Oleh: Beni Sulastiyo
Iya! Dalam ajaran islam memang tak pernah ada istilah aksi, demonstrasi, protes sosial, atau istilah-istilah yang sepantar dengan istilah unjuk rasa. Istilah-istilah itu memang baru lahir pada abad 19 dan semakin populer di abad 20.
Yang melahirkan pemikiran itu adalah para pemikir dan praktisi sosio-politik dari dunia barat. Bukan dari khasanah pemikiran Islam.
Kelahiran istilah-istilah itu sezaman dengan lahirnya konsep-konsep pembentukan state (negara) paska Perang Dunia I dan paska Perang Dunia II.
Semua konsep pembentukan dan pengelolaan negara paska perang dunia itu merekomendasikan konsep pembentukan negara yang berbasis konstitusi. Konsep pembentukan negara itu dirumuskan oleh kaum cerdik pandai barat untuk menggantikan basis pemikiran pembentukan dan pengelolaan negara sebelumnya, yaitu negara yang berbasis kepemimpinan personal atau monarki-absolut.
Trias politika, konsep negara republik, nation-state, demokrasi, revolusi, partai politik, pemilihan umum, pemilihan presiden, one man one vote, presidential threahold, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, hingga demonstrasi atau unjuk rasa lahir secara serialis paska PD I dan PD II.
Sederhananya, seluruh istilah itu adalah istilah yang baru saja ngetren dalam satu abad terakhir. Padahal peradaban dunia ini sudah berlangsung berpuluh abad lamanya Begitu!
Jadi Haram?
Saya ga paham kalau ada ulama yang menyampaikan fatwa itu. Mungkin ada ulama modern yang mengharamkan hal itu. Tapi yang jelas ulama yang mengharamkan itu bukan ulama yang hidup di atas abad 18. Karena istilah unjuk rasa baru menjadi fenomena sosial di abad 19-20.
Namun, dalam komunitas sosial yang berbasis ajaran islam, memang tak ada tradisi unjuk rasa. Baik di komunitas yang ada di masa lalu, maupun di komunitas yang masih lestari hingga detik ini.
Dalam komunitas terkecil di sebuah keluarga muslim misalnya, pemilihan kepala keluarga tidak menggunakan sistem pemilihan. Dalam ajaran Islam, sudah ditetapkan bahwa suamilah yang menjadi kepala keluarga atau Imam. Kebijakan yang diambil juga tidak menggunakan sistem demokrasi ala barat yang one man one vote. Tapi berdasarkan musyawarah dan mufakat. Pada keluarga non muslim, tradisi ini sepertinya juga berlaku.
Konsep dasar yang asasi ini kemudian diimplementasikan dalam komunitas yang lebih besar. Misalnya pada jamaah masjid.
Di masjid juga tak ada tradisi unjuk rasa. Karena platform yang digunakan bukan platform pemikiran barat. Proses pemilihan pemimpin masjid dan pemimpin shalat juga tidak menggunakan konsep pemilihan one man one vote. Jika aspirasi kepada pemimpin masjid tak diterima, pemimpin masjid atau imam tak boleh disuruh mundur lewat aksi unjuk rasa. Demikian pula kalau ada kesalahan, cukup diberi tahu dan tak boleh dicaci maki, terlebih di depan umum.
Kalau kesalahan pemimpinnya fatal, maka sang pemimpin wajib undur diri. Setelah itu, salah satu makmum yang berada di barisan shaf terdepan wajib menggantikannya.
Di komunitas yang lebih besar lagi seperti PESANTREN, sama saja. Konsep pemikiran barat dalam pengelolaan tatanan sosial tidak berlaku. Tak ada konsep seorang kyai harus dipilih secara langsung lewat pemilihan umum. Tak ada aturan bahwa seorang kyai hanya boleh menjabat 5 tahun, lalu bisa dipilih lagi paskanya. Dan tak ada pula tradisi unjuk rasa yang dilakukan oleh para santri terhadap kyai nya, jika sang santri merasa aspirasinya tak digubris oleh Kyai.
Beberapa Ormas Islam seperti Persyarikatan Muhammadiyah juga hampir sama. Basis pemikiran yang digunakan untuk menata sistem sosial politiknya tidak menggunakan platform berpikir orang-orang barat. Makanya, tak ada peristiwa unjuk rasa dalam ormas terbesar dan terkaya di dunia itu.
Demikian pula di masjid dan di pesantren, yang mana sepertinya hingga saat ini belum pernah terdengar berita ada unjuk rasa jamaah masjid atau unjuk rasa yang dilakukan oleh santri di sebuah pesantren.
Peristiwa unjuk rasa yang pernah terjadi dan pernah saya dengar adalah Di Pondok Modern Darussalam Gontor. Kejadiannya kalau tak salah di era tahun 70an.
Oleh pimpinan pesantren, para pengunjuk rasa lalu diberhentikan, seluruh santri dipulangkan, dan kegiatan pesantren dihold untuk sementara waktu.
Pengunjuk rasa kalah, lalu nyerah. Karena mereka menggunakan platform pemikiran di tempat yang tidak semestinya. Peristiwa unjuk rasa itu adalah peristiwa pertama dan terakhir di salah satu pesantren terbesar di Indonesia itu.
Jadi apakah unjuk rasa itu haram dalam ajaran Islam?
Kalau pertanyaan itu diajukan kepada pengurus masjid, kepada para Kyai di Pesantren, atau para Pimpinan Ormas, saya yakin jawaban yang diberikan sama, bahwa unjuk rasa itu tak boleh dilakukan di masjid, pesantren atau ormas yang mereka pimpin. Aktivitas unjuk rasa adalah aktivitas yang TERLARANG di komunitas yang mereka pimpin.
Lalu bagaimana dengan unjuk rasa yang dilakukan oleh warga negara, mahasiswa, buruh, petani, okp kepada negara?
Nah karena platform yang digunakan oleh negara kita adalah adalah platform yang berbasis pemikiran barat-modern, maka jawabannya boleh.
Yang membolehkan bukan saya ya. Yang membolehkan adalah konstitusi negara.
Dalam konstitusi negara, unjuk rasa diperbolehkan. Bahkan dijamin oleh undang-undang. Artinya aparat negara tak boleh melarang orang yang ingin mengemukakan pendapat.
Tapi tak semua negara berbasis pemikiran barat, memperbolehkan unjuk rasa. Di negara-negara komunis, unjuk rasa dihukumi haram. Padahal kekuasaan yang mereka dapatkan berasal dari unjuk rasa juga misalnya revolusi bolhesevic di Rusia. Hahaa.
Orang-orang barat memang seringkali tak konsisten dalam berpikir dan membuat aturan. Makanya saya lebih memilih jadi orang muslim aja.
*
Pontianak, 9.10.2020
Beni Sulastiyo
Penonton aksi Unjukrasa. 🙂