Si Malaekat, BI’ TAAM

6 Min Read
Dr Leo Sutrisno

Oleh: Dr Leo Sutrisno

Deburan ombak jejak badai Haiyan sudah menghilang. Riak-riak permukaan air kembali bermain dengan kilatan-kilatan gelombang cahaya Bulan. Di ujung sana, bayangan batang pohon kelapa terlibat dalam pilinan interferensi kedua riak gelombang itu. Ketenangan samudera telah menggantikan kemarahan badai musim pancaroba. Tiba-tiba terkembang lagi layar plasma langit yang telah dua minggu menghilang di balik cakrawala.

Saya baru saja selesai memeriksa bayi mungil, Ridho, cucu Bi’ Taam. Bi’ Taam, orang di sini lebih sering memanggilnya Bu Amat, orang Madura kelahiran pulau seberang. Ia bermukim di kepulauan sudah lebih dari tiga puluh tahun. Beberapa hari sebelum konflik antar etnis, seorang tetangga yang baik hati ‘membawanya’ ke kepulauan ini. Belakangan, ia mendapat kabar bahwa rumah beserta seluruh isinya habis dilalap api.

Hari ini adalah kunjungan rutin bulanan yang ke enam. Ridho telah menjadi seorang bayi yang terlihat gagah ganteng. Mata birunya menyorotkan rasa percaya diri yang kuat seperti mata Miabella, ibunya. Sedangkan bibirnya menyiratkan bibir Solo yang tidak mau diungguli orang lain. Kulitnya? Jangan disangka hitam terbakar seperti milik Bi’ Taam yang khas Bangkalan pantai. Kulit berwarna kuning cerah khas orang Mediterania.

“Rasanya, anak ini kelak akan tumbuh menjadi lelaki tampan metropolis, idaman gadis-gadis Milenial” Ucap saya perlahan sambil memeriksa Ridho.

“Tak tahulah, Aku” Ucap Bi’ Taam. Ternyata, ia mendengar ucapan tadi. “Sangkaku ibunya akan bunuh diri, saat itu” sambung Bi’ Taam tanpa diminta. Sedangkan Miabella sedang sibuk di belakang mencuci pakaian Ridho.

“Saat aku lewat, Mia berdiri di bibir tebing pantai Ujung sana. Aku teriaki. Moy, moy, jangan dibunuh anak yang kau kandung itu. Biar aku pelihara untuk teman masa tuaku”. Berhenti sejenak untuk menggulung sirihnya.

“Ia, berlari turun dari tebing dan memeluk aku sambil menangis. Aku bawa ke rumah hingga sekarang ini” Bi’ Taam pergi ke belakang. Melanjutkan memasak untuk makan siang.

Aroma ikan sarden goreng bercampur sayur pucuk daun ubi menyebar ke ruang depan.membuat is perut berkelonjotan ingin segera diisi.

sambil menidurkan Ridho dalam ayunan selendang a la Bi’ Taam. Mia bertutur seolah-olah kepada dirnya sendiri “Aku tidak tahu bagaimana cara berterima kasih ke Mak Taam” Ia memulai curhatannya.

“Ia sungguh malaekat. Dalam kesederhaan seperti ini masih mau menjadi penyelamatku”. Berhenti sejenak mengambil napas panjang. Setetes air mata jatuh dipangkuan.

Ia bercerita tetang kejadian itu. Saat itu, sesungguhnya merupakan kegiatan lapangan mengumpulkan data thesisnya tentang musik Melayu kepulauan. Thesis untuk meraih doktor dalam bidang etno-musikologi. Karena ibunya sudah mendalami musik Melayu daratan sebagai obyek telaahnya maka ia mengambil musik Melayu kepulauan.

Untuk mengusir sepi, setiap akhir pekan Mia terbang ke Solo menonton wayang kulit. Darah ayahnya, dosen bahasa Jawa sekaligus penggemar wayang kulit Jawa, meresap dalam bawah sadar Miabella sejak usia dini.

