in

Betapa Berartinya Gerakan Infak Beras–Sebuah Laporan Perjalanan

gerakan infak3


Oleh: Nur Iskandar

Mengembangkan komunitas berbahasa Inggris tidaklah mudah. Tidak seperti membalikkan telapak tangan. Omong memang murah. Kerja membuktikan omongan itu yang susah.

Saya mendirikan Kampoeng English Poernama sejak 2012. Mandiri. Seorang diri, akhirnya dibantu istri. Lambat laun dengan berbagai ikhtiar–terutama doa ke haribaan Tuhan agar didatangkan orang-orang hebat yang bisa menolong terjadinya perubahan–akhirnya KEP dikenal seperti sekarang ini. Kantor Pusat (holding) di Poernama dengan cabang di TOP Munzalan Residence Punggur, Nurul Wahdah Gg Media depan Ayani Mega Mall, KEP’s Agro Sulthan Annashira dan terkini di Sirajul Islam Jalan Merdeka pusat Kota Pontianak.

Dalam perjalanan membentuk cabang-cabang baru pastilah dimulai dengan survey dan pendataan untuk pemetaan gerakan. Di saat keliling lingkungan itulah saya bersentuhan dengan betapa berartinya Gerakan Infak Beras yang akrab di kuping dengan akronim GIB. Sebuah gerakan emas di belantara Nusantara. Kecil tapi ababil! Tentara bergajah saja remuk dengan kerikil kecil si burung ababil…

gerakan infak2

Pertama saya di kawasan Mesjid Nurul Hasan pusat dakwah berbahasa Inggris di Punggur berjalan ke Gg Aiman, berjarak 400 meter di belakang mesjid Nurul Hasan. Ada Pondok Pesantren Darud Dakwah. Santrinya 30-an. Ada sedikit yang mukimin dan sebagian besar berada di luar. Ponpes ini baru berdiri. Saya ketuk pintu dan uluk salam. Tanya itu ini dan finally sampailah kepada sandang dan pangan.

“Alhamdulillah kalau beras kami tidak kekurangan. Ada bantuan beras dari Munzalan. Beras Munzalan,” kata pimpinan pondok.

“Beras kami dapat dari Pondok Darud Dakwah Pusat di Kota Baru. Dari sana beras dibawa ke sini,” sambung pimpinan pondok. Beras ada, kelas aman dan nyaman. Sayur tinggal petik sekeliling halaman pondok.

Sepekan silam saya bertandang ke Danau Sebedang atas undangan Pimpinan Pondok Pesantren tahfidz Quran dan Hadits Alhikam, Dr Wahyudi. Ponpes sederhana di atas lahan 7 ha menatap danau Sebedang nan indah. Santrinya ada 50 orang anak usia SMP. Saya lihat ada tumpukan beras berkarung-karung.

“Beras dari mana Stadz?”

“Dari Munzalan. Alhamdulillah beras ini sangat meringankan beban kami di Ponpes. Bayangkan 50 santri makan setiap hari,” kata Kyai yang tutur katanya selalu lembut bersahaja ini.

Saat saya bertandang di depan pondok ada tukang yang menagih pekerjaan pembangunan. Rp 1 juta dari 12 juta pekerjaan yang telah dibayar 11 juta. “Tinggal sedikit. Maksudnya setelah selesai semua dilunasi 1 juta lagi, tetapi tukang merasa lebih butuh daripada pondok. Masya Allah….” Kyai geleng-geleng kepala.

Tantangan pengembangan Ponpes seperti dialami KH Wahyudi tidak kecil. Tidak sedikit. Banyak dialami ponpes lain se-Nusantara. Dan di sini betapa GIB punya peran sentral, di mana perut setiap pegiat pondok, baik kyai, terutama para santri aman dan nyaman. Maka pimpinan Ponpes bisa menyelesaikan PR-PR lain seperti urusan pertukangan gedung dan lain-lain persoalan. Di sana Ponpes bisa tumbuh dan berkembang. Masya Allah saya bergetar. Mata berkaca-kaca membaca karung beras GIB–Munzalan Mubarakan–sebuah mesjid kecil di gang sempit Imaduddin-Sungai Raya Dalam sampai ke Punggur. Sampai ke Danau Sebedang-Sambas. Bahkan sampai ke 3000 pondok pesantren seluruh Indonesia. Sampai menyentuh 270.000 santri. Data terkini, Januari 2021.

gerakan infak

Setakat waktu terakhir saya kerap berinteraksi sama Pimpinan Ponpes Munzalan Mubarakan Ashabul Yamin, alumni Ponpes Gontor, KH Lukmanul Hakim. Seorang kyai muda, cakep, atletis, dan gaul karena mengurusi Badan Wakaf Indonesia, Bidang Wakaf Produktif. Saya mau tak mau kerap kali ke Munzalan membawa para nazir demi belajar wakaf produktif sampai 18/1/21 deklarasi berdirinya Bang Kambing demi menjelaskan wakaf produktif yang beranak pinak, lama-lama menjadi banyak. Bang Kambing ini vise versa dari bunga bank yang berujung riba. Adapun Bang Kambing berujung jual beli yang halal dan diberkahi Allah SWT.

