Oleh: Turiman Fachturahman Nur
(Peneliti Sejarah Hukum Lambang Negara Republik Indonesia)
Baca selengkapnya dokumen yang dilampirkan berupa Pokok-Pokok Penjelenggaraan-Pemerintahan jang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat menurut Pasal 51 Konstitusi. 1. Pengaturan kewarganegaraan dan kependudukan Republik Indonesia Serikat; 2. Imigrasi dan emigrasi, dengan pengertian, bahwa undang-undang federal akan memuat, bahwa tentang banjaknja imigrasi jang diizinkan terhadap suatu daerah-bagian harus ada persesuaian dengan daerah bersangkutan;
3. Pengaturan umum urusan kolonisasi dan transmigrasi, ketjuali djika kolonisasi dan transmigrasi itu terjadi di dalam daerah suatu daerah-bagian dan dengan pengertian, bahwa dalam hal transmigrasi dari suatu daerah-bagian ke daerah-bagian lain, tentu harus ada persesuaian antara daerah-bagian bersangkutan tentang banjaknja transmigrasi jang akan dilakukan; 4. Hak memberi ampun (grasi), amnesti dan abolisi; 5. Pengaturan hak pengarang, milik industri, dan hak pembiak (kwekersrecht); 6. Pengaturan asas-asas-pokok hukum sipil antarnegara dan hukum antargolongan;
7. Pengaturan hukum sipil dan hukum dagang, sekadar hal itu masuk bilangan untuk diatur dari pusat, baik karena kepentingan sosial umum atau karena alasan-lasan ekonomi, maupun karena artinja jang chusus untuk bagian-bagian penduduk jang penting jang sebagai demikian tidak masuk kewargaan sesuatu daerah-bagian; 8. Pengaturan asas-asas-pokok hukum-pidana; 9. Pengaturan asas-asas-pokok hukum atjara perdata–termasuk dalamnja hukum bukti–dan hukum atjara pidana;
10. Pengaturan susunan kehakiman federal; 11. Tugas dan kekuasaan pendaftaran tanah; 12. Pengembalian perhubungan-hukum ekonomi; 13. Ganti-rugi kerugian peran. 14. Mengatur dan mendjalankan tugas polisi bersangkutan dengan pokok-pokok penjelenggaraan pemerintahan federal; Pendidikan pegawai atasan polisi; Mengadakan persediaan2 untuk memadjukan ketjakapan teknik dan daja-guna kepolisian Republik Indonesia Serikat; Mengadakan tindakan2 untuk memadjukan kerdjasama jang tepat, di mana perlu, dalam pekerdjaan pelbagai alat-perlengkapan polisi;
15. Hal mata-uang, hal uang dan hal bank, dan djuga pengaturan devisen; 16. Pengaturan padjak perseroan; 17. Pengaturan padjak kekajaan; 18. Pengaturan padjak pendapatan untuk hal-hal istimewa jang ditentukan undang-undang federal; 19. Pengaturan impor dari dan ekspor keluar negeri, termasuk bea-masuk dan bea-keluar dan djuga penentuan daerah-bea; 20. Pengaturan bea meterai; 21. Pengaturan tjukai, sekadar penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja; 22. Monopoli-monopoli pemerintah;
23. Hubungan-hubungan luar negeri, hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban terhadap pemerintah-pemerintah luar-negeri, dan djuga pada umumnja segala pokok jang mempunjai hubungan rapat dengan perhubungan dengan luar-negeri, (sedang dalam perhubungan itu Republik Indonesia Serikat harus seluruhnja bertindak);
24. Pertahanan negeri, termasuk hal mengatur hukum pidana dan hukum patuh-taat ketentaraan, madi dan zahiri, dan susunan kehakiman jang bersangkutan dengan itu, dan djuga mengatur dan mengumumkan keadaan perang dan keadaan darurat perang;
25. Institut dan organisasi ilmu-pengetahuan jang penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja; 26. Pemeliharaan monumen dan perlindungan alam jang penting bagi Republik Indonesia Serikat seluruhnja;
Berdasarkan subtansi lampiran tersebut di atas atau 26 point di atas jelas tidak ada satupun point tentang pembentukan Provinsi di Kalimantan, tetapi point-point yang berkaitan dengan urusan yang menjadi urusan negara-negara bagian RIS atau berkaitan dengan pokok-pokok penjelenggaraan-pemerintahan jang dibebankan kepada Republik Indonesia Serikat.
