Oleh: Nur Iskandar
Sejurus waktu terakhir kami seperti berlari dalam memperjuangkan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional. Bendera start diangkat oleh mantan Kepala BIN, Prof Dr AM Hendro Priyono yang menyebutkan, Sultan Hamid II Alkadrie diusulkan jadi pahlawan nasional, “Dia kan pengkhianat negara. Dia bukan pahlawan.” (12/6/2020).
Sejak kalimat itu viral, kami pun belari kencang dengan klarifikasi (13/6/2020) dan sejumlah giat akademis bertajuk webinar nasional (5/7/2020). Tidak hanya bersama elemen masyarakat Kalbar, tapi juga Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, bahkan MPR RI (11/7/2020).
Usulan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional atas jasanya merancang Lambang Negara Elang Rajawali Garuda Pancasila dan diplomat andal di forum internasional Konferensi Meja Bundar kami kawal secara proporsional dan profesional.
Alhamdulillah–Puji Tuhan–usulan resmi dari Pemprov Kalbar pun diabaikan. Remuk redam terasa sampai ke hulu hati. Tapi tak mengapa, Kementerian Sosial tidak menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan sebaik-baiknya, kami terima sebagai rakyat yang lemah dan dilemahkan. Tuhan YMK Maha Melihat apa yang kita semua perbuat. Dunia ini tentu sangat kecil yang tidak ada arti apa-apa dibandingkan dengan kehidupan setelah kiamat. Nanti akan ada pengadilan yang tiada satu fakta pun tidak tersibak. Yang benar adalah benar. Yang batil adalah batil.
Naskah administratif sesuai syarat UU Gelar Kepahlawanan kami lengkapi. Secara syarat administrasi sudah ada bukti serah terima dokumen di Kemensos. Diterima langsung Kepala Seksi Seleksi dan Penghargaan. Walaupun ada surat penolakan oleh Dirjen Gelar Kepahlawanan, Januari 2019–sehari setelah wafatnya Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II–Max Jusuf Alkadrie–namun semua penolakan itu segera kami bantah, baik oleh pengaju utama, yakni Yayasan Sultan Hamid, maupun Pemprov Kalimantan Barat melalui TP2GD (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah). Surat bantahan Yayasan tertanggal 20/8/2019 sebanyak 7 halaman memuat 15 pointers, sedangkan Gubernur Kalbar tertanggal 26/8/2019 memuat dua halaman. Kesemuanya menjawab tuntas 3 butir persoalan dari Dirjen Gelar Kepahlawanan. Kemudian tidak ada jawaban apa-apa dari Kemensos, tetiba pada 27/8/2020 mereka sudah rapat membahas laporan pengajuan pahlawan nasional tahun 2020 tanpa melibatkan TP2GD Kalbar. Usulan Sultan Hamid II Alkadrie dengan segudang jasanya bagi negara ini tidak dihitung dan dipandang sama sekali sebagaimana layaknya. Kami terus terang mengurut dada. Apa maunya aparat negara kita? Tokoh pahlawan nasional macam apa yang mereka cari untuk diusulkan?
Apa ketiga soal yang menyebabkan penolakan dari Dirjen Gelar Kepahlawanan?
Satu: Bahwa Sultan Hamid bukan perancang tunggal lambang negara. Hal ini kami bantah dengan telak secara ilmiah, yakni tesis dosen hukum tata negara Universitas Tanjungpura tentang sejarah hukum lambang negara Republik Indonesia. Detil isi riset di S2 UI tahun 1999 itu. Toh sejak 1999 sampai 2020 tak ada bantahan ilmiahnya, bahwa Sultan Hamid bukan perancang tunggal. Sebaliknya, Kemendikbud pada tahun 2016 sudah mengakui secara resmi bahwa perancang lambang negara adalah Sultan Hamid II Alkadrie dengan karya rancangannya dicatat negara sebagai cagar budaya tak benda peringkat nasional. Sertifikat ditanda-tangani Mendikbud Prof Dr Muhadjir Effendy.Kemensos tutup mata atas riset ilmiah UI dan Kemendikbud soal Sultan Hamid II perancang lambang negara. Termasuk hasil lomba lencana negara yang diselenggarakan Kemenpen RIS, Prijono. Sultan Hamid punya rancangan diterima Parlemen RIS–naskah lainnya ditolak. Pernyataan resmi disampaikan PM RIS, Dr HC Drs Moh Hatta dalam bukunya Bung Hatta Menjawab. Hal ini telak–tak terbantahkan. Sebagai tambahan, Setneg dan Kemenlu, serta Kemendikti juga sudah mengakui Sultan Hamid II Alkadrie perancang tunggal Lambang Negara. Termasuk MPR RI.
