Oleh: Nur Iskandar
Kabar duka saya terima dari Syafaruddin Usman sesama mantan aktivis pers kampus, wartawan Jawa Pos Media Group dan terakhir bersama mengajar di Prodi Komunikasi Fisip Universitas Tanjungpura. Bahwa Om Max telah mengehmbuskan napas terakhirnya di Jakarta, Senin, 21/1/19 pukul 11.25. Syafaruddin menulis sebuah artikel obituari ke media yang saya geluti kini, teraju.id.
Saya baru landing di Pontianak pada hari yang sama. Sebelumnya saya tahu Om Max dirawat di rumah sakit sepulangnya dari Canada. Beliau mengeluhkan jantungnya. Sudah pasang ring. Bolak-balik ke RS Jantung Harapan Kita.
Saya berencana membesuk sepulang wawancara Prof Didin S Damanhuri di Bogor, namun beliau dinyatakan sehat dan sudah bisa pulang ke rumah. Belum sempat menemuinya di Jeruk Purut, kabar duka lebih dahulu datang meraut duka. Bibir dan jiwa bergetar seraya berujar innalillahi wainna ilaihi rojiun. Segala sesuatu datang dari Allah dan akan kembali kepada Allah.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kita doakan agar almarhum khusnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan sabar, tabah serta ikhlas.
Om Max adalah orang yang istimewa. Beliau bukan hanya sekedar sekretaris pribadi Sultan Hamid II–Menteri Negara Zonder Porto Folio–Perancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila, namun tipikal tokoh yang telaten memberikan perhatian sekaligus bimbingan.
Saya jumpa pertama kali saat bekerja di Volare 103 FM tahun 1997. Ketika itu Om Max intensif memasok iklan. Hubungannya dengan Bos Volare, H Amiruddin Manaf, sangat lekat. Saat muda itu, Om Max kategori tokoh Kalbar yang sukses di Jakarta nan ditakuti banyak anak muda. Termasuk para penyiar.
Kenapa mereka pada takut dengan Om Max? Karena kritik-kritiknya pedas. Jika tak terbiasa menerima kritik, kuping dipastikan merah. Nah, daripada kena semprot soal vokal yang tak beres, perihal wawasan yang sempit dalam bersiaran di udara, lebih baik menghindar.
Saya beruntung pada dua hal. Pertama bahwa saya bukan penyiar. Dengan demikian saya hanya pendengar. Ya mendengarkan “ceramah” Om Max kepada kekawan seraya melakukan penilaian. Bahwa sesungguhnya apa yang diceramahkan Om Max adalah benar adanya. Hal itu apabila kita mau maju dan profesional. “Budak Pontianak tu tak bise dibilang baek-baek tadak akan berobah. Kalo dikritik pedas macam ditampar, baru bisa berubah,” katanya seraya menjelaskan gaya tersebut ditirunya dari Sultan Hamid.
“Tagline Volare, Power of Communication itu usulan saya,” kata Om Max. Dia kerap kali berceramah soal maksud, tujuan dan sasaran dari tagline itu. Irisan ceramahnya itu tertuju pula ke saya karena saya reporter radio berita pertama (swasta) di Kalbar itu. Saya membayangkan betapa radio memang merupakan power terhadap komunikasi. Cepat. Tidak seperti koran yang menunggu terbit keesokan harinya.
Kedua, saya adalah reporter. Sebagai reporter, Om Max pernah menugasi saya mewawancarai Danrem 121 Alambana Wanawai. Saya laksanakan dengan baik, kendati dengan tape recorder merk Sony berisi delapan batere ABC, sehingga dapat dibayangkan besarnya tape recorder tersebut. Teman-teman berseloroh, “Tape recorder ente nih Nuris, kalau dilemparkan ke anjing, mati anjing tuh.”