Kemudian perhatikan secara tegas Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 menyatakan “Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, jaitu daerah bersama:
a) Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
b) Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri; Djawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur; a. dan b. jalah daerah bagian jang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan jang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi c. daerah Indonesia selebihnja jang bukan daerah-daerah bagian”.
Berdasarkan Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 huruf b Kalimantan Barat (Daerah istimewa) adalah Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri di luar dari persetujuan Renville tanggal 17 Djanuari 1948 atau di luar Negara Republik Indonesia atau di luar pada norma hukum Pasal 2 huruf a. Fakta historis yuridis konstitusional ini yang sering tidak dipahami para peneliti sejarah hukum di Indonesia dan Kalimantan Barat, inilah tindakan inkontitusional.
Dengan demikian pembentukan Provinsi Kalimantan Barat setelah DIKB diabaikan secara konstitusional tetapi lebih banyak tindakan politik, yakni berhubung dengan perkembangan politik ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan, seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat Tahun 1953.
Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 Tentang Pembentukan (resmi) Daerah Otonom Kabupaten/Daerah Istimewa Tingkat Kabupaten dan kota Dalam Lingkungan Provinsi Kalimantan yang menyatakan PENJELASAN UMUM Berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan di seluruh wilayah Propinsi Kalimantan seperti dijelaskan dalam Penjelasan umum Undang-Undang Darurat tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom tersebut, maka sekarang mendesak waktunya untuk segera mengatur Pemerintahan daerah-daerah Kabupaten, Swapraja-Swapraja dan Kota-kota Banjarmasin dan Pontianak di Kalimantan dalam bentuk yang resmi, menurut dasar-dasar yang diletakkan dalam Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia. Dan karena keadaan-keadaan yang mendesak itu, maka dianggap perlu menetapkan peraturan pembentukan Kabupaten-kabupaten otonom, Daerah-daerah Istimewa yang setingkat dengan Kabupaten dan Kota-kota Besar dalam lingkungan Propinsi Kalimantan itu dalam suatu Undang- undang Darurat.
Hal yang perlu diperhatikan oleh para peneliti sejarah hukum DIKB adalah pada point 3 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 yang menyatakan: Sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak.
Pada sisi lain Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat. Walaupun demikian menurut pasal 4 sub II A Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia, perlu diusahakan di mana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia dilakukan juga di Kalimantan Barat.
Berhubung kini masih belum dapat ditentukan Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah otonom yang berlaku uniform bagi seluruh Indonesia, pun pula Undang-Undang Nomor 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat, maka salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953 tersebut ada hal yang menarik secara hukum tata negara, yaitu:
- “bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak
- Kalimantan Barat tidak pernah merupakan bagian wilayah Republik Indonesia (Yogyakarta), maka dengan sendirinya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat.
- Perlu diusahakan di mana mungkin, bahwa sebelum diadakan perundang-undangan kesatuan, supaya perundang-undangan Republik Indonesia (NKRI- penulis) dilakukan juga di Kalimantan Barat.
- Undang-Undang No. 44 tahun 1950 Indonesia Timur tidak berlaku bagi Kalimantan Barat.
- Salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Berdasarkan lima point itu, berkaitan dengan point 1 jika dihubungkan dengan penjelasan pasal 1 Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1953, menyatakan: Pasal 1 Pembagian wilayah Propinsi Kalimantan dalam Kabupaten, Daerah Istimewa tingkat Kabupaten dan Kota Besar adalah berdasarkan atas ketetapan dalam Keputusan – keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10.