Kedua: Bahwa Sultan Hamid dituduh sebagai pengkhianat negara karena terlibat pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Kapten Raymond Westerling. Hal ini juga kami bantah dengan rujukan fakta persidangan di Mahkamah Agung (MA) tahun 1953. Bahwa benar Sultan Hamid II diadili dan dituduh bersekongkol dengan Westerling, tetapi bunyi putusan MA adalah MEMBEBASKAN terdakwa dari tuduhan makar kepada negara karena tidak cukup bukti! Putusan MA tahun 1953 itu juga kami lampirkan agar dapat dibaca dengan mata terbuka. Jelas hal ini bisa dibaca oleh seluruh rakyat Indonesia. Sesiapa pun yang belajar hukum mengerti bahwa Sultan Hamid II tidak terbukti sebagai pengkhianat negara. Tidak ada bukti-buktinya! Selesailah tuduhan kedua ini.
Ketiga: Sultan Hamid ditolak sebagai Pahlawan Nasional karena hendak membunuh Sultan Hamingkubuwono IX. Hal ini juga kami jawab bahwa niat hendak membunuh itu tidak dilakukan sehingga tidak ada peristiwa pidana. Tidak ada pergerakan tentara maupun senjata. Tidak ada setetes darah pun yang tumpah. Dan terperincinya kami lampirkan buku terbitan Persatuan Djaksa yang mencatat rekaman persidangan Hamid tahun 1953 itu. Di sana ada kesaksian Sultan Hamingkubuwono IX dan juga latar belakang munculnya niat membunuh Menhan–yakni kemelut pengiriman TNI ke Kalbar di mana saat itu Sultan Hamid II adalah Kepala Daerah Istimewa Kalbar (DIKB). Saking hebohnya kemelut pengiriman TNI ke Kalbar tanpa restu Sultan Hamid sebagai Kepala DIKB tersebut, menyebabkan PM RIS Dr HC Drs Moh Hatta melakukan kunjungan kerja bersama Hamid ke Kalimantan Barat, tertanggal 23 Januari 1950–persis hari di mana Westerling memberontak di Bandung. Melalui buku Persatuan Djaksa terjawab dengan rinci bahwa point penolakan ketiga dari Dirjen Kemensos juga absurd. Terlalu mengada-ada–tanpa bukti faktual sejarah, melainkan opini subjektif semata.
Kami kemudian melingkari satu-satunya syarat gelar Pahlawan Nasional yang bisa menyebabkan Sultan Hamid II Alkadrie ditolak mentah-mentah adalah kacamata kuda membaca syarat sesuai UU Gelar Pahlawan yakni seseorang yang diajukan itu tidak pernah dipenjara lebih dari 5 tahun. Sultan Hamid inkrah dipenjara 10 tahun dipotong masa tahanan. Namun pemenjaraan Sultan Hamid bukanlah karena tuduhan primair yang melekatkan namanya sebagai pengkhianat negara! Bukan juga karena melakukan tindak pidana. Lalu apa hukuman 10 tahun penjara itu? Tidak lebih daripada hukuman politik. Akibat oknum pengelola negara tidak senang dengan pendiriannya yang 100 persen federalis. Negara saat itu sedang ber-euforia unitaris. Sehingga yang berseberangan paham mengutip Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti–“ditenggelamkan”.
***
Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) rapat bersama Mensos pada 27 Agustus 2020. Nama Hamid tidak masuk nomini. Kami mengurut dada. Padahal pengajuannya sejak 2016 dan kami kebut pada medio 2020. Senyampang setahun sebelumnya Mensos sudah disurati pada 20/8/2019 oleh Yayasan Sultan Hamid maupun Gubernur Kalbar sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah pada 26/8/2019.
Dinas Sosial Provinsi Kalbar berkoordinasi dengan Dirjen Gelar Kepahlawanan dan bertemulah Yayasan Sultan Hamid dengan utusan Kemensos yakni anggota TP2GP Dr Anhar Gonggong, tertanggal 27/11/2019. Terjadi adu data. Tampak sekali Dr Anhar Gonggong bersikap subjektif karena keluarga besarnya dihabisi Westerling pada tahun 1946. Dia mengkonversi segala kesalahan Westerling kepada Sultan Hamid dengan alasan Sultan Hamid menjadi Mayjen dan pengawal khusus Ratu Wilhelmina. Pada saat yang sama pejuang Indonesia dikejar-kejar Belanda.