Saya membawa rombongan nazir wakaf produktif dan dijamu makan bersama KH Lukmanul Hakim dan unsur pimpinan pondok. Naik ke Munzalan Tower, sebuah gebrakan wakaf fantastis se-Nusantara. Juga naik Alphard serta Velfire wakaf karena kepercayaan umat Islam Nusantara berada di pundak Munzalan. Munzalan bukan NU-bukan Muhammadiyah–bukan Persis atau cabang-cabang lainnya. Munzalan sebuah oase umat Islam sedunia yang berkah berlimpah dengan berjamaah. UAS kerap kali datang bertandang ke Munzalan karena gebrakannya fundamental. Mesjid-Subuh-Quran (MSQ). Nyata. Riil. No konflik kepentingan kursi dan kue APBN. Semua berbasis Ziswaf. Zakat, infak, sadakah, wakaf. Kyai Lukman menguraikan ayat-ayat Allah dari Quran dan Sunnah.

Saat bersama ke KUA Kecamatan Kakap dalam rangka Akta Ikrar Wakaf, pria kelahiran tahun 1984 ini menarik tabletnya. Membuka tuas laksana pena, lalu menggoreskan konsepsi keumatan dan kesejagatan yang dijamin aman dan amin oleh Allah SWT.

“Saat ini orang pop dan terkenal diukur dari seberapa banyak followernya. Seberapa banyak subscribernya. Salah!” Demikian Yayi. Yang benar adalah setiap orang yang paling banyak membawa manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Titik. Tidak jaminan folower banyak dan subscriber banyak, tapi bermanfaat bagi masyarakat. Mesti manfaat ukurannya. Begitu Yayi kasih koreksi ke saya sebagai insan pers yang pada umumnya kejar rating. Kejar folower dan subscriber. Ngeri saya ketika diuraikan kembali soal ujub, sombong dan takabur. Di mana Iblis pun terusir dari surga karena sombong. Laa haula wala quwwata illa billah….

Saya berguru. Mencoba mengingat semua ilmu. Selalu terharu mendengarkannya. Sosok pria muda dan cekatan dalam membangun jaringan tanpa mengelu-elukan nama Munzalan. Termasuk GIB. Agar tidak lupa, saya harus buat catatan perjalanan ini. Catatan adalah obat pengikat lupa. Obat mujarab suatu saat kelak dibaca kembali jadi jembatan pengingat. Di sini juga saya ambil hikmat deklarasi Gerakan Indonesia Membaca bersama Yayi, 1/1/21–hari Jumat waktu itu di Munzalan Tower bersama pegiat literasi Rizal Hamka.

GIB, ketika sukses di Kalbar dan mulai masuk ke provinsi lain, KH Lukmanul Hakim segera ambil tindakan tegas. Bahwa GIB adalah untuk masyarakat lokal masing-masing. Per kota, per provinsi. Tidak silang sana sini. Rapih. Dengan demikian semakin menaruh simpati umat Islam Indonesia, bahkan dunia. Kini GIB masuk ke berbagai negara. Ada di China, Korea, Australia, bahkan GIB menjadi GIG: Gerakan Infak Gandum untuk makanan pokok Palestina.

Di Jogjakarta GIB punya kisah lain yang seru. Rupanya di kawasan Gunung Kidul antara satu Ponpes dengan Ponpes lainnya rebutan donatur. Hal ini demi kebutuhan sandang dan pangan pondok. Ternyata GIB menjadi alat pemersatunya. Subhanallah. Walhamdulillah.

Bagaimana kisahnya? Begini: Gerakan Infak Beras yang masuk Jateng digerakkan oleh Pasukan Amal Sholeh disingkat Paskas. Paskas membentuk grup-grup WhatsApp. Kerap kali kumpul diskusi di antara distribusi beras ke ponpes-ponpes negeri Nyi Roro Kidul. Mau tidak mau para pegiat Ponpes jadi kerap ketemuan dan uluk salam. Saling senyum dan sapa. Lalu akrab tanpa sekat. Kenapa? Seluruh kebutuhan pondok pesantren se-Jateng, termasuk Jogja, aman-amin. Aman dan nyaman. Betapa tidak? Ikrar GIB itu beras pulen. Beras premium. Terbaik! Dan semua itu dinikmati santri menyeluruh tanpa pretensi.