Adalah ironis, bahwa Keputusan – keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Juni 1950 No. C.17/15/3 jo. tanggal 16/11 1951 No. Pem.20/l/47 dan tanggal 8 September 1951 No. Pem. 20/6/10, bisa membagi wilayah DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri berdasarkan Pasal 2 huruf b Konstitusi RIS 1949 dengan memaksakan UU Nomor 22 Tahun 1948 sebagai pedoman, sedang Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 tidak sendirinya menurut hukum berlaku untuk Kalimantan Barat, karena adalah produk hukum Negara 17 Agustus 1945 Yogyakarta dan inilah cara inkonstitusional menjalankan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 sebagai pedoman bagi, Kalimantan Barat.\
UU Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pokok –Pokok Pemerintahan Daerah Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948 adalah produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta, yang pada tanggal 27 Desember 1949 bergabung ke RI atau ke negara 17 Agustus 1945 berdasarkan pasal 2 a Konstitusi RIS dan secara hukum tata negara adalah setara atau sejajar dengan DIKB 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan pada pasal 2 huruf b Konstitusi RIS, 1949.
Pertanyaan sejak Kapan Provinsi Kalimantan Barat terbentuk secara hukum Tata Negara? Provinsi Kalimantan Barat terbentuk tanggal 1 Januari 1957.
Pembentukannya berbarengan dengan provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur yang pada awal kemerdekaan, dan sejak 1 Januari 1957 kemudian wilayah Kalimantan Barat merupakan bagian dari Provinsi Kalimantan.
Apa dasar hukum pembentukannya? Yaitu diterbitkannya UU Nomor 25 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, dalam konsideran menimbangnya menyatakan:
“Menimbang: a. bahwa, mengingat perkembangan ketatanegaraan serta hasrat rakyat di Kalimantan dianggap perlu untuk membagi daerah otonom Propinsi Kalimantan sementara dalam tiga bagian, yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, masing-masing dalam batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang ini dan masing-masing berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sebagai daerah otonom Propinsi pula; b. bahwa, berhubung dengan pertimbangan ada materi yang diatur dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 tahun 1953 (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 8) tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan perlu diganti dengan undang-undang dimaksud di bawah ini.
Dasar hukumnya adalah: 1. Pasal-pasal 89, 131, 132 dan 142 Undang-undang Dasar sementara; 1950. 2. Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 Republik Indonesia.
Kemudian dengan Persetujuan DPR RI kemudian pada point ke I Mencabut Undang-undang Darurat Nomor 2 tahun 1953 tentang pembentukan daerah otonom Propinsi Kalimantan (Lembaran-Negara tahun 1953 No. 8). Dan pada point ke II. Menetapkan: Undang-undang Tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan-Timur.
Jika kita baca secara cermat pada BAB I KETENTUAN UMUM : Pasal 1 UU Nomor 25 Tahun 1956 Daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dengan nama dan batas batas sebagai berikut: 1. Propinsi Kalimantan-Barat, yang wilayahnya meliputi daerah- daerah otonom Kabupaten Sambas, Pontianak, Ketapang, Sanggau, Sintang, Kapuas-Hulu dan Kota Besar.
Jadi ironis sekali secara hukum tata negara, bahwa UU Nomor 25 Tahun 1956 dengan berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 1948 yang merupakan produk negara RI 17 Agustus 1945 Yogyakarta, yang pada awalnya tidak berlaku di Kalimantan Barat dan status hukum sebagai pedoman yang menurut NKRI adalah salah satunya jalan yang baik yang dapat ditempuh dalam hal ini ialah menjalankan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 sebagai pedoman bagi Kalimantan Barat, berdasarkan pasal 4 sub II A Piagam tersebut di atas.
