal di Pakem Tegal RT 40, Jlan Kaliurang km 17, Yogyakarta. No hp 08152208573.