Saya tersentak. Sebuah gerakan dari mesjid kecil Gang kecil di Sungai Raya Dalam bisa berdampak sebegini ini menolong masalah-masalah kebangsaan kita di Nusantara. Tanpa ada kelahi dan caci maki tapi terbukti efektif. Bukan memecah belah, malah menyatukan! Mengeratkan. Membangun. Menyejahterakan. Subhanallah. Bergidik bulu kudug melihat dengan mata kepala sendiri, para yatim-piatu penghapal Quran dapat makan yang berkualitas. Lalu dalam hati terbetik menuliskan ini semua sebagai bentuk dukungan. Hanya ini yang bisa saya lakukan.

Bagaimana GIB bisa menyentuh 3000 ponpes seluruh Indonesia? Bagaimana GIB bisa menjamin makan rutin setiap hari 270.000 santri? Ini bukan pekerjaan kecil! Ini besar sekali. Dahsyat? Bisakah melalui APBD-APBN? Belum pernah dilakukan setahu pengetahuan saya kecuali Raskin yang mudah sekali direcokin. Banyak liputan saya soal Raskin ditilep dan ditulip dengan kedap-kedip untuk kocek oknum di lapangan.

gerakan infak1

GIB bisa tumbuh subur karena berpusat di mesjid. Digeber setiap subuh. Arasy aturannya Quran dan Sunnah. “Penyantun yatim seperti dua jari ini di syurga.” Begitu kira-kira janji Rasulullah SAW. Hadits ini yang disampaikan. Ayat QS Alma-uun yang dipaparkan di mana-mana. “Ta’amu miskin…” Kasih makan fakir miskin… Rasulullah adalah Abul Yatama Walmasakin. Bapak dari yatim dan orang-orang miskin. Di sini GIB bisa menggerakkan hati ibu-ibu, emak-emak yang saban hari berurusan dengan dapur. Dari uang belanja harian, ibu-ibu yang ingin keluarganya sakinah memotong irit duit belanja agar bisa ikut GIB. Kok bisa? Iya, mudah memang. Hanya setor Rp 25.000 per bulan sudah bisa ikut didoakan ribuan santri setiap hari. Bukan hanya ribuan tapi ratusan ribu santri setiap hari. Padahal GIB hanya minta Rp 25.000/bulan.
Sedikit memang Rp 25.000 itu dibanding quota internet rerata isi 100.000 per paket per bulan. Tetapi dengan 300.000 peserta GIB setiap bulan setor Rp 25.000, miliaran pula uangnya. Dari sinililah GIB bertahan. Bergotong-royong. Persis kata pepatah, berat sama dipikikul ringan sama dijinjing. Dan ini bukan pidato. Bukan janji politik. Ini riiil dakwah. Riil aplikasi Quran dan Sunnah. Tak lebih.


Foto karung berisi beras kualitas premium dijepret dari ruang Kepala Sekolah, Pimpinan Ponpes Alhikam, Sebedang, Sambas, Kalbar, sepekan silam. Foto lainnya saya kebetulan bersua KH Lukmanul Hakim dan pimpinan pondok Munzalan Mubarakan di kawasan Mesjid Kapal Serdam–sebuah Gang sempit Imaduddin di Jalan Sungai Raya Dalam, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar, dan saat bersama KH Lukmanul Hakim membuat Akta Ikrar Wakaf di KUA Kecamatan Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Selasa, 19/1/21. Semoga teks dan konteks di atas membawa manfaat bagi masyarakat.

Written by Nur Iskandar

Hobi menulis tumbuh amat subur ketika masuk Universitas Tanjungpura. Sejak 1992-1999 terlibat aktif di pers kampus. Di masa ini pula sempat mengenyam amanah sebagai Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Islam (Lapmi) HMI Cabang Pontianak, Wapimred Tabloid Mahasiswa Mimbar Untan dan Presidium Wilayah Kalimantan PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia). Karir di bidang jurnalistik dimulai di Radio Volare (1997-2001), Harian Equator (1999-2006), Harian Borneo Tribune dan hingga sekarang di teraju.id.

IMG 20210119 WA0034

Wakaf Produktif dengan Rumah Sakit Muhammadiyah Pontianak

Khairul Fuad

Pontianak: Januari dan Breaking News