in

Sejenak Bersama Yudie “Arwana” Chaniago

yudhi hendri legend


Oleh: Khairul Fuad

Ruang Wali Kota Pontianak Edi Kamtono tetap terasa dingin bersumber dari hembusan AC, menjadikan rombongan yang dibidani Nur Iskandar, tokoh jurnalistik Kalbar, menahan terpaan itu. Beruntung pastinya bagi yang mengenakan jaket tebal, rasa dingin dapat ditahan menusuk langsung kulit, setidaknya tidak menggigil. Rombongan itu sedianya bertemu dengan wali kota pada 28 Agustus 2020 meski menunggu agak lama terkait jadwal protokoler wali kota.

Dalam rombongan tersebut ternyata ikut pemusik sekaligus vokalis band terkenal Arwana, Yudie Chaniago, penggebuk drum. Partisipasinya dalam rombongan menjadi sisi menarik sebab hadir sosok yang pernah mewarnai blantika musik Indonesia dengan lagu-lagunya yang viral, meminjam istilah milineal, seperti, Kunanti, Angsa Putih, Lamunanku, dan masih banyak yang lain. Menjadikan rasa dingin AC dan rasa menunggu tidak membosankan maka sejurus itu mengambil sejenak sekadar ngobrol-ngobrol ringan.

Khairul Fuad 1

Ternyata, justru Bang Yudie seperti sapaan akrabnya, mengambil inisiatif bertempat untuk ngobrol setelah memantik pembicaraan di ruang tamu tersebut dengan mencoba ditimpali dengan beberapa pertanyaan. Pernyataannya yang menarik bahwa blantika industri musik Indonesia ternyata tidak lepas dari sisi-sisi politis dengan muatannya jangan sampai grup musik luar Jawa menjadi musik nasional. Dapat diartikan, jangan sampai ada grup luar Jawa muncul di blantika musik Indonesia.

Untungnya waktu itu label rekaman musik itu dikomandani oleh seorang bule yang meminta dalam dua hari mencari grup ini, sebelum memakai nama Arwana, setelah mendengar masternya dan langsung diminta membuat video klip. Jika bukan bule, mungkin band Arwana yang terkenal sekarang ini, tidak akan mewarnai blantika musik Indonesia. Meskipun, disodorkan grup lain berasal dari Jawa, ditolaknya. Justru memilih grup musik dari Kalbar yang akhirnya dapat merasakan lika-liku industri musik yang kompetitif, sebelum bergegas beranjak ke belakang.

Sepertinya, Bang Yudie menangkap sinyal untuk ngajak ngobrol sehingga mbelain berpindah tempat duduk dari dekat menuju kursi yang menjauh dari kursi wali kota. Sejenak bersama dapat terwujud sekaligus sedikit menepis dingin dan kebosanan membuncah. Langkahnya mendekat memberikan sinyal sebagai sosok terbuka, humble, kata orang baratnya sungai (baca: bule). Obrolan pun sejenak menemukan jalannya di tengah jalan utama menemui wali kota.

Penampilan sederhana khas seniman atau mungkin demikian seniman yang sudah merasai asam-garam kesenian level tertentu, lebih terlihat sederhana, bahkan cenderung apa adanya. Tampilan sederhana itu yang mungkin memudahkan mengambil kursi bersebelah untuk ngobrol sejenak, tentu dengan tetap bermasker sebagai protokol kesehatan saat pandemi. Maklum pertemuan waktu itu dalam masa tanggap darurat pandemi, yang juga merambah sampai Kota Pontianak, kota seribu parit seribu surau.

Proses pemilihan nama band yang digawangi Hendri Lamiri, Yan Machmud, Wansyah Fadli, Delsy Ramadhan, Nono Sutomo, dan Yudie Chaniago sendiri, membuka obrolan sejenak. Setelah lagu dimasukkan dan diseleksi oleh sebuah label rekaman musik di Jakarta, grup musik ini segera dikontak untuk naik rekaman dalam dua hari dan dikontrak serta segera juga dibuatkan video klip. Kontak pun berhasil saat kepulangan ke Pontianak mengisi perhelatan kampanye sebuah partai pada 1996. Begitu kenang Bang Yudie saat masih duduk di kursi deretan depan.

Kemungkinan besar, Bang Yudie dan rekan-rekannya merasa senang campur aduk bisa masuk dapur rekaman sekaligus dibuatkan video klip padahal kondisi politik waktu itu tidak memungkinkan, saat ramai-ramainya reformasi. Ditambah lagi, kebanggaan semakin membuncah sebagai orang-orang daerah bisa berbicara di tingkat blantika musik nasional sekaligus wakil Kalbar di dunia musik nasional. Lebih mencengangkan lagi, hasil rekaman ternyata terjual satu juta keping lebih di Indonesia dan di Kalbar sendiri terjual lima ratus juta keping lebih. Capaian tersendiri di industri musik saat gonjang-ganjing politik.

