By: Anshari Dimyati
Pada Senin 25 November 2019 kami (Yayasan Sultan Hamid II) menerima surat undangan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Sosial Provinsi Kalimantan Barat, Ibu Yuline Marhaeni. Surat ini perihal sosialisasi, koordinasi, dan konsultasi yang dilakukan oleh Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos RI) di Pontianak, atas pengusulan calon-calon Pahlawan Nasional untuk tahun 2020.
Agenda diskusi tersebut dilakukan pada Rabu kemarin 27 November 2019, dengan mengundang narasumber Prof. Dr. Anhar Gonggong, seorang Sejarawan RI yang dikenal publik dengan kompetensi di bidang sejarah. Dia juga salah seorang yang memiliki kewenangan untuk memilah memilih tokoh-tokoh yang berjasa di negeri ini, layak atau tidak untuk dipertimbangkan sebagai pahlawan nasional. Sebagai orang yang dituakan, suaranya jelas didengar para pengambil keputusan pemberian gelar atau kepahlawanan. Anhar seorang yang duduk di salah satu kursi TP2GP (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar tingkat Pusat) di Jakarta, yang terdiri atas tiga belas orang. Biasanya mereka disebut dengan sebutan “Tim Tiga Belas”.
Jujur, kami cukup terkejut dengan kehadiran Pak Anhar di Pontianak untuk mengulas soal usulan pahlawan nasional ini. Semua orang tau, bahwa kami bertahun-tahun belakangan, sibuk menggedor pintu pemerintah pusat terkait pengusulan ini. Sejak tahun 2016, 2017, hingga 2019 tiada hasil yang jelas. Apalagi, yang kami dengar kabar angin bahwa salah seorang yang terang menolak pengusulan Sultan Hamid II dari Pontianak – Kalimantan Barat sebagai pahlawan nasional adalah dia, Anhar Gonggong.
Pada pagi Rabu pukul delapan, Anhar tampak hadir di dampingi beberapa orang dari Kemensos RI. Dengan konsep pembicara tunggal, kemudian Kadinsos Kalbar membuka acara sebagai moderator. Anhar berseloroh, “Sekuat apapun anda, kalau tak memenuhi Undang-undang, tak mungkin lolos”. Anhar Gonggong menjelaskan secara umum apa saja syarat-syarat umum dan khusus pengusulan calon pahlawan nasional. Sisa waktu 35 menit, kami manfaatkan untuk tanya jawab. Tak ada yang berminat bertanya, saya tunjuk tangan.
Saya mulai dengan menjelaskan tentang apa yang kami perjuangkan, sejak kapan, dan alasan mengapa kami bersikeras mengajukan hal tersebut. Perjuangan ini bagian dari proses advokasi masyarakat Kalimantan Barat. Kami beralasan untuk mengajukan itu. Secara administratif, pengusulan Sultan Hamid II, sang perancang lambang negara, jauh dari cukup. Anhar menggarisbawahi jangan sampai ada cacat, jangan sampai ada cela.
Menurut saya itu tak mungkin. Tak ada manusia sempurna. Kalau dikorek semua pasti ada salah. Ini soal sudut pandang. Kami punya argumentasi. Tapi sayang, Anhar berkeras hati tak menerima argumentasi kami. Kami punya dua pandangan dengan bentangan kutub yang berbeda. Anhar berdiri pada perspektif lama, dia tetap katakan Sultan Hamid II adalah antek belanda, Sultan Hamid II adalah gembong pemberontakan bersama Westerling tahun 1950.
Saya cukup berang. Tapi saya tetap berusaha santun kepadanya sebagai seorang yang sudah tua, lantas apakah saya tak boleh mengemukakan pendapat dan berargumentasi? Saya bicara apa adanya. Dia katakan kami tak berdasar fakta, melainkan hanya interpretasi, asumsi. Saya tegas membantah, soal Westerling itu subyektif dan peradilan politik. Putusan Mahkamah Agung tahun 1953 jelas tidak membuktikan keterlibatan Sultan Hamid II dalam pemberontakan Westerling di Bandung. Sampai hari ini saya satu-satunya orang yang meneliti kasus tersebut secara ilmiah. Saya hendak menguraikan itu, dia tak mau. Dia memilih larut dan lebur dalam sudut pandangnya sendiri.
Celakanya, Anhar mengaitkan pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, kemudian menghubungkan itu dengan pahlawan kami dari Kalimantan Barat. Apakah itu ada kaitannya dengan Sultan Hamid II? Terang tak berhubungan. Bahkan untuk kasus yang disidangkan terhadap Sultan Hamid II itu sendiri, Westerling pelaku utama tak dihadirkan, dia disebut kabur ke Belanda. Bagaimana bisa anda menuduh seseorang melakukan kejahatan yang tak dilakukannya, bila dikaitkan dengan perbuatan orang lain, dan tak dihadirkan untuk didengar keterangannya? Ini tidak fair, ini tidak jujur.