Ternyata, wayang kulit gaya Surakarta itulah yang menumbuhkan keinginan kuat Miabella mendalami lebih jauh tentang isi ajaran “Sastra Jendrohayuningrat pangruwating Diyu”. Istilah itu sudah berulang kali dibaca olehnya dalam buku babon pedalangan milik ayahnya.

“Letih aku mencari seseorang yang mau mengajarkan ilmu itu kepadaku. Di ujung ketetihanku, akhirnya, ada seorang dalang sepuh yang bersedia menjelaskannya. Hatiku berbunga-bunga menerima tawarannya”.

“Aku sungguh terbawa oleh kepiawiannya. Aku menghayati proses pembelajaran itu secara total. Dan, semua memang terasa indah” Ia memandang jauh ke luar, melayang menembus celah-celah pantulan cahaya permukaan air laut di tengah hari.

“Dokter tahu, sebagian besar keluarga Italia masih sangat tradisianal dalam mendidik anak-anak. Tidak terkecuali keluarga kami. Tentu saja aku juga harus menjaga nama baik Pak Guruku itu. Maka, kudamparkan hidupku di pulau kecil ini bersama Mak Taam, si malaekat penolong. Kandidat doktor Miabella sudah lenyap dalam khasanah para musikolog, tidak terkecuali dari Mama dan Papa“. Berhenti sejenak. Setets air mata jatuh lagi kepangkuannya.

“Dengan nama Ridho, pemberian Mak Taam, semoga kelak jika sudah besar tidak seperti Dasamuka, Dok”. Aku Cuma mengangguk mengiyakan.
Dasamuka adalah anak pertama dari pembelajaran pertama tentang ajaran Sastra Jendrohayuningrat Pangruwating Diyu. Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesi sama-sama masih terbawa oleh nafsu-nafsunya. Dalam epos Ramayana Raja Dasamuka bernafsu untuk menguasai dunia. Karena tidak dapat mati, dengan terpaksa si kera putih Anoman menindih tubuh Dasamuka dengan Gunung batu .

Kelak, ketika kembali ke kampus mengambil spesialis, secara tidak sengaja saya temukan uraian ajaran Sarta Jendrohayuningrat Pangruwating Diyu di buku ‘Anak Bajang menggiring Angin’ karya Sidhunata. Digambarkan dengan sangat rinci sepanjang sepuluh halaman tentang keindahan dunia tatkala Dewi Sukesi sedang menerima ajaran itu dari Begawan Wisrawa.

Sementara Ridho sedang menyantap menu siangnya, bubur pisang dalam suapan ibunya, saya dan Bi’ Taam menikmati nasi hangat berlauk ikan sarden goreng dilengkapi sayur daun pucuk ubi dan sisipan sambal belacan. Menu sehat ala kepulauan.

Sebelum ayam berkokok, layar plasma langit sudah lenyap dari cakrawala. Saya pun kembali termenung di pinggir mata air bukit batu belakang Puskemas. Tak lama kemudian bayangan serombongan burung camar terbang menyongsong cahaya merah di ufuk timur.

Pantulan gelombang RRI-Pro3 yang tengah menyiarkan ulang ‘Up date’ penanganan Covid-19 menggema di angkasa. Jumlah pasien positif, katanya, belum melandai. Masyarakat diharap sungguh mematuhi protokol kesehatan. Biarlah kami orang-orang penjaga gawang tidak terus berjatuhan. Kabarnya, hingga kini, sudah 34 orang kolega yang menyusul saya.

Pakem Tegal, 14 Juni 2020


Kontak

Jl. Purnama Agung 7 Komp. Pondok Agung Permata Y.37-38 Pontianak
E-mail: [email protected]
WA/TELP:
- Redaksi | 0812 5710 225
- Kerjasama dan Iklan | 0858 2002 9918
Share This Article