Oleh: Wajidi Sayadi
Sekitar tahun 1983 (37 tahun lalu), Guru besar saya di kampung halaman, KH. Muhammad Zein Qadhi Masjid Raya Campalagian menjelaskan secara detil rinci perbedaan hitungan antara tahun masehi dan tahun hijriyah.
Waktu itu saya masih santri dan siswa Madrasah Tsanawiyah Perguruan Islam Campalagian, mendengar dengan jelas dan seksama sambil terkagum-kagum, karena Beliau dalam kondisi fisik kedua matanya buta total, namun dengan fasih menjelaskan tafsir ayat al-Qur’an pada surat al-Kahfi ayat 25.
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا
Dan mereka tinggal dalam gua selama 300 tahun dan ditambah 9 tahun. (QS. Al-Kahfi, 18: 25).
Beliau menjelaskan, ayat ini tidak menyatakan bahwa Ashabul Kahfi tinggal dalam gua selama 309 tahun, akan tetapi al-Qur’an menggunakan kalimat 300 tahun dan ditambah 9 tahun, sebab kalau menggunakan istilah 309 tahun berarti hanya menyatakan tahun hijriyah saja.
Ayat ini menjelaskan mengenai perbedaan antara hitungan tahun masehi dan hitungan tahun hijriyah.
Makanya disebutkan 300 tahun sebagai perhitungan menurut tahun Syamsiyah, sekarang popular dengan istilah tahun masehi.
Disebutkan ditambah 9 tahun sehingga berjumlah 309 tahun sebagai perhitungan menurut tahun Qamariyah atau sekarang popular dengan istilah tahun hijriyah.
Perhitungan angka tahun Hijriyah lebih Panjang dan lama dibandingkan dengan tahun masehi.
Misalnya, kemarin saya menyampaikan runtuhnya Masjid Raya Campalagian oleh gempa bumi tanggal 1 Muharram 1442 H./11 April 1967 M. Berdasarkan perhitungan tahun Hijriyah sudah berlalu 55 tahun lalu. Kalau berdasarkan perhitungan tahun masehi baru 53 tahun.
Perbedaan antara tahun Syamsiyah (Masehi) dan Qamariyah (Hijriyah) dalam setahun adalah sekitar 11 hari dan sekian jam.
Apabila angka 11 hari dan sekian jam dikalikan 300 tahun, maka akan menjadi sekitar 3300 hari atau sekitar 9 tahun.
Apa yang dijelaskan oleh Puang Khadhi, KH. Muhammad Zein, 37 tahun itu, itulah penjelasan ahli tafsir mengenai ayat ini yang saya baru baca dalam Tafsir al-Jalalain yang saya miliki sejak tahun 1986 dan setelah itu dipelajari dan dibaca di hadapan Beliau.
Setelah melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi dan masuk ke jurusan Tafsir dan Hadis semakin menambah wawasan tafsir al-Qur’an, khususnya tafsir ayat tersebut mengenai perbedaan hitungan tahun masehi dan tahun hijriyah.
Alhamdulillah dengan modal apa yang diterima dari penjelasan Guru Besar saya di kampung halaman 37 tahun lalu hingga hari ini tetap membekas dalam ingatan. Inilah namanya ilmu berberkah dan bermanfaat.
Ilmu inilah yang saya sampaikan dalam Pengajian Tafsir al-Qur’an rutin Jumat malam di Masjid al-Jamaah Pontianak (21/8-2020). Pengajian di masjid ini, sudah lebih 10 tahun, sejak tahun 2010 sampai sekarang, bahkan bangunan fisik masjid juga sudah direnovasi dengan tampilan yang indah dan megah hingga berlantai tiga. Alhamdulillah.
Sungguh luar biasa, al-Qur’an sudah menyebutkan kedua jenis tahun Masehi berdasarkan Syamsiyah atau matahari, dan tahun Hijriyah berdasarkan hitungan Qamariyah atau bulan.
Al-Qur’an sudah menjelaskan kedua jenis tahun Masehi dan tahun Hijriyah ini yang kita gunakan dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, tidak perlu selalu dan terlalu mempertentangkan secara tajam, seolah-olah tahun masehi itu bukan tahun Islam, tapi tahunnya orang kafir. Padahal umumnya umat Islam menerima gaji dan bertransaksi menggunakan tahun masehi, kecuali di Pondok Pesantren sudah terbiasa menggunakan tahun Hijriyah.
Adapun tahun Hijriyah disebut sebagai tahun Islam, di antara sebabnya karena dalam beberapa pelaksanaan ibadah hitungannya sesuai perhitungan bulan, bukan perhitungan matahari, seperti puasa wajib di bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha di bulan Syawal dan Dzulhijjah. Begitu juga musim haji adalah bulan Syawal, Dzulqaidah, dan Dzulhijah, dan lain-lain.
Namun proses penetapannya secara resmi sebagai tahun Hijriyah karena persoalan momentum oleh Khalifah Umar bin Khattab, sebagai pemimpin Islam pelanjut Nabi Muhammad SAW. sebagai kepala negara, maka disebut tahun Hijriyah, walaupun pada hakekatnya sudah diberlakukan tahun hijriyah sejak Nabi Muhammad SAW. seperti dalam pelaksanaan puasa dan haji.
Sekali-lagi, meningkatkan kualitas dan nilai keagamaan kita bukan hanya pada persoalan angka-angka dan jenis tahun, akan tetapi bagaimana memanfaatkan seiring dengan peredaraan waktu dengan mengisinya berupa amal-amal kebaikan.
Jangan sampai semangat berhijrah hanya pada bulan Muharram tahun Hijriyah yang dikenal sebagai tahun Islam, tetapi pada bulan-bulan lainnya, bulan Januari, Pebruari dan seterusnya tidak bersemangat lagi atau kendor semangat hijrahnya.
Padahal kalau mau berhijrah, kapan saja, tidak mengenal apalagi membedakan tahun hijriyah atau tahun masehi.
Berhijrah tidak perlu menunggu tahun baru Hijriyah pada bulan Muharram.
Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW.
أىُّ الْهِجْرَةِ أَفْضَلُ قَالَ أَنْ تَهْجُرَ مَا كَرِهَ رَبُّكَ
Hijrah manakah yang paling mulia? Beliau menjawab, yaitu engkau berhijrah dengan cara menghindari apa yang dibenci oleh Tuhanmu, Allah SWT. (HR. Nasai dari Abdullah bin ‘Amr).
Sebagai bagian dari Syiar dan dakwah serta mengenalkan sejarah Islam kepada anak-anak generasi masa depan tetap perlu juga membudayakan tradisi dan syiar Islam, termasuk Tahun Hijriyah dan nama-nama bulannya, tanpa harus mencela dan mencaci apalagi menolak bulan dan tahun Masehi.
Semoga bermanfaat.
Pontianak, 3 Muharram 1442 H/22 Agustus 2020