Dr Anhar Gonggong lupa sosiologi Kesultanan Qadriyah dengan Sultan Hamid sebagai rajanya. Kedua negara telah kerjasama bilateral sejak 1774. Jauh waktu sebelum Indonesia lahir sebagai Indonesia. Sebab Indonesia lahir pada 1928. Sebelumnya adalah kerajaan-kerajaan. Pada 1944 Jepang membantai para tokoh Kalbar termasuk ayah Sultan Hamid. Pada 29 Oktober 1945 Sultan Hamid II dilantik sebagai raja atau sultan. Pada 1946 jenasah ayahnya baru ditemukan. Dia mendapatkan kenaikan pangkat Mayjen sebagai pengawal khusus Ratu Wilhelmina dalam konteks Hamid sebagai Sultan di negara berdiri sendiri Pontianak/Kalimantan Barat.
Skak mat diterima Dr Anhar Gonggong. Dan di hadapan Gubernur, Anhar menyerahkan keputusan akhir kepada Presiden. Karena seleksi Kemensos hanya administratif. Kemudian rekomendasi Dewan Gelar hanya sekedar pertimbangan kepada Presiden. Keputusan akhirnya sesuai UU Gelar Kepahlawanan ada di tangan Presiden.
Yayasan Sultan Hamid merasa kurang dilayani Kemensos segera menyurati Presiden. Surat diterima pada 26/8/2020 oleh Setneg. Namun sampai saat naskah ini ditulis, 9/10/20, Yayasan Sultan Hamid belum memperoleh perkembangan terkini kapan akan diterima audiensi hingga meletus kasus demo besar-besaran massa buruh plus mahasiswa serta rakyat yang menolak UU Cipta Kerja / UU Omnibus Law.
Peristiwa demo besar-besaran inilah yang membesarkan hati kami, bahwa: Gelar pengkhianat atau pahlawan mudah dicerna dalam konteks politik Indonesia masa kini–tanpa repot menoleh ke belakang era Indonesia Merdeka 1945-1950.
Dulu tahun 1950 Sultan Hamid dipressure massa sebagai pengkhianat karena dia berhaluan federalis, kini Presiden dan Kabinet serta Wakil Rakyat yang dituduh massa sebagai pengkhianat negara–termasuk pengkhianat konstitusi. UU CK dinilai pro kapitalis. Buruh diancam PHK di masa Pandemi Covid-19, di mana pesangonnya berkurang dari 32 bulan menjadi 16 bulan. Ini salah satu contoh konkret pemerintah mengkhianati rakyatya sendiri.
Itu soal frasa pengkhianat versus pahlawan. Dada kami bisa tegak normal dan bernapas sedikit lega, karena publik yang menyimak kami memperjuangkan Pahlawan Nasional sejak sprint medio Juni jadi lebih mudah paham. Beginilah politik kekuasaan itu secara telanjang bulat. Frase pengkhianat atau pahlawan sangat kontekstual sesuai keadaan. Sesuai siapa kalah dan menang.
Ketika Presiden kunjungan kerja mengecek food estate di Kalimantan Tengah, Kamis, 8/10/2020 di saat istana dikepung demonstran menjadi trending topik tagar Presiden Kabur. Di saat yang sama situs web DPR RI diretas dengan Dewan Pengkhianat Rakyat–padahal DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat. Begitulah frasa pengkhianat dengan mudah membuncah di panggung politik.
Saya sendiri merasakan hal tersebut di atas sebagai “tulah” (bumerang). Di mana sejarah berulang. Demikian agar kabinet bisa merasakan bagaimana sakitnya rasa dituduh sebagai pengkhianat negara?
Presiden dan anggota kabinet terlihat muka berlipat empat, bagaimana Sultan Hamid II meringkuk di penjara sampai 8 tahun lamanya seraya senyum tiada dendam? Padahal beliau Sultan. Padahal beliau Menteri Negara?
Tidakah ini dosa kolektif atas nama Negara yang mestinya ditutup dengan permohonan maaf sekaligus menempatkan namanya ke posisi terhormat Pahlawan Nasional? Bukankah itu solusi kami yang tepat sebagai ishlah sejarah demi marwah NKRI jauh dari tulah–rasa bersalah yang ditutup-tupi karena malu sahaja?