Sebelum capaian itu diraih kemudian, Pihak label rekaman waktu itu memintanya untuk mencari nama untuk grup ini dalam waktu dekat. Jika tidak, pihak label sendiri yang akan memberi nama. Sebenarnya, beberapa nama sempat disodorkan ke label rekaman tersebut, seperti Batu Layang, Khatulistiwa, dan Nakel untuk menunjukkan ikon Kalbar. Sayangnya, sodoran nama-nama itu tidak diamini oleh pihak label rekaman musik.

Karena kebutuhan nama, dibelain pergi ke Bang Max Al-Kadrie pukul 02.00 untuk dimintai pendapat tentang nama. Yang dituju Bang Max karena dianggap wartawan senior dan senioritas orang Kalbar di Jakarta. Nama Arwana akhirnya didapat darinya dan membuat kaget Bang Yudie yang selama itu tahunya hanya Silok. Nama Arwana diterima pihak label rekaman setelah dipresentasikan dengan nilai-nilai filosofi di dalamnya. Sejurus itu, Arwana melambungkan Yudie Chaniago dan kawan-kawan selama berkarir seperempat abad di blantika musik nasional dan melambungkan juga nama Kalbar. Selain itu, Arwana terkenal sebagai ikon ikan eksotik Kalbar.

Arwana pun memasuki industri musik pada 1997 dan proses berikutnya dilakukan pada 1998 sebagai kosekuensi memasuki dunia musik komersil. Lagu-lagu yang dibawakan pun terkenal dan bisa dibilang lagu-lagu evergreen, melegenda dan pada saat bersamaan Indonesia tengah mengalami ketidakmenentuan sosial-politik,. Mungkin itu sekelumit kecil perjalanan musik grup Arwana, yang memantik memasuki lorong waktu masa lalu.

Ungkap Yudie Chaniago mengenang kebersamaan dengan Hendri Lamiri, penggesek biola band Arwana, sebagai teman kecil sepermainan. Setelah SMA tidak bersama lagi, Yudie Chaniago meneruskan studinya ke luar negeri, Australia dan China, di bidang musik, minat (passion) besarnya. Menurut pengakuannya, terdapat tarikan khusus saat melihat dan mendengarkan musik berjenis perkusi (alat musik pukul). Tidak mengherankan jika dalam tembang Arwana terdengar alunan bunyi alat musik perkusi, seperti dalam video klip tembang Kunanti, yang dipukul sendiri oleh Yudhie Chaniago yang saat itu masih berambut gondrong.

Sampai kemudian para punggawa berenam yang akhirnya menggawangi band Arwana bertemu di Jakarta atas inisiatif Yudie Chaniago. Meskipun Arwana berasal dari Kalbar, para punggawanya bertemu di Jakarta, yang bermusik sebelumnya dari café ke café di Jakarta. Dapat dipastikan banyak cerita pahit getir manis saat ngamen bareng-bareng di ibu kota Jakarta jika ditanyakan kepada para punggawanya. Dapat juga dipandang sebagai proses bermusik dan uji mental saat begelut dengan nada di café-café Jakarta.

Membentuk grup musik memang cita-cita Yudie Chaniago sejak lama, angan-anganya jika punya modal yang cukup akan membentuk grup musik dan akhirnya kesampaian mewarnai blantika musik nasional, mungkin juga internasional. Dalam pandangannya, Kalbar potensi musiknya bagus, hanya sayang tidak ada wadah yang bagus untuk menaungi, kala mengingat waktu itu. Ke ibu kota akhirnya mimpi-mimpi itu terwujud nyata, dreams come true.

Pada gilirannya, Band Arwana memuncaki blantika musik Indonesia dengan karya-karya diterima di hati masyarakat. Selain lirik lagunya yang enak dan komunikatif yang hampir semua hasil tangan dingin Yudie Chaniago, segi musikalitasnya berbeda dengan band-band waktu itu. Penggunaan alat musik gesek biola misalnya yang dimainkan Hendri Lamiri menjadi penanda beda dari grup-grup musik lainnya. Termasuk, memasukkan instrumen perkusi sebagai alat musik etnik bernuansa Melayu dalam industri musik, menambah lain dari yang lain Arwana sebagai pengaruh musikalitas Yudie Chaniago yang punya perhatian lebih terhadap musik etnik.