Keberhasilan menembus sumber diapresiasi oleh Om Max. Sejak saat itu beliau punya perhatian khusus buat saya. Apalagi penugasan khusus darinya tak pernah luput. Banyak buku kemudian dia kirim ke alamat rumah. Tape recorder Sony sebesar bantal bayi pun berubah seperti layaknya tape-recorder wartawan umumnya. Rupanya, turun meliput dengan tape recorder besar semata adalah ujian di lapangan.
***
Sebelum mengenal Om Max di Volare, saya sudah mengenalnya di saat awal kuliah 1992. Hal ini tak terlepas dari pertemanan bersama Syafaruddin Usman ketika mengelola tabloid mahasiswa Mimbar Untan. Syaf yang kini Ketua DHD ’45 gandrung dengan sejarah. Nama Max Jusuf Alkadrie kerap kali disebut-sebutnya.
Hal itu tidak mengherankan, karena Syaf menjadi wartawan Akcaya-Pontianak Post, sementara Om Max adalah Kepala Biro Iklan Akcaya-Pontianak Post di Jakarta. Saya kerap kali membaca nama Max Jusuf Alkadrie dalam box redaksi koran terbesar di Kalbar, anak Jawa Pos tersebut.
Interaksi bersama Om Max menguat ketika kami di Mimbar Untan membuat laporan utama tentang Siapa Perancang Lambang Negara.
Om Max mengirim buku tentang proses peradilan Sultan Hamid II. Kemudian setiap kali ada buku terkait Sultan Hamid, dia menggandakan, dan membagikan salinannya. “Ya Allah, janganlah saya mati sebelum biografi lengkap tentang Sultan Hamid II dibukukan,” ungkapnya dalam diskusi terfokus di kantor Pusdiklat TOP Indonesia menjelang 2013. Pada 2013 genap 100 tahun umur Sultan Hamid.
Ternyata benar. Alhamdulillah. Pada 2013, buku biografi Sultan Hamid II berjudul autobiografi politik dapat diterbitkan. Ditulis oleh Anshari Dimyati, Turiman Faturrahman Nur dan saya. Om Max turut memberikan sambutan bersama Oesman Sapta Odang (OSO).
Anshari Dimyati adalah Ketua Yayasan Hamid. Dia menulis tesis hukum di Universitas Indonesia tentang putusan terhadap Sultan hamid II. Menurut Aan, sapaan dosen hukum Universitas Muhammadiyah Pontianak ini, ternyata tidak satupun dalil putusan menyatakan Sultan Hamid melakukan makar. “Dia dipenjara bukan karena makar, tapi karena niat yang sesungguhnya tidak dikerjakannya. Niat jika tidak dikerjakan mestinya tidak bisa dipidanakan. Mestinya bebas murni,” kata Aan sambil menekankan Hamid adalah “korban politik” saat itu.
Turiman Faturrahman Nur juga menulis tesis di Universitas Indonesia soal Hamid II. Dia khusus mengupas sejarah hukum perancang lambang negara. Ilham menulis tesis ini diambil dari liputan khusus kami di Mimbar Untan yang terbit pada tahun 1994. Nah, buku biografi politik Hamid dihimpun dari dua tesis di atas plus liputan jurnalistik yang kami lakukan.
Launching buku Hamid sebanyak 1000 eksemplar ludes di Pontianak Convention Centre. Peluncuran buku ini tergolong terbesar dalam sejarah perbukuan Kalbar. Selain di tempat yang megah, juga melibatkan 1000-an undangan. Hadir saat itu OSO, Walikota Sutarmidji dan Gubernur Kalbar Cornelis (diwakili staf ahli).
Om Max tampak puas. Beberapa buku dia kirim ke koleganya di dalam dan di luar negeri. Salah satunya di Tempo. Koran Tempo membuat ulasan berupa timbangan buku tentang Hamid setelah autobiografi diluncurkan.
Aan dan Turiman berseloroh, “Alhamdulillah amanah Om Max sudah kita tunaikan.”
***
Saya, Aan dan Turiman punya catatan khusus saat menulis Hamid II. Tidak hanya menulis dan meluncurkan buku, tetapi juga menyiapkan Pameran Rancangan Lambang Negara di Gedung Arsipda sepanjang Agustus hingga Oktober 2013.