Anhar memahami kemerdekaan negara ini secara kaku, an sich. Dia menganggap bahwa tak ada perjuangan diplomasi selain perang gerilya. Sedangkan faktanya bahwa Indonesia berdaulat penuh pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949, dengan jasa Sultan Hamid II yang bertandatangan di dalamnya. Dia ingin melepas sejarah Republik Indonesia Serikat (RIS) dalam mata rantai perjuangan berdaulatnya bangsa ini. Bukankah RIS juga Indonesia? dalam bentuk federal, dia pernah ada dengan Presidennya bernama Soekarno dan Perdana Menteri bernama Moh. Hatta. Sultan Hamid II hanya sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio kala itu, walau jasanya begitu besar. Itu bagian yang tak terbantahkan dalam perjalanan negara kita yang hari ini bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Anhar mengutip buku Smit tentang pendapatnya kepada Sultan Hamid II dan Westerling, saya juga mengutip RZ. Leirissa “Perjuangan Diplomasi dalam Kemerdekaan Indonesia”. Anhar katakan Sultan Hamid II dalang pemberontakan Westerling, saya katakan berpijak pada putusan Mahkamah Agung. Dia bilang Sultan Hamid II adalah Mayor Jenderal KNIL (Tentara Hindia Belanda), saya tegas menyebut Nasution, Suharto, dan banyak pribumi lainnya yang pernah ada di dalamnya. Dia katakan Sultan Hamid II tidak nasionalis, saya mempertegas bahwa apa yang dilakukannya dalam merancang lambang negara Garuda Pancasila adalah bukti kecintaannya kepada bangsa dan negara ini.
Anhar begitu memuji Sultan Hamengkubuwono IX yang menyerahkan wilayahnya pada awal kemerdekaan, maka dari itu kemudian diberikan keistimewaan. Bukankah keistimewaan itu telah dulu ada di Kalimantan Barat, tahun 1947? Dia bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat/DIKB (Pasal 2 Konstitusi RIS). Yang bubar dengan sendirinya setelah Sultan Hamid II ditangkap dan dipenjarakan tahun 1950.
Unsur subjektivitas dan berat sebelah berada tegas pada diri Anhar, dia mengaitkan terbunuhnya keluarga-keluarganya terkait tuduhan pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan, yang jelas tak ada kaitannya dengan Sultan Hamid II. Saya begitu kecewa kepadanya sebagai seorang yang sepatutnya dihormati dan terbuka menilai kebenaran. Adil dalam memutuskan.
Tanya jawab pada diskusi tempo hari, Anhar menerangkan tegasnya pemberlakuan Undang-undang Kepahlawanan (Pro Justicia). Saya menyela, bahwa ada konsepsi yang lebih relatif adil bernama Restorative Justice. Pemerintah dapat memberlakukan diskresi. Maka kalau peran kepahlawanannya lebih besar daripada kesalahannya yang kecil, dia patut diakui sebagai seorang pahlawan. Mentor dan ilmuwan senior seperti Anhar sudah sepatutnya bijak dan memberikan keteladanan pada generasi muda dengan tak menyimpan dendam.
Dia lupa bahwa perilaku generasinya sudah melampaui masa, melewati zaman. Hari ini dan masa depan milik pemuda, milik milenial. Mereka melakukan penilaian terhadap sejarah Sultan Hamid II yang menjadi korban ketidakadilan negara dalam mengambil keputusan. Barangkali sebagian dari mereka bungkam hari ini. Tapi ingat! Ke depan merekalah yang menjalankan negara, dan mencatat sejarah buruk perlakuan sebagian orang terhadap perancang simbol atau lambang negara ini.
Hangat suara perdebatan berhenti pukul sepuluh. Kami semua diundang oleh Gubernur Kalimantan Barat, H. Sutarmidji, SH, M.Hum., yang kerap disapa oleh masyarakat dengan sebutan Bang Midji. Pertemuan beralih dari Aula Dinsos Kalbar ke Ruang Kerja Gubernur Kalbar. Bang Midji khusus mengundang Anhar pula untuk mendengarkan pendapatnya terkait pengusulan calon pahlawan nasional asal Kalimantan Barat.
Ada kalimat yang membuat saya bangga akan keberadaan Gubernur kita dalam konstelasi dan rekonsiliasi ini. Bang Midji katakan “Beliau perancang lambang negara, sumbangsihnya begitu besar, banyak pula peran lainnya. Dikira bila ada kesalahan yang begitu kecil tak mungkin mampu menutup besar jasa beliau (Sultan Hamid II) kepada negara ini. Maka sudah semestinya pertimbangan yang besar pula oleh negara memberikan penghargaan kepadanya”.
Saya baru pertama mendengar beliau membela pahlawan kita secara langsung seperti itu. Maka dari itu saya bangga sebagai warga Kalbar, punya seorang Gubernur seperti Bang Midji. Dia berperan sebagaimana mestinya, dia membela hak Kalimantan Barat untuk dipandang tegak oleh daerah lain, oleh nasional, pun dunia internasional.
Pada akhirnya Anhar juga mengangguk-angguk sepakat bahwa semua itu bersifat subyektif. Namun, tetap berdiri tegak dengan perspektifnya sendiri. Saya hanya berharap beliau lebih jernih berpikir dan bertindak untuk kemaslahatan bersama dan persatuan Indonesia. Kami tetap berpijak pada pendirian dan perjuangan yang telah lama kami lakukan. Tetap tak bosan, tetap tak berhenti melakukan sosialisasi. Tak henti membentangkan dan memperjuangkan keadilan. Karena nyaring bunyi gonggongan, tak mungkin lebih besar dari suara kebenaran.
Terima kasih kepada dukungan semua kawan, Terima kasih kepada Gubernur kami atas pembelaan yang disampaikan.
Salam hormat.
Ketua Yayasan Sultan Hamid II