Saya selaku pribadi yang ikut menulis buku Biografi Politik Sultan Hamid II Alkadrie (Borneo Tribune Press, 2013) merasa puas dengan hikmah Omnibus Law ini. Ada frekuensi politik yang menghembat pemegang prerogatif pahlawan nasional yakni Presiden RI. Juga Ketua Dewan Gelar Mengkopolhukam serta Setneg. Terlebih Menteri Sosial yang menutup rapat proses gelar pahlawan nasional atas nama Sultan Hamid di institusinya. Rasakanlah tulah akibat tak mengakui peran kesejarahan Sang Sultan dengan warisan lambang persatuan yang menyatukan: Elang Rajawali Garuda Pancasila.
Setiap kali Bapak Ptesiden atau Menteri pidato dengan lambang negara di podium atau dinding kantor-kantor negara, di dalam hati dan pikiran saya selalu berkelindan, negara ini belum akan aman dan tenteram, sebelum perancang lambang negara itu dipulihkan nama baiknya dengan gelar pahlawan. Camkan benar-benar firman Tuhan, bahwa fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Camkan benar-benar firman ilahi, bahwa kebenaran pasti akan menang, dan kesalahan pasti akan binasa.
Omnibus Law yang dipaksakan dengan proses tergesa-gesa menunjukkan kualitas lahirnya produk hukum yang tidak berkualitas. Penolakan terjadi di mana-mana. Sebagian menjadi huru-hara. Partisipasi aktif publik tertutup rapat. Sama dengan Negara memberlakukan usulan Sultan Hamid II Pahlawan Nasional yang tertutup rapat.
Oke, kami pasrah karena kami hanya rakyat jelata, tetapi masih ada jalan lain. Ketika saluran aspirasi tersumbat, suatu saat ketertutupan itu akan meledak. Hukum fisika dan kimianya demikian. Hukum sosial begitupula adanya.
Buruh dan rakyat semesta Nusantara pasti menemukan kearifannya. Dalam bentuk unjuk rasa yang semakin menebal dan mengental. Mereka mengingatkan pimpinan tiran yang telah dijadikan boneka para cukong politik maupun pemilik modal. Kami juga memiliki jalur kearifan sendiri. Cukuplah publik turut mengadili kembali bahwa sesungguhnya Sultan Hamid bukan pengkhianat negara, dan agen BFO sebagai boneka Belanda, namun dia berjasa besar kepada Indonesia. Bahwa Sultan Hamid sebenar-benarnya adalah pahlawan nasional, cuma Negara tutup mata dengan kacamata kuda akibat euforia unitaris mengalahkan federalis.
Kami pilih kearifan lokal sendiri: yakni dengan memberikan anugerah Sultan Hamid II Pahlawan Bangsa. Pengakuan dari daerah sebagai penguatan kesatuan otonomis-asimetris. Demikian menurut hasil kurasi tim pakar di Teraju News Network (TNN).
Anugerah Sultan Hamid II Pahlawan Bangsa akan disampaikan pada 29 Oktober 2020. Persis ulang tahun pengangkatannya sebagai Sultan ketujuh Kesultanan Qadriyah yang kemudian menjadi titik tolak tampilnya Hamid ke pentas negarawan Nusantara. (29/10/1945–29/10/2020). Sekaligus memaknai Hari Jadi Kota Pontianak 23 Oktober 1771-2020 serta Sumpah Pemuda 28/10/1928-2020.
Semoga Omnibus Law menjadi referensi kita membaca politik yang melibatkan tokoh dan peristiwa. Membuka mata hatinurani siapa pengkhianat dan pahlawan, siapa boneka dan benar-benar merdeka untuk bangsa dan negara yang tercinta?
Semoga meluruskan sejarah menjadi alat persatuan kita merawat keindonesiaan kita, yang sama-sama kita cintai ini. Adapun artikel ini adalah sebagai bagian dari pemaknaan demo besar-besaran menolak Omnibus Law sebagai hikmah, di mana kita saling ingat mengingatkan kepada Presiden, anggota kabinet maupun para pembaca yang budiman agar kita semuanya tidak tergolong menjadi manusia yang merugi akibat kita menyia-nyiakan kebenaran. Kebenaran yang telah teruji kesahihannya secara empiris-ilmiah-akademis maupun ujian panjang kerikil-kerikil sejarah, sepanjang 75 tahun Indonesia merdeka. * Foto Presiden saat kunjungan kerja ke Kalteng, Kamis, 8/10/20. Sumber medsos Presiden Joko Widodo.