Tidak hanya puas bahwa lambang negara elang rajawali dari Kerajaan Sintang bisa dipamerkan di Pontianak, tetapi juga papan pameran Museum Konferensi Asia Afrika yang sudah dihibahkan kepada Museum Sintang bisa diboyong ke Gedung Arsipda. Sekda Kalbar Drs HM Zeet Hamdy Assovie, MTM yang kala itu membuka pameran berucap, “Sebegitu hebatnya Sultan Hamid II dalam membingkai Indonesia lewat karyanya,” ujar Zeet seusai menonton film dokumenter Hamid Perancang Lambang Negara produksi Museum Konferensi Asia Afrika. Om Max memberikan sambutan di acara pembukaan pameran. Dia menguraikan betapa cerdasnya pikiran Hamid, bahwa Kalbar dibangunnya dengan dasar pluralitas, begitu juga dengan Republik Indonesia. Itulah ikatan antara sila ketiga Persatuan Indonesia dengan seloka Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram Garuda. Hamid adalah diplomat ulung. Menguasai 7 bahasa internasional.
Di malam hari seusai persiapan ruang pameran, saya bermimpi. Seorang pria berjubah dan bersorban putih berada di halaman Mesjidil Haram daerah Bukit Marwah. Persis daerah yang dahulu ada tugu jam dan tempat di mana jamaah bersedekah kepada burung merpati.
Saya berada di hadapan pria bermuka tirus tersebut. Pria yang saya mimpikan itu mirip seseorang yang fotonya dipajang di Gedung Arsipda. Sosok Sultan Hamid Alkadrie I.
Pria bertubuh kurus tinggi tersebut memegang tanaman di genggamannya. Tanaman seperti bayam itu di sebelah kanan berwarna hijau, sedangkan di sebelah kiri berwarna merah. “Tanpa berkata-kata, Beliau memberikannya kepada saya.” Begitu cerita saya kepada Om Max.
Berlandaskan mimpi yang hanya saya ceritakan kepada Om Max dan istri itu, Om Max kemudian berkata, “Kalau suatu saat ke Jakarta, sama-sama kita ke makam ulama Muara Angke.”
Di saat saya menuliskan Sejarah Gegana Republik Indonesia, saya berkesempatan lama berada di Jakarta. Di suatu waktu yang kami sepakati bersama, pergilah menuju Muara Angke. Di sepanjang jalan Om Max bercerita bahwa ulama “keramat” yang setiap waktu ramai diziarahi adalah sosok luar biasa. “Beliau putra Sultan Syarief Abdurrachman Alkadrie. Sosok yang dalam mimpi bertemu ente.” Om Max yang mengenakan kopiah haji dengan syal putih di pundaknya senyum khas. Matanya nyaris tertutup.
Di makam Muara Angke saya melihat betapa keturunan Sultan Pontianak “diwongke” oleh penduduk Betawi sejak 1751. Betapa sejarah Indonesia turut diukir putra-putri Bumi Khatulistiwa. Saya mematrikan diri kebanggaan atas nusa dan bangsa. Serta tentu saja keulamaan Kesultanan Kadriah Pontianak.
Om Max “bela-belain” membawa ke makam Muara Angke untuk menyambungkan ilmu jurnalistik dan kepenulisan. Liputan semesta.
***
Sejak peluncuran buku biografi politik Sultan Hamid II di tahun 2013, sejak saat itu pula menguat upaya yang lebih dari sekedar buku. Yakni mengupayakan nama Hamid bisa diakui negara sebagai pahlawan nasional.
“SBY pernah menjanjikan saat kampanye di keraton kadriah. Tapi sampai akhir dua periode tak ada kabar beritanya.” Om Max tampak agak kecewa.
Om Max berupaya meneruskan upaya itu di saat Jokowi naik ke posisi RI-1. Tepatnya manakala Jokowi mendatangi Mesjid Jami terkait Festival Kapuas, 2014. “Hanya bisa diucapkan saat bersalaman,” kata Om Max.
