by Mili
Minggu (16/6) itu, seperti biasa saya pergi ke Kampoeng English Poernama untuk menghadiri rapat. Sembari melanjutkan rapat yang sudah dimulai, bukannya marah atau menggerutu, mereka menyambut kedatanganku yang telat ini dengan ceria. Terukir senyuman atau lontaran lelucon yang membuat perasaan ini nyaman. Mereka mengerti bahwa saya juga perlu waktu untuk memenuhi kewajiban sebagai manusia, pergi ke rumah Bapa (Gereja) untuk memuji dan melayani-Nya.
Menjalani rapat dengan perut kosong memang hal yang memecah konsentrasi pikiran. Ketika jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, seseorang mengajak memesan makanan tetapi dipotong oleh yang lain, “kita makan di belakang aja, nanti kan ada Halal Bihalal!” Akhirnya kami mengurungkan niat dan memutuskan untuk menunggu lagi.
“Halal Bihalal,” katanya. Saya hanya bisa mengangguk dan mengikuti saja walau pun sebenarnya tidak mengetahui jelas acara seperti apakah itu. Ini pertama kalinya saya mengikuti kegiatan tersebut. Bahkan seumur hidup, kata itu pertama kali saya dengar ketika memasuki bangku perkuliahan di universitas negeri. Sebelumnya ketika masih duduk di bangku sekolah swasta, kata itu tidak pernah sekalipun terlintas di pikiran saya. Jadi, persepsi awal yang saya ambil adalah bahwa acara ini diadakan oleh mereka yang beragama Islam.
Setelah waktu menunjukkan pukul 16.30 WIB, kami berbondong-bondong pergi ke rumah belakang, tempat diadakannya acara Halal Bihalal. Awalnya saya takut karena merasa ‘berbeda’, tetapi ketika tiba, ternyata yang hadir tidak hanya umat muslim saja tetapi warga satu komplek, mereka yang berbeda suku dan agama juga ikut berkumpul. Mellihat ini saya sadar bahwa acara ini diadakan sebagai ajang silahturahmi.
Momen ini merupakan tradisi umat Islam usai melaksanakan satu bulan penuh keberkatan, yaitu puasa. Momen yang dilakukan mereka dalam nuansa merayakan hari raya Idul Fitri. Uniknya hal ini dilakukan hanya di Indonesia karena penggagasnya sendiri merupakan warga Indonesia.
Penggagas istilah ‘Halal Bihalal’ ini adalah KH Abdul Wahab Hasbullah. Beliau merupakan seorang ulama pendiri Nahdatul Ulama yang berpandangan modern. Da’wahnya dimulai dengan mendirikan media massa atau surat kabar, yaitu harian umum “Soeara Nahdlatul Oelama” atau Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama. Bersama dengan KH Hasyim Asy’ari menghimpun tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tahun 1926. Kiai Wahab juga berperan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pemberian istilah Halal Bihalal datang dengan analisa pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl), yaitu: mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Ditambah analisis kedua (halâl “yujza’u” bi halâl) adalah: pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.
Setelah Indonesia merdeka 1945, pada tahun 1948, Indonesia terancam disintegrasi bangsa. Para elit politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, diantaranya DI/TII, PKI Madiun.
Pada tahun 1948, yaitu di pertengahan bulan Ramadan, Bung Karno memanggil KH Wahab Hasbullah ke Istana Negara, dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian Kiai Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan Silaturahmi, sebab sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri, di mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahmi.
Lalu Bung Karno menjawab, “silaturahmi kan biasa, saya ingin istilah yang lain.”
“Itu gampang”, kata Kiai Wahab. “Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahmi nanti kita pakai istilah Halal Bihalal,” jelas Kiai Wahab.
Berdasarkan saran Kiai Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Hari Raya Idul Fitri saat itu, mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahmi yang diberi judul ‘Halal Bihalal’. Pada akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja. Hal ini dapat dikatakan sebagai awal baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah, instansi-instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan Halal Bihalal. Melihat kebiasaan di Istana Negara ini maka kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas dan menjadi tradisi warga Indonesia, khususnya bagi warga muslim. Jadilah Halal Bihalal sebagai kegaitan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang.
Ketika umat muslim menghabiskan 2-3 hari awal Idul Fitri bersama keluarga, maka setelahnya demi menjaga tali silahturahmi dengan yang lain, diadakanlah Halal Bihalal. Ketika usai libur dan kembali ke realita kerja, pihak kantor akan mengadakacara itu. Begitu pula dengan teman-teman yang kembali dari kampung halaman untuk kuliah cenderung akan mengadakannya sebagai perayaan Idul Fitri bersama. Tidak bersifat ekslusif atau hanya dikhususkan bagi umat Islam tetapi terbuka bagi siapa saja yang merasa ingin menjalin tali silahturahmi.
Ketika melihat acara Halal Bihalal secara langsung, yang diadakan bagi warga sekomplek misalnya, terasa kedekatan orang-orang yang tercipta di dalamnya. Walaupun di kehidupan sehari-hari tidak menyapa satu sama lain karena kesibukan masing-masing, pada kesempatan itu mereka diberi waktu untuk mengobrol. Orang yang pada awalnya memiliki persepsi buruk dengan tetangga yang lain kini dapat mengenal satu sama lain dan meluruskan kesalahpahaman.
Ajang silahturahmi, mengakhiri satu bulan suci penuh berkat dengan saling mengenal dan bermaaf-maaf’an satu dengan yang lain. Layaknya komunikasi yang tersendat dan meninggalkan tanda tanya, Halal Bihalal tampil sebagai proses menemukan jawaban dan jalan meninggalkan kegelisahan atas kesalahpahaman. Sebuah pintu untuk melewati benteng pembatas yang selalu menghalangi terjalinnya suatu hubungan.