Oleh: Juharis
Keberadaan wabah penyakit bernama korona dewasa ini tengah memorakporanda seluruh antero dunia. Tidak tahu hingga kapan ia akan berakhir. Tak pelak, seluruh sendi kehidupan telah morat-marit akibat ulahnya.
Sampai-sampai bulan paling mulia ini pun menjadi korban keganasan. Dampaknya, pelaksaan ibadah yang dulu begitu ramai di masjid bersama seluruh kalangan masyarakat tanpa pandang bulu, kini tak lagi sama. Dalam masjid tidak memandang kasta, semua fasilitas dan kenyamanan masjid dinikmati bersama. Namun, sekarang masing-masing sekadar menikmati fasilitas pribadi di rumah.
Syukur bagi kaum menengah ke atas, bagaimana mereka yang berada di golongan paling bawah? Bisa jadi salat di bawah jembatan tol, mungkin di teras rumah orang, atau mungkin saja di tepi jalan beralas kardus, serta kemungkinan lain yang tidak bisa dipastikan lewat perkiraan saja.
Belum lagi para pekerja ekonomi bawah, berhenti bekerja akibat lockdown dan kewaspadaan dini. Entah itu buruh, pekerja di tempat yang banyak keramaian, atau yang lain. Dengan apa mereka menafkahi keluarga? Duduk dengan kepanikan di rumah tak bakal menjadi solusi.
Beruntung kita punya Islam, yang menjadi pedoman adalah titah yang langsung dari Allah. Titah itu adalah perintah berfilantropi. Apatah lagi yang kurang lengkap dan sempurna selain Islam? Tidak ada satu pun.
Makna filantropi adalah kecintaan sesama manusia yang diwujudkan dalam bentuk kepedulian. Filantropi diekspresikan dengan saling menolong satu sama lain (Hilman Latief, 2010: 34). Manakala disandingkan dengan Islam, maka terbentuklah Filantropi Islam.
Tolong menolong dalam Islam termaktub dalam Quran surah Al-Maidah ayat 2.
”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat
siksaan-Nya.”
Menurut Quraish Shihab (1996: 3) ayat ini mencakup segala perbuatan baik yang memberikan kekuatan takwa bagi seorang hamba. Sehingga amat jelas dan tepat, di tengah pandemi korona ini ialah momentum tepat untuk mengamalkan perintah berfilantropi.
Filantropi di Indonesia lazim diaplikasikan oleh lembaga atau organisasi tertentu, utamanya yang mengelola zakat, infak, sedekah, dan wakaf (ZISWAF), dalam hal ini tidak lain adalah BAZNAS yang bertugas di pusat (nasional).
Sasaran filantropi di tengah semrawut pandemi adalah masyarakat yang kurang mampu dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat terdampak korona. Amat tepat manakala girah berfilantropi dipupuk agar membantu memberikan dorongan ekonomi kepada mereka. Kewajiban ini tentu bagi masyarakat yang mempunyai tingkat ekonomi lebih, tetapi bukan tidak mungkin yang rendah pun dapat berkontribusi.
Oleh karenanya perlu untuk membangun kesadaran kolektif filantropi di semua kalangan, semua kasta, bahkan bila perlu seluruh agama. Saat ini benar-benar terjadi, distribusi kekayaan akan merata sebagaimana misi Ekonomi Islam.
Poin utama dari harapan ini adalah bagaimana metode kita dalam memulai dan membangun karakter berfilantropi. Membuang keserakahan dan kerakusan. Bukan malah memanfaatkan kesempatan di ruang sempit, menzalimi orang lain, dan menjatuhkan martabat peri kemanusiaan.
Di tengah wabah berbahaya ini, seharusnya kita semakin sadar akan pentingnya berbagi, berjiwa dermawan terhadap sesama. Bijak jika kita memetik hikmahnya, bebal jika kita melawan arus begitu saja.
Kebijakan pemerintah melakukan segala upaya dari lockdown, PSBB, dan semisalnya adalah percuma jika kita abai tanpa empati. Mematuhi aturan yang berwenang sudah menjadi keharusan masyarakat.
Sungguh karakter masyarakat kita belum sepenuhnya mampu selayaknya Swedia. Kebijakan Swedia yang begitu mengguncang dunia, ada pro dan kontra karena mengeluarkan kebijakan kontroversi. Seperti yang dikatakan Saur M. Hutabarat (2020, Media Indonesia) kebijakan Swedia adalah “Behave like adults” bersikap dewasa dalam menghadapi masalah. Mereka tidak melakukan lockdown, semua berjalan sewajarnya. Pemerintah percaya pada rakyat dan rakyat percaya pada pemerintah tanpa ada tabir pemisah.
Terlepas dari persoalan tersebut, dengan semua yang telah terjadi mari kita tetap dukung Indonesia, kebijakan kita kebijakan Indonesia bukan Swedia.
Daya sokong kita tak sepenuhnya sama, paling sederhana adalah dermawan terhadap sesama. Menanamkan jiwa filantropi untuk saudara yang terdampak korona. Jika ada pemberian lebih dari Tuhan, maka mari kita berikan pula ke hamba Tuhan. Dengan cara sesederhana itulah kita menjadi pahlawan sejati bagi masyarakat terdampak pandemi.