Namun ucapan lisan kepada Jokowi disambut undangan Mensos Khofifah Indar Parawansah di Kemensos. Saya, Aan, Turiman turut serta mendampingi Om Max dan istri. Dari pertemuan itu Mensos minta seluruh syarat penetapan pahlawan nasional disiapkan. Namun setelah semua klir, gelar pahlawan nasional hingga kini tak kunjung jadi bukti. Padahal seluruhya telah kelar. “Sabar saja. Insya Allah suatu waktu nanti,” komentar Om Max.
***
Setelah terpilih sebagai Sekretaris Fraksi Nasdem di DPR RI, wakil rakyat asal Kota Pontianak Syarif Abdullah Alkadrie, SH, MH merencanakan seminar lambang negara di fraksinya. Momentum seminar di bawah atap kura-kura warna hijau itu menyebabkan kami penulis buku Sultan Hamid II berkumpul di kediaman Om Max, Jalan Jeruk Purut.
Pada kesempatan inilah saya menginap di rumah tokoh Kalbar ini. Dimulai dengan makan malam bersama. “Ayo makan, ini kurma, dan ini buah kuini yang dijadikan sambal tempoyak,” ungkapya. Saat itu Om Max berpuasa sunnah Senin-Kamis.
Sebagaimana laiknya kumpul keluarga, di saat makan, kami berbagi cerita. Mata saya sesekali melihat ke luar. Gedung ESQ Ary Ginandjar terlihat dari kaca jendela rumah. “Dulu harga tanah di Jeruk Purut ini murah. Sekarang miliaran,” imbuhnya. Investasi ke ibukota semakin terasa manfaatnya di masa tua. Di halaman rumah Om Max parkir Alphard warna putih.
Suasana paling haru bagi diri saya pribadi bukanlah saat seminar berlangsung di ruang Fraksi Nasdem dengan narasumber Prof Dr Andi Hamzah (pakar hukum pidana Universitas Indonesia), tetapi menjelang sarapan pagi, Om Max meminta kepada Tante Yeti–istrinya–untuk mengeluarkan sebuah dokumen penting. Dokumen itu diambil dari dalam lemari kaca. Dokumen itu dalam sebuah figura. Apalagi kalau bukan karya tangan Sultan Hamid II.
“Inilah rancangan lambang negara yang asli karya Sultan Hamid yang ente temukan dalam bentuk fotokopian di kediaman Ustadz Asfiah Mahyus,” kata Om Max. Saya tertegun. Bahwa sejak 1994, dalam kurun 20 tahun, baru saya benar-benar melihat karya aslinya itu.
Selain menunjukkan karya Hamid, Om Max juga menunjukkan perpustakaan pribadinya. Penuh dengan buku. Tipikal pembaca dan pembelajar.
***
Om Max rajin menjalin silaturahmi. Jika ke Pontianak, tidak lupa dia mampir ke kediaman sohibnya Massuka Janting hingga Soedarto. Keduanya “pergi” mendahului Om Max.
Om Max juga rajin mengunjungi sahabatnya yang lain, HA Halim Ramli dan Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie. Bahkan ketika pendamping hidup Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie wafat, dimakamkan di pemakaman muslim Tanjung Raya, Om Max turut hadir. Turut mengantar jenazah dari Jakarta.
Saya, Aan dan Turiman kerap kali menemani Om Max ketika berziarah. Beliau mengajak ke pemakaman sultan di Batulayang, maupun makam Habib Husein di Mempawah.
Banyak sikap hidup Om Max yang patut diteladani. Bagi saya, Om Max adalah instruktur dan tentir yang baik. Beliau adalah pejuang yang berhasil menjaga wasiat dan amanah Sultan Hamid II.
Walaupun keras dan pedas seperti gaya Sultan Hamid II, namun berkesan secara mendalam. Selamat jalan Om Max. *