Kerja seni seperti itu dengan musik dengan notasi etnik Melayu menjadi pembuka jalan band-band berikutnya yang bernuansa Melayu, begitu jelas Yudie Chaniago. Gaya bermusik etnik yang enak didengar (easy listening) ternyata sudah berjalan seperempat abad di dunia industri musik yang kompetitif. Hitungan usia yang tidak mudah, 25 tahun, menggawangi sebuah grup band musik. Arwana akan terus dicatat dalam sejarah permusikan dari Kalbar yang telah memberi warna beda di blantika musik Indonesia. Bahkan, menggelitik lontaran Yudie Arwana, Kalbar dikenal oleh tiga, yaitu sungai terpanjang, Tugu Khatulistiwa, dan Arwana grup musik.

Lontaran lain pun dilemparkannya dengan pernyataan yang menggelitik terkait musikalitas, membuat lagu susah itu gampang membuat lagu gampang itu susah. Gampang dimainkan, gampang dinyanyikan, dan gampang diterima masyarakat. Tentunya, terkait dunia industri akan sangat susah membuat lagu yang gampang diterima oleh industri musik yang kompetitif dan komersial. Diingatkan Yudie Chaniago bahwa memasuki industri musik harus berbeda dengan yang sudah ada, ini yang susah, tegasnya.

Lontaran-lontaran menggelitik itu secara tidak langsung ditujukan kepada generasi-generasi pasca-Arwana, tentu khususnya buat budak-budak Kalbar jika ingin mengikuti jejaknya. Masuk dunia industri musik bagi Yudie Chaniago, sangat kompleks, tidak hanya faktor tersurat saja, tetapi tersirat juga yang dapat dipahami sebagai etika. Bermusik itu etika, tegasnya, dan diakuinya saat belum besar dengan Arwana, selalu menjaga etika dengan memohon atau sowan kepada orang-orang yang sudah berhasil.

Etika semacam ini yang tidak dilakukan oleh grup-grup sekarang ini, terutama yang berasal dari kalbar dengan tidak memohon bantuan dengan Arwana yang lebih dahulu menapaki blantika musik Indonesia. Sepertinya bukan berarti ingin dihormati, tetapi ingin membangun rantai kebersamaan sesama-Kalbar sehingga mudah untuk mengawal perjalanan bermusiknya jika berhasrat menembus level nasional.

Rasa etika itu ditunjukkan dengan ucapan terima kasih Yudie Chaniago kepada para mentor, seperti Iwan Sagita, (alm) Dian Pramana Putra, Iwan Fals yang juga memberi pengaruh dalam bermusik. Tidak ketinggalan juga musisi Barat juga disebut yang telah memberi pengaruh musikalitasnya, seperti Michael Learns to Rock, Beatless, dan Queen. Bahkan, rasa terima kasih tulus sekali ditujukan kepada masyarakat Kalbar karena dalam kondisi tidak memungkinkan dapat terjual satu juta keping kopi album Arwana.

Bagi Yudie Chaniago, bermusik tidak hanya terkait jago bermusik atau bernyanyi apalagi berhubungan dengan industri, akan terkait dengan dunia dagang yang komersial, kompleks, dan kompetitif. Selain itu, bermusik berdampak meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia setempat. Saat kejayaan Arwana, Kalbar menempati posisi grade A paling tinggi di Industri musik, sedangkan sekarang ini turun drastis grade paling bawah di nomor dua belakang Papua. Keadaan perununan grade ini yang banyak tidak diketahui.

Tidak kalah penting, proses spiritual atau tersirat yang dikatakannya, memang harus ditempuh apalagi saat perjalanan Arwana diterpa keprihatinan mendalam dan berbagai tekanan. Sikap spiritualitas itu yang dapat mengatasinya untuk tetap menjaga asa dan akan mengasahnya dalam proses kreativitas menciptakan lagu. Yudie Chaniago berkeyakinan bahwa karya yang menjadi masterpiece tidak mungkin kalau tidak melewati pengalaman spiritualitas.

Akhirnya, obrolan ini nyatanya harus disudahi karena Wali Kota Pontianak Edi Kamtono sudah melewati pintu masuk ruang tamu. Masing-masing rombongan duduk kembali pada posisinya duduk yang dipilih. Yudie Chaniago justru dimohon oleh rombongan duduk bersanding dengan wali kota, yang sebelumnya di deretan depan rombongan. “Setulus hati ini kuserahkan kepadamu, sebagai tanda cinta suciku untuk dirimu”, mungkin itu alunan tersirat Yudie Chaniago untukmu Kalimantan Barat, tempat Arwana hidup dan menghidupi.

Ruang Kantor Hari Jadi Ke-249 Kota Pontianak

Written by teraju.id

wisata religi bang edi

Wisata Religi-Wisata Sejarah “Bersame Bang Edi”

telok air

Teluk Air, Jejak Alam yang Me-Restart Diri