Kemudian secara subtansi daerah otonom Propinsi Kalimantan sebagai dimaksud dalam Undang-undang Darurat Nomor 2 tahun 1953 1 (Lembaran Negara tahun 1953 Nomor 8) dibubarkan dan wilayahnya dibagi untuk sementara waktu menjadi tiga daerah tingkatan ke-I, dan dengan mengabaikan keberadaan DIKB sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri (Pasal 2 hurub b Kontitusi RIS 1949) yang secara de fakto dan de jure di luar Negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (Pasal 2 huruf a), Konstitusi RIS 1949 atau di luar Perjanjian Renville.
Inilah politik mengalahkan supremasi Konstitusional Keberadaan DIKB 1947 yang sejajar dengan NKRI 17 Agustus 1945 berdasarkan Akte Penyerahan Kedaulatan dan Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 di KMB.
Pasal 2 (1) UU Nomor 25 Tahun 1956 Pemerintah daerah otonom: 1. Propinsi Kalimantan -Barat berkedudukan di Pontianak, 2. Propinsi Kalimantan-Selatan di Banjarmasin dan 3. Propinsi Kalimantan-Timur di Samarinda. Pasal 3 (1) UU Nomor 25 Tahun 1956 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan-Barat, Kalimantan-Selatan dan Kalimantan-Timur masing-masing terdiri dari 30 anggota.
Kemudian yang menarik adalah ketentuan Bab II Urusan Rumah Tangga dan Kewajiban-Kewajiban Provinsi dalam Bagian I Urusan Tata-Usaha Daerah pada: Pasal 4. Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 25 Tahun 1956 Guna melancarkan jalannya pekerjaan maka Propinsi menjalankan atau mengusahakan supaya dijalankan semua petunjuk-petunjuk teknis yang diberikan oleh Menteri yang bersangkutan.
Pasal 4 ayat (4) Dewan Pemerintah Daerah Propinsi mengusahakan agar Menteri yang bersangkutan masing-masing mengetahui jalannya hal-hal yang dilaksanakan oleh Propinsi, dengan mengirimkan laporan berkala kepada Menteri yang bersangkutan tentang hal-hal yang termasuk urusan rumah-tangga dan kewajiban Propinsi.
Pasal 4 ayat (5) UU Nomor 25 Tahun 1956 Dewan Pemerintah Daerah Propinsi mengusahakan supaya kepala atau pemimpin urusan Propinsi masing-masing memenuhi panggilan dari Menteri yang bersangkutan untuk mengadakan pembicaraan bersama tentang urusan-urusan teknis yang termasuk pekerjaan kepala atau pemimpin urusan Propinsi itu masing-masing.
Pada time line sejarah inilah DIKB ditenggelamkan secara inkonstiusional, padahal sejak 27 Desember 1949 DIKB bergabung dengan negara 17 Agustus 1945 dalam satu wadah Negara Republik Indonesia dengan status sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan pada pasal 2 b Konstitusi RIS 1949 yang juga sudah diratifikasi oleh negara 17 Agustus 1945 sebagai bagian negara RIS, 1949.
Berdasarkan paparan sejarah hukum konstitusional di atas, DIKB sebagai satuan kenegaraan berdiri sendiri “ditenggelamkan” dalam fakta sejarah bangsa Indonesia hanya dengan dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10 menjadi wilayah administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak dan diberlakukan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pokok –Pokok Pemerintahan Daerah Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948, yang notabene adalah produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta, yang pada tanggal 27 Desember 1949 telah bergabung ke RI atau ke negara 17 Agustus 1945 berdasarkan pasal 2 a Konstitusi RIS dan secara hukum tata negara adalah setara atau sejajar dengan DIKB 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan pada pasal 2 huruf b Konstitusi RIS, 1949, kemudian berdasarkan Undang-Undang Darurat Republik Indonesia Nomr 3 Tahun 1953 yang menyatakan: point 3. Sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka bekas Daerah Istimewa Kalimantan Barat, yang wilayahnya meliputi seluruh keresidenan Kalimantan Barat dahulu, dengan keputusan Menteri Dalam Negeri tertanggal 8 September 1951 Nomor Pem. 