in

Respon Budi Irawan Munir untuk Sultan Hamid II Pahlawan Nasional

pahlawan nasional

Oleh: Nur Iskandar

Bangun tidur, subuh, Rabu, 14 Oktober 2020 saya membaca respon Budi Irawan Munir pada laman FaceBook saya terhadap artikel berjudul “Hikmah Omnibus Law: Siapa Pahlawan dan Pengkhianat Negara?” (Tayang pada 9 Oktober 2020).

Pernyataan Budi Irawan Munir yang saya copy pada pagi hari 14/10/20 ini sebagai berikut: [Ade pertanyaan menggelitik dari kawan saye ngopi. Andai SH II masih hidup sekarang, senangkah dia jika diajukan sebagai pahlawan via NRI (Tanpa K)?
Lanjut nya lagi, kita perjuangkan saja minimal DIKB, atau negara federal…(entah apa namanya), baru beri gelar pahlawan bagi SH II dari kita sendiri bahkan bila perlu gelar Proklamator (negara federal).

Fakta bahwa beliau berjasa merancang lambang negara NRI, anggap saja itu sumbangsih/sumbangan beliau, dan itu bukti pernyataan resmi utang budi tak terbayar NRI kepada beliau. Tuntutan penghargaan jasa dalam bentuk gelar pahlawan dari kelompok lawan politik—-masa itu (Unitaris/NRI)—memerlukan waktu dan momentum yang pas.

Di era informasi dan internet dan entah apa lagi kedepannya, selama informasi telisik sejarah bahkan halhal pertentangannya sudah hadir dan tercipta didunia maya, selama itu pula apapun bentuk kebenarannya akan bertambah jumlah yang memahaminya.

Akan ada masanya.

Dan apa yang diperjuangkan sekarangpun dengan alami akan menjelma. Dan spirit perjuangan itulah yang lebih harus diwariskan kepada generasi penerus daerah ini.]
Menarik bahwa pengusulan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional–negarawan asal Kalimantan–wabilkhusus Kalbar–wabil khusus lagi Kota Pontianak si Kota khaTULIStiwa–negarawan diplomat Konferensi Meja Bundar–Sang Perancang Lambang Negara telah hadir di diskusi warung-warung kopi. Hadir di hati dan pikiran kawula muda milenial. Saya meresponnya sebagai berikut:
[Ultimatumkah nih Bang? Sebagai jurnalis saya lihat asprasi dan pikiran abang dkk adalah wajar. Kalau “Pusat” salah penanganan, mau tidak mau hukum alam berlaku. Hal yang sama terjadi di berbagai belahan dunia, “chaos” terjadi dasar utamanya ketidak-adilan. Maka cacing jika diinjak terus pun bisa melawan. Begitu peribahasa leluhur kita menasehati. Soal Sultan Hamid jika hidup sekarang mau tidak dipahlawankan oleh NKRI, bisa kita telusuri bahwa Allahyarham sangat cinta dengan Indonesia, mau tata negara pilihannya RIS (federalis) ataukah NKRI (unitaris). Namun Beliau itu disiplin pada konstitusi yang telah disepakati. Saat disidang Mahkamah Agung (1953) Beliau berkata, “Pembubaran RIS itu inskonstitusional. Cara menurut konstitusi RIS adalah referendum atau pemilihan umum.” Sejarah pasca wafatnya Sultan Hamid hadir di depan mata kita. NKRI di masa Presiden RI Prof Dr Ing BJ Habibie pun menjalankannya karena Beliau visioner serta demokratis–lama pendidikannya di Jerman. Mungkin pasca reformasi 1998 kala Habibie menggantikan Soeharto kita juga sudah lahir dan besar, jadi mengerti soal kemerdekaan. Seperti Timtim yang lepas dari NKRI. Caranya referendum.
Buah reformasi 1998 lainnya adalah Pemilu Langsung. Kita tidak memilih kucing dalam karung seperti masa Orba lagi.
Kita merasa merdeka dari Orba (diktator) berupa pemilu secara langsung itu–kita jalani seperti sekarang ini. Begitulah platform demokrasi yang dipegang Sultan Hamid sejak tempo doeloe itu. Beliau sungguh negarawan sejati. Sama dengan Habibie lama pendidikannya di Luar Negeri. Jika Habibie di Jerman–Hamid di Belanda–sama-sama Eropa.
Baca lagi pernyataan Sultan Hamid II Alkadrie dalam persidangan (Buku Persatuan Djaksa, 1953 terbit ulang 1955, 239 halaman). Jelas sekali pandangan Sultan Hamid soal tata negara RIS dan NKRI. Hamid maupun kita sangat cinta Indonesia, karena kita ingin menghadirkan keadilan dan kemakmuran bagi sesama anak bangsa. Alfatihah.]

*

Suatu hari sesama jurnalis kami berdiskusi soal Papua. Kenapa di Papua selalu terjadi “pemberontakan?” Seperti tidak berkesudahan. Hatta di era Presiden RI Ir Joko Widodo yang berbagi kebijakan infrastruktur luar biasa kepada Papua. Juga Bahan Bakar Minyak berlaku sama di seluruh Indonesia termasuk pelosok Papua. Kenapa masih berontak?

Dari diskusi panjang kami para jurnalis, adalah, “Jakarta” salah menangani Papua. Semestinya hak-hak otonom Papua diberikan sepenuh hati dan manusiwi. Pendekatan lokal adat dan tradisi akan lebih murni ketimbang penghisapan sumber daya alamiahnya, tunjuk saja hutan dan tambang. Freeport itu berapa triliun penghasilannya bagi NKRI? Seberapa yang kembali ke Papua? Wajar jika mereka menuntut keadilan dan menghadirkan keadilan itu tidak bisa dengan cara kekerasan yang menambah angka korban darah, bahkan nyawa.

Hasil terkini apa di Papua? Masih terjadi penembakan antara kedua belah pihak. Korban saudara kita–anak-anak Bangsa yang cerdas di Kopassus–bahkan polisi–hatta pekerja jalan–ditembak. Baku tembak masih terjadi.

Pengajuan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional saya sebagai jurnalis berdiri tegak di bumi pertiwi. Mengingatkan Kementerian Sosial dan TP2GP (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat) untuk tidak salah menangani. Arif dan bijaksanalah. Berikan jawaban dan solusi jika ada masalah dengan tertib administratif lalu berikan rekomendasi.

Transparanlah dalam mengelola negara ini. Termasuk yang menurut Jakarta mungkin remeh-temeh, “Apalah arti gelar Pahlawan Nasional itu.” Bagi Jakarta mungkin tiada arti. Tapi bagi kami ini sangat berarti. Berarti pengakuan. Berarti pembersihan nama baik. Berarti Negara bijak menempatkan anak Bangsa yang telah berjasa besar bagi hadirnya Lambang Negara, kedaulatan RI atas proklamasi kemerdekaannya 17/8/1945 pada KMB, 27 Desember 1949. Pengakuan itu sama dengan kita bersama mau berrestorasi Indonesia. Sama dengan mau ishlah sejarah. Sama dengan mau “mikhul dhuwur mendhem jero.” Sama dengan mau melahirkan bibit generasi muda hibrid yang membawa kebanggaan bagi Bangsa Indonesia dengan semboyan milenial kini, “Garuda di Dadaku!” Spirit yang kurang dan lebihnya adalah pengamalan seluruh sila dalam Pancasila yang sudah disimbolisasikan maknanya dengan rapi di Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila. * (Foto poster MPR RI menyerap aspirasi publik Sultan Hamid II Pahlawan Nasional atau Pengkhianat–menghadirkan para pakar di bidangnya masing-masing, baik pro maupun kontra–sehingga fair secara ilmiah).

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

pulau temajo

Temajo Pulau Impian

turiman-faturahhman-nur

Perjuangan Panjang Sultan Hamid II Mendukung Kemerdekaan NKRI Berdaulat Penuh (1)