20/6/10 administratif telah dibagi pula dalam 6 Kabupaten dan satu daerah Kota Pontianak, yang diawali dengan ketentuan hukum yang berlaku surut, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 ini berlaku surut, sebagaimana dinyatakan pada pasal 3 yang menyatakan: “Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Ini jelas berlaku surut yang secara hukum tata negara. Sedangkan DIKB bergabung kenegara 17 Agustus 1945 adalah sejak 27 Desember 1949 yang dibadikan pada pasal 2 b Konstitusi RIS 1949 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri juga sesuai Pasal 197 (1) Konstitusi RIS, 1949; Konstitusi ini mulai berlaku pada saat pemulihan kedaulatan. Naskahnya diumumkan pada hari itu dengan keluhuran menurut cara jang akan ditentukan oleh Pemerintah, pertanyaanya kapan pemulihan kedaulatan itu terjadi, yakni 27 Desember 1949, inilah fakta sejarah yang disembunyikan. Jadi hari jadi daerah otonom Kalimatan Barat 1 Januari 1953 atau 27 Desember 1949, bisakah suatu negara yang berstatus satuan kenegaraan berdiri sendiri yang tersebut dalam protokol Internasional 27 Desember 1949 yang terdaftar di PBB dibubarin hanya dengan Keputusan Gubernur Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 Nomor 186/OPB/92/14 dan hanya dengan politik yang berupa desakan desakan dari masyarakat agar segera dibentuk Provinsi Kalimantan yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (otonom), dan suatu norma yang menegaskan di dalam UU Nomor 2 Tahun 1953 pada pasal 1 menyatakan: Pasal 1 ayat (1): Daerah Propinsi Kalimantan yang bersifat administratif seperti dimaksud dalam Peraturan Pemerintah RIS Nomor 21 Tahun 1950, dan yang meliputi karesidenan-karesidenan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat, dibentuk sebagai daerah otonom “Propinsi Kalimantan”, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, yang dalam Undang-undang Darurat ini selanjutnya disebut “Propinsi”. Bukankah Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1948, yang notabene adalah produk hukum Negara Republik Indonesia Yogyakarta, yang pada tanggal 27 Desember 1949 telah bergabung ke RI atau ke negara 17 Agustus 1945 berdasarkan pasal 2 a Konstitusi RIS dan secara hukum tata negara adalah setara atau sejajar dengan DIKB 1947 sebagai satuan kenegaraan yang berdiri sendiri sebagaimana ditegaskan pada pasal 2 huruf b Konstitusi RIS, 1949, selanjutnya status hukum tata negara hanya sebagai pedoman.
Kemudian patut dicatat DIKB tidak ikut Perjanjian Renville, mari dibaca secara cermat Pasal 2 Konstitusi RIS 1949 menyatakan “Republik Indonesia Serikat meliputi seluruh daerah Indonesia, jaitu daerah bersama:
a) Negara Republik Indonesia, dengan daerah menurut status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948; Negara Indonesia Timur; Negara Pasundan, termasuk Distrik Federal Djakarta; Negara Djawa Timur; Negara Madura; Negara Sumatera Timur, dengan pengertian, bahwa status quo Asahan Selatan dan Labuhan Batu berhubungan dengan Negara Sumatera Timur tetap berlaku; Negara Sumatera Selatan;
b) Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri; Djawa Tengah; Bangka; Belitung; Riau; Kalimantan Barat (Daerah istimewa); Dajak Besar; Daerah Bandjar; Kalimantan Tenggara; dan Kalimantan Timur; a. dan b. ialah daerah bagian jang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, berdasarkan jang ditetapkan dalam Konstitusi ini dan lagi c. daerah Indonesia selebihnja jang bukan daerah-daerah bagian”.
Jadi sejak awal DIKB adalah Satuan-satuan kenegaraan jang tegak sendiri, dan sama sama daerah bagian jang dengan kemerdekaan menentukan nasib sendiri bersatu dalam ikatan federasi Republik Indonesia Serikat, dan catatan DIKB bukan status quo seperti tersebut dalam persetudjuan Renville tanggal 17 Djanuari tahun 1948